Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran matematika yang akhir-akhir ini sedang marak dibicarakan adalah Realistic Mathematics Education (RME)  atau Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). RME diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Belanda. Gagasan pendekatan pembelajaran matematika dengan realistik ini tidak hanya populer di Negeri Belanda saja, banyak negara maju telah menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan realistik. Matematika realistik banyak ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Dua pandangan penting beliau adalah ‘mathematics must be connected to reality and mathematics as human activity ’. Pertama, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia, sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas semua topik dalam matematika.

Realistic Mathematics Education adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real‘ bagi siswa, menekankan keterampilan ‘proses of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (‘student inventing‘ sebagai kebalikan dari ‘teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir, mengkomunikasikan, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain.

Prinsip prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal. Proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi. Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (Suherman, 2001) yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Dalam matematisasi horizontal siswa menggunakan matematika sehingga dapat membantu mereka mengorganisasikan dan menyelesaikan suatu masalah yang ada pada situasi nyata. Sedangkan pada matematisasi vertikal proses pengorganisasian kembali menggunakan matematika itu sendiri.

Teori Pembelajaran Matematika Realistik terdiri dari lima karakteristik yaitu: (1) penggunaan real konteks sebagai titik tolak belajar matematika; (2) penggunaan model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan cara formal atau rumus; (3) mengaitkan sesama topik dalam matematika; (4) penggunaan metode interaktif dalam belajar matematika dan (5) menghargai ragam jawaban dan kontribusi siswa. Dalam kerangka Pembelajaran Matematika Realistik, Freudenthal (Suherman, 2001) menyatakan bahwa “Mathematics is human activity”. Sejumlah pakar RME, diantaranya adalah De Lange (1987) dan (1996), Streefland (1991), Gravemeijer (1994), dan Treffers dan Goffree (1985), merumuskan karakteristik pembelajaran matematika realistic sebagai berikut:- Penggunaan masalah-masalah kontekstual, masalah kontekstual tersebut terutama dimaksudkan sebagai titik tolak dimana matematika yang diinginkan dapat muncul.

–          Penggunaan model atau jembatan dengan instrumen vertikal, diarahkan pada pengembangan strategi, skema dan simbolisasi yang cenderung menolak pentransferan rumus atau matematika formal (standar) secara langsung.

–          Penggunaan kontribusi siswa dalam proses belajar mengajar, hal ini dilakukan dalam rangka mengantar siswa dari metode informal menuju kepada proses matematika yang lebih formal atau standar.

–          Adanya interaktifitas, meliputi negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi.

–          Adanya integrasi antar topik-topik pembelajaran, merupakan model holistik yang menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dicapai jika diajarkan secara terpisah melainkan keterkaitan dan keterintegrasian dalam proses pemecahan masalah.

Selain itu, terdapat juga prinsip-prinsip pembelajaran realistik dalam kurikulum matematika realistik yaitu:

  1. Didominasi oleh masalah-masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan sebagai terapan konsep matematika.
  2. Perhatian diberikan kepada pengembangan model-model, situasi, skema, dan simbol-simbol.
  3. Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif, siswa memproduksi sendiri dan mengkonstruksi sendiri sehingga dapat membimbing para siswa dari level matematika informal menuju matematika formal.
  4. Interaktif sebagai  karakteristik dari proses pembelajaran matematika
  5. Interwinning (membuat jalinan) antar topik atau antar pokok bahasan.

Menurut Treffers dan Goffree (Alimuddin, 2004) bahwa masalah kontekstual dalam kurikulum realistik, berguna untuk mengisi sejumlah fungsi:

  1. Pembentukan konsep: Dalam fase pertama pembelajaran, para siswa diperkenankan untuk masuk ke dalam matematika secara ilmiah dan termotivasi.
  2. Pembentukan model: Masalah-masalah konstekstual memasuki fondasi siswa untuk belajar operasi, prosedur, notasi, aturan, dan mereka mengerjakan ini dalam kaitannya dengan model-model lain yang kegunaannya sebagai pendorong penting dalam berpikir.
  3. Peerapan : masalah konstektual menggunakan reality sebagai sumber dan domain untuk terapan.
  4. Praktek dan latihan dari kemampuan spesipik dalam situasi terapan.

Matematika dalam pembelajaran matematika realistic merupakan proses yang sangat penting. Berkaitan  dengan hal ini, Freudental (Suherman, 2001) mengemukakan dua alasan yang sangat mendasar. Pertama, matematisasi bukan merupakan aktivitas ahli matematika saja, melainkan juga aktivitas siswa dalam memahami situasi sehari-hari. Kedua, berkaitan erat dengan penemuan kembali (reinvention) ide atau  gagasan dari siswa. Artinya siswa diarahkan selah-olah menemukan kembali suatu konsep dalam matematika pada saat pembelajaran berlangsung.

Freudenthal memandang matematisasi sebagai aktivitas umum yang meliputi matematika murni dan matematika  terapan. Pandangan Freudenthal yang lain cenderung kepada interpretasi masalah dalam kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika, De Lange bahkan memberi istilah matematika informal sebagai matematisasi horisontal dan matematika formal sebagai matematisasi vertikal.

Treffers dan Goffree (Ermayana, 2003 : 8) terdapat dua tipe matematisasi yang dikenal dalam Realistic Mathematic Education (RME) yaitu:

  1. Matematika horizontal

Proses matematika horizontal pada tahapan menengah persoalan sehari-hari menjadi persoalan matematika sehingga dapat diselesaikan atau situasi nyata diubah ke dalam simbol-simbol dan model-model matematika.

  1. Matematika vertikal

Proses matematika pada tahap penggunaan simbol, lambang kaidah-kaidah matematika yang berlaku secara umum. Langkah-langkah tahap pendekatan Realistic Mathematics Education yaitu :

  • Memberikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
  • Mendorong siswa menyelesaikan masalah tersebut, baik individu maupun kelompok.
  • Memberikan masalah yang lain pada siswa, tetapi dalam konteks yang sama setelah diperoleh beberapa langkah dalam menyelesaikan masalah tersebut.
  • Mempertimbangkan cara dan langkah yang ditentukan dengan memeriksa dan meneliti, kemudian guru membimbing siswa untuk melangkah lebih jauh ke arah proses matematika vertikal.
  • Menugaskan siswa baik individu maupun kelompok untuk menyelesaikan permasalahan lain baik terapan maupun bukan terapan.

Sintaks Implementasi Matematika Realististik

Aktivitas GuruAktivitas Siswa
  • Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
  • Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.
  • Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya meminta siswa mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka.
  • Guru mengelilingi siswa sambil memberikan bantuan seperlunya
  • Guru mengenalkan istilah konsep.
  • Guru memberikan tugas dirumah yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita beserta jawabannya yang sesuai dengan matematika formal.
    • Siswa secara sendiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.
  • Siswa secara sendiri-sendiri atau kelompok menyelesaikan masalah tersebut.
  • Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis. Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.
  • Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
  • Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru.

Sering terlontar bahwa penjelasan yang diberikan oleh seorang guru  hanya dapat dimengerti pada saat penjelasan tersebut diberikan di kelas, tetapi ketika siswa sampai di rumah mereka sudah lupa. Hal ini menunjukkan mereka belum mengerti dengan pengetahuan konseptual. Mereka hanya mengerti pengetahuan prosedural.

Menurut Mitzel (Suherman, 2001) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Tanpa pengertian, tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses. Melalui pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks. Jadi pembelajaran di sekolah akan lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak, sehingga akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.

***

(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)