Pengaruh Hukum Barat Terhadap Hukum di Negara Islam dan di Negara Muslim

Pengaruh dunia barat yang pertama dirasakan negara Islam dengan datangnya imperialisme pada awal abad ke-19, membuat wilayah Islam memiliki sistem hukum negara yang terbatas mengatur aspek hubungan publik, pribadi dan hubungan internasional, sistem hukum yang mereka gunakan bukan syari’ah. Undang-Undang Eropa yang dipaksakan pada negara-negara yang diduduki imperialis Inggris, Perancis, dan Belanda, bertentangan dengan kehendak masyarakat dan membuat kesal para ulama. Tahap demi tahap orang Islam yang berada dalam pengaruh penguasa-penguasa ini diberi peluang untuk menempuh studi yang lebih tinggi di negara-negara Eropa. Dengan demikian, para imperialis mendapat dukungan di wilayah jajahan dan masyarakat pribumi sehingga berpengaruh pada masyarakat dan bahkan para ulama.

Pengaruh sistem Hukum Eropa terhadap masyarakat Islam ditemukan dalam hukum publik meliputi konstitusi dan hukum pidana, transaksi sipil dan komersial. Ahli Hukum Eropa sangat pandai, mereka tidak mengubah hukum personal masyarakat Islam sekaligus melainkan secara pelan-pelan.

Imperium Turki Usmani, khalifah Islam pertama yang dipengaruhi sistem Hukum Eropa pada abad 19 melalui penyerahan kapitulasi. Kekuatan Barat diperkenalkan pada warga negara yang menetap di Timur Tengah sebagai pegawai negeri dan pedagang. Di negara-negara Asia Selatan dan Tenggara, dan Afrika Timur, dan Barat, para penjajah melakukan perdagangan. Dari sini hukum komersial Eropa dilaksanakan dalam sistem kapitulasi.

Negara yang dipengaruhi sistem hukum Eropa adalah negara-negara Magribi, yaitu Maroko, Tunisia, dan negara Nigeria di Afrika Barat.

Dikalangan elit muslim terdidik Eropa, percaya pada ilmu Hukum Islam, terutama hasil dari inovasi hukum. Apabila seseorang mengaplikasikan hukum Islam yang tidak diketahui siapa pencipta dan kapan yurisprudensi itu dibuat, mereka pasti akan menyatakan keheranannya kepada hakim Islam yang sudah dapat mencapai tingkat kompetensi yudisial pada abad ke 7 dan 8, yang belum dapat mereka capai abad 19 dan 20. imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal beserta para pengikutnya, sudah dapat memikirkan masalah-masalah hukum 13 abad lebih awal sampai dewasa ini. Namun bagi mereka yang percaya ilmu Hukum Islam sebagai penemuan para ahli hukum tidak dapat disanksikan lagi keberadaannya. Mereka percaya bahwa hakim-hakim Islam itu telah dapat mendahului pemikiran manusia. Titik pandang yang benar para ahli Hukum Islam, pengetahuan yang luas dan refleksi yang sangat berkembang, benar-benar bukan dari imajinasi mereka sendiri.

Fakta yang mereka ketemukan dalam genggaman sistem yurisprudensi itu kaya akan teori-teori dan prinsip-prinsip yang komprehensif, mereka menjelaskan dan menganalisis sistem yurisprudensi Islam secara lengkap. Mereka tidak berlaku sebagai ahli hukum dan pemikir dengan mengumpulkan data yang tersedia dan menetapkan tiap teori yang relevan. Kemudian mereka mentabulasi setiap prinsip Hukum Islam. apabila terjadi inovasi atau berpikir ke depan, itu merupakan inovasi ilmu Hukum Islam yang merupakan perkembangan rasional manusia yang menyampaikan teori-teori untuk tujuan membina manusia menuju kemulyaan dan kesempurnaan dengan membawa mereka ke tingkat yang paling tinggi.

Di samping berbagai ragam kemajuan umat Islam dalam segala segi dan aspek pengetahuan manusia, sebagian ilmuwan Barat mengomentari tentang tumbuh suburnya kebudayaan negeri-negeri Islam pada abad pertengahan. Mereka mengatakan, rata-rata umat Islam dengan sedikit pengetahuan sejarah Islamnya akan merasa enggan menerima gambaran yang benar.

Dapat dikatakan bahwa negara-negara dan masyarakat Kristen Eropa pada dasarnya masih tetap statis, mungkin benar. Sumbangan peradaban Islam ke Eropa sangat besar dan benar-benar membantu untuk mencapai apa saja yang dapat mereka capai selama masa renaissance karena pengaruh pertemuan mereka dengan umat Islam dan karena ide-ide segar dengan hadirnya kaum muslimin yang ada di Eropa. Membantu premis yang keliru ini para ilmuwan barat berbalik menyatakan itu disebabkan karena negara dan masyarakat Islam tetap sekali. Hukum syari’ah telah terbukti dapat mengakomodasikan dirinya secara sukses terhadap pemenuhan kebutuhan internal sebagaimana yang sudah dikenal. Namun desakan yang kini (pada abad 19) timbul tanpa konfrontasi Islam dengan situasi yang berbeda.

Pendapat ini sama sekali tidak benar karena desakan untuk mengadopsi sistem Hukum Barat yang didasarkan atas konsep-konsep dan institusi-institusi mendasar yang asing bagi agama Islam dan hukum syari’ah tidak berasal dari orang-orang Islam melainkan dari kolonial Barat. Umat Islam di awal masa kolonial tidak ingin mengubah sistem Hukum Islam mereka dan tidak ingin mengadopsi nilai-nilai dan standar-standar Barat. Lembaran sejarah telah dipenuhi dengan banyak contoh oposisi umat Islam dengan perubahan yang dipaksakan dalam hukum agamanya. Akan tetapi, zaman dominasi asing telah membalikkan situasi secara drastis. Imperealis-imperealis Barat telah membantu umat Islam untuk mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi agar terhindar dari tekanan-tekanan pemerintah untuk mengadopsi sistem hukum baru. Akibatnya sangat sedikit hukum syari’ah di negeri-negeri Islam yang diketemukan, kecuali yang hanya dalam ruang lingkup hukum keluarga, namun ada pula istilah reformasi yang digunakan. Di seluruh negeri Islam, kecuali Saudi Arabia, sistem hukum yang diambil murni bukan hukum syari’ah dan bukan pula hukum Eropa yang dipraktekkan sampai sekarang.