Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang secara harfiah berarti “tengah” perantara atau pengantar. Gerlacah dan Ely dalam Rusyanti (1998) mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini guru, buku teks dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Senada dengan hal itu oleh Gagne dalam bukunya S. Arief (2003: 6) mengatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan murid yang dapat merangsangnya untuk dapat belajar. Sementara itu Briggs dalam S. Arief (2003: 6) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang murid untuk belajar. Buku, film, kaset, film bingkai adalah contoh-contohnya.
Batasan lain telah pula dikemukakan oleh para ahli yang sebagian diantaranya akan diberikan berikut ini. Pengertian sumber belajar menurut AECT (Association of Education and Communication Technology; 1977) memberi batasan tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator menurut Fleming (1987) dalam Rusyanti (1998) adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak mendamaikannya. Dengan istilah mediator media menunjukkan fungsi atau perannya yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar murid dan isi pelajaran. Di samping itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem pengajaran yang melakukan peran mediasi, mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih, dapat disebut media. Ringkasannya, media adalah yang menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pengajaran.
Heinich (1982) dalam Rusyanti (1998) mengemukakan istilah medium sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima. Jadi, televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan, dan sejenisnya adalah media komunikasi. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pengajaran maka media itu disebut media pembelajaran. Sejalan dengan batasan ini, Hamidjojo dalam Latuheru (1993) memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukan itu sampai kepada penerima yang dituju.
Acapkali kata media pendidikan digunakan secara bergantian dengan istilah alat bantu atau media komunikasi seperti dikemukakan oleh Hamalik (1986) dimana ia melihat bahwa hubungan komunikasi akan berjalan lancar dengan hasil yang maksimal apabila menggunakan alat bantu yang disebut media komunikasi. Sementara itu, Gagne dan Briggs (1975) secara implisit mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, vidio camera, vidio recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer. Dengan kata lain, media adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi insturksional di lingkungan murid yang dapat merangsang murid untuk belajar. Di lain pihak, National Education Association memberi definisi media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio–visual dan peralatannya; dengan demikian, media dapat dimanipulasi, dilihat, didengar, atau dibaca.
Istilah “media” bahkan sering dikaitkan atau dipergantikan dengan kata “teknologi” yang berasal dari kata Latin tekne (bahasa inggris art) dan logos (bahasa indonesia “ilmu”).
Menurut Webster (1983) dalam Rusyanti (1998), “art” adalah keterampilan (skill) yang diperoleh lewat pengalaman, studi dan observasi. Denga demikian, teknologi tidak lebih dari suatu ilmu yang membahas tentang keterampilan yang diperoleh lewat pengalaman, studi, dan observasi. Bila dihubungkan dengan pendidikan dan pengajaran, maka teknologi mempunyai pengertian sebagai:
Perluasan konsep tentang media, di mana teknologi bukan sekedar benda, alat, bahan atau perkakas, tetapi tersimpul pula sikap, perbuatan, organisasi dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan ilmu. (Achsin 1986, dalam Rusyanti 1998).
Erat hubungannya dengan istilah “teknologi”, kita juga mengenal kata teknik. Teknik dalam bidang pengajaran bersifat apa yang sesungguhnya terjadi antara guru dan murid. Ia merupakan suatu strategi khusus. Teknik adalah prosedur dan praktek yang sesungguhnya dalam kelas. Dari sini, tampak jelas bahwa “teknologi” bukanlah hanya membuat kapal terbang model mutakhir dan semisalnya saja, tetapi melipat-lipat kertas jadi kapal terbang mainan itu juga hasil teknologi, karena itu juga merupakan suatu keterampilan dan seni (skill). Barangkali inilah yang menyebabkan beberapa kalangan lantas membagi pengertian teknologi menjadi dua macam; ada yang disebut teknologi tinggi (canggih), adapula yang disebut teknologi tradisional. Teknologi pengajaran agama sementara masih heavy kewawasan pengertian teknologi tradisional. Dengan demikian, kalau ada teknologi pengajaran agama misalnya, maka itu akan membahas masalah bagaimana kita memakai media dan alat bantu dalam proses mengajar agama, akan membahas masalah keterampilan, sikap, perbuatan, dan strategi pengajaran agama.
Dalam kegiatan belajar mengajar, sering pula pemakaian kata media pengajaran diganti dengan istilah-istilah seperti alat pandang- dengar, bahan pengajaran (instructional material), komunikasi pandang-dengar (audio-visual communication ) pendidikan alat peraga pandang (visual education), teknologi pendidikan (educational technology), alat peraga dan media penjelas.
Berdasarkan uraian beberapa batasan tentang media di atas, berikut dikemukakan ciri-ciri umum yang terkandung pada setiap batasan itu.
- Media pendidikan memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan panca indera.
- Media pendidikan memiliki pengertian non fisik yang dikenal sebagai software (perangkat lunak) yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada murid.
- Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio.
- Media pendidikan memilki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas.
- Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi interaksi guru dan murid dalam proses pembelajaran.
- Media pendidikan dapat digunakan secara massal (misalnya: radio, televisi), kelompok besar dan kelompok kecil (misalnya film, slide, video, OHP), atau perorangan (misalnya: modul, komputer, radio, tape/kaset, vidio rekorder).
- Sikap, perbuatan, organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan penerapan suatu ilmu.
2. Landasan Teoritis Penggunaan Media Pendidikan
Perolehan pengetahuan dan keterampilan, perubahan-perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang pernah dialami sebelumnya. Menurut Bruner (1966) dalam Rusyanti (1998) ada tiga tingkatan utama modus belajar, yaitu pengalaman langsung (enachtive), pengalaman piktorial gambar (iconic), dan pengalaman abstrak (simbolic). Pengalaman langsung adalah mengerjakan, misalnya arti kata “simpul” dipahami dengan langsung membuat simpul. Pada tingkatan kedua yang diberi label iconic (gambar atau image), kata simpul dipelajari dari gambar, lukisan, foto, atau film. Meskipun murid belum pernah mengikat tali membuat simpul mereka dapat mempelajari dan memahaminya dari gambar, lukisan, foto, atau film. Selanjutnya pada tingkatan simbol murid membaca (atau mendengar) kata simpul dan mencoba mencocokannya dengan simpul pada image mental atau mencocokannya dengan pengalamannya membuiat simpul. Ketiga tingkat pengalaman ini saling berinteraksi dalam upaya memperoleh pengalaman (pengetahuan, keterampilan, atau sikap) yang baru.
Tingkatan pengalaman pemerolehan hasil belajar seperti itu digambarkan oleh Dale (1969) sebagai suatu proses komunikasi materi yang ingin disampaikan dan diinginkan murid dapat menguasainya disebut sebagai pesan. Guru sebagai sumber pesan menuangkan pesan ke dalam simbol-simbol tertentu (encoding) dan murid sebagai penerima menafsirkan simbol-simbol tersebut sehingga dipahami (decoding).
Uraian di bawah memberikan petunjuk bahwa agar proses belajar mengajar dapat berhasil dengan baik, murid sebaiknya diajak untuk memanfaatkan semua alat inderanya. Guru berupaya untuk menampilkan rangsangan (stimulus) yang dapat diproses dengan berbagai indera. Semakin banyak alat indera yang digunakan untuk menerima dan mengelola informasi semakin besar kemungkinan informasi tersebut dimengerti dan dapat dipertahankan dalam ingatan. Dengan demikian, murid diharapkan akan dapat menerima dan menyerap dengan mudah dan baik pesan-pesan dalam materi yang disajikan.
Leivie dan Leivie (1975) dalam Rusyanti (1998) yang membaca kembali hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui stimulus gambar dan stimulus kata atau visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep. Dilain pihak, stimulus verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu melibatkan ingatan yang berurut-urutan (sekuensial). Hal ini merupakan salah satu bukti dukungan atas konsep dual coding hypothesis (hipotesis koding ganda)
Konsep itu mengatakan bahwa ada dua sistem ingatan manusia, satu untuk mengelola simbol-simbol verbal kemudian menyimpannya dalam bentuk proposisi image, dan yang lainnya untuk mengolah image nonverbal yang kemudian disimpan dalam bentuk proposisi verbal.
Belajar dengan menggunakan indera ganda pandang dan dengar berdasarkan konsep di atas akan memberikan keuntungan bagi murid. Murid akan belajar lebih banyak daripada jika materi pelajaran disajikan hanya dengan stimulus pandang atau hanya dengan stimulas dengar. Para ahli memiliki pandangan yang searah mengenai hal itu. Perbandingan pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaanya. Kurang lebih 90 % hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang dan hanya sekitar 5% diperoleh melalui indera dengar dan 5% lagi dengan indera lainnya. Pemerolehan hasil belajar melalui indera pandang berkisar 75% melalui indera dengar sekitar 13 %, dan melalui indera lainnya sekitar 12%. (Dale, 1969)
Salam …