Seiring dengan perkembangan zaman, yang ditandai oleh berbagai kemajuan dalam berbagai aspek melalui pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dewasa ini, ternyata disadari maupun tanpa kita sadari disamping memberikan dampak yang positif terhadap kemashlahatan umat, ternyata mempunyai juga dampak negatif, diantaranya penggunaan teknologi yang membuat manusia menjadi simple melaksanakan sesuatu dengan bantuan teknologi, tetapi melalui teknologi ini pula mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan. Hal inilah yang belakangan menjadi topik utama yang dibicarakan oleh para ahli baik dalam bidang kependudukan maupun dalam bidang lingkungan hidup. Untuk lebih fokusnya pembahasan ini maka akan dibahas dua pembahasan utama yaitu isu-isu kependudukan dan isu-isu lingkungan hidup.
Isu-isu Kependudukan
Sebuah pandangan imajinatif kiranya bisa mengawali pembicaraan kita tentang isu kependudukan di tingkat global ini : yaitu bahwa bumi kita ini alamiah dan teratur, bahwa manusia yang tinggal di atasnya hanya diwarisi sebuah bumi yang “serba terbatas” dan oleh karenanya manusia perlu menyadari akan adanya “batas-batas pertumbuhan” sehingga mereka pun perlu menumbuhkan “lifeboat ethics”. Adanya kaitan erat antara pertumbuhan penduduk yang cepat dengan sejumlah permasalahan sosial dan lingkungan menjadi persoalan kependudukan penting untuk dibicarakan sebagai sebuah isu global.
Beberapa permasalahan kependudukan, yang bertalian dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dan tanpa henti, adalah pencemaran lingkungan, perubahan iklim, pengrusakan hutan, urbanisasi, penurunan pendapatan, inflasi, pengangguran, perumahan , tingkat melek huruf, kelaparan, kekurangan air bersih, keterbatasan pelayanan kesehatan, energi dan sumber daya alam, dan konflik politik.
Pertambahan jumlah penduduk tidak bisa dikatakan sebagai sebagai sebuah masalah, kecuali jika dihubungkan dengan variable-variabel lain.
Dewasa ini pertumbuhan penduduk yang fantastis dipandang sebagai sebuah masalah, bukan karena percepatan pertambahan penduduk yang disadari semakin tinggi, tetapi lebih karena orang baru sadar, bahwa batas-batas pertumbuhan telah semakin mendekat atau bahkan telah terlewati oleh pertumbuhan penduduk dunia.
Disamping isu pertumbuhan penduduk yang cepat, terdapat pula beberapa isu kependudukan, yang mungkin disatu disisi bisa menjadi jalan keluar bagi daerah tertentu, tetapi menjadi masalah baru bagi daerah lain, diantaranya mengenai: masalah migrasi penduduk, migrasi merupakan perpindahan penduduk dari suatu tempa ketempat lain. Migrasi senangtiasa terjadi sepanjang masa sejak dahulu sampai sekarang. Beberapa hal yang memotivasi seseorang hendak melakukan migrasi diantaranya, karena kesulitan hidup didaerah asal misalnya penghasilan yang sangat kecil, keamanan yang tidak terjamin keselamatannya, Pengaruh- pengaruh dari luar yang menjadi tujuan yang dipandang lebih baik, transportasi yang baik mempermudah terjadinya imigrasi yang baik.
Isu lain yaitu urbanisasi yang merupakan perpindahan penduduk dari desa ke kota. Proses urbanisasi tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan banyak kota diseluruh Dunia. Di Indonesia urbanisasi terjadi dimana-mana. Proses itu umumnya masih kuat dan menyebabkan makin besar suatu kota. Urbanisasi sering disebutkan sebagai hasil dua kekuatan yang besar yaitu pada suatu pihak dorongan dari desa dan pada pihak lain yaitu tarikan dari kota. Dorongan dari desa untuk meninggalkan desa menuju kota dipengaruhi oleh adanya tekanan penduduk yaitu kepadatan penduduk yang melampaui daya dukung lingkungan, sehingga pangan tidak mencukupi dan lingkungan mengalami kerusakan sehingga menyebabkan mereka merantau ke kota mencari kesempatan yang baru menjadi lebih baik, bencana alam dan faktor keamanan. Sedangkan faktor penarik dari kota diantaranya mutu lingkungan di kota lebih baik dari desa., dan tersedianya lapangan pekerjaan.
Salah satu masalah yang terjadi di negara ketiga khususnya Indonesia yaitu masalah kualitas sumber daya manusia. Manusia merupakan sumber daya yang utama dalam pembangunan, baik kemampuan, maupun kemauan manusia itu. Dari segi teknologi kemampuan kita masihlah rendah. Kita perlu menguasai teknologi moderen misalnya untuk membuat ata menciptakan sendiri mobil, TV dan jenis-jenis teknologi lainnya. Namun yang kita lakukan baru merakitnya, tetapi yang lebih mengkhawatirkan bukanlah teknologi yang rendah itu, melainkan kurangnya kemauan kita untuk menguasai teknologi. Kemauan kita lebih tertuju untuk menikmati hasil teknologi sekalipun dengan mengimpornya.
Ada perbedaan dalam kemampuan ilmu pengetahuan pada umumnya dan teknologi pada khususnya antara negara kita dan negara maju adalah Arus informasi yang dikuasai negara maju dan Kemampuan negara maju menguasai informasi melaju pesat dengan menggunakan teknologi yang sangat modern. Pengalaman menunjukkan ketinggalan kita dari negara maju makin besar. Untuk mengejar ketinggalan itu kita harus merebut teknologi itu bahkan dalam bidang tertentu teknologi kita curi. Contohnya para ilmuan kita disekolahkan kenegara- negara maju sehingga pada akhirnya mereka selesai ditarik kembali ke negara kita dengan memperhatikan masa depan mereka dengan baik
Kemiskinan penduduk juga merupakan masalah sosial yang tak kunjung selesai dinegara Indonesia tercinta ini, kemiskinan terjadi disebabkan oleh produktivitas tenaga kerja yang rendah atau lapangan pekerjaan yang kurang, kesehatan yang buruk serta pendidikan rendah.
Lapangan kerja yang dikembangkan sekarang ini masih sangat terbatas sedangkan keperluan perluasan sudah amat mendesak. Tenaga kerja yang ada sebagian besar belum dapat di mobilisasikan bahkan sebagian dari tenaga kerja tersebut belum memiliki suatu keterampilan yang tertentu.
Kurangnya pembangunan bidang kesehatan, melainkan karena perpacuan jumlah penduduk dengan jumlah pembangunan di bidang kesehatan tersebut belum seimbang. Jumlah penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan masih jauh lebih besar persentasenya daripada jumlah sarana dibidang kesehatan tesebut. Daerah-daerah kota yang tergolong daerah kumuh, pada umunya kesehatan penduduknyan masih sangat rendah sehingga penyakit-penyakit tertentu seperti diare, penyakit kulit, makanan-makanan penduduk yang kurang bergizi, air minum yang kurang bersih, lingkungan fisik yang amat kotor telah mempercepat tingkat kesehatan masyarakat yang menurun.
Pendidikan dinegara-negara berkembang pada umumnya belum memadai untuk mejadi daya pendorong secara kreatif dengan mengadakan terobosan-terobosan dalam pembangunan bahkan untuk mencapai suatu kemajuan. Betapa pun kecilnya, pendidikan tetap penting.
Tindakan cepat untuk memecahkan persoalan ini tampaknya mendesak untuk dilaksanakan, mengingat luas dan seriusnya persoalan kependudukan di tingkat global ini. Pendapat umum mengatakan bahwa pemecahan atas berbagai permasalahan sosial dan lingkungan yang dihadapi sebagian besar umat manusia itu terletak pada isu “pertumbuhan penduduk yang cepat” tadi. Meskipun demikian, pendapat umum itu memerlukan klarifikasi lebih jauh terutama karena adanya keragaman definisi dan penjelasan mengenai permasalahan kependudukan ini. Keragaman ini antara lain disebabkan oleh perbedaan pendekatan politik yang sering terabaikan dalam proses pencapaian konsensus mengenai apa dan bagaimana memecahkan permasalahan ini.
Untuk memahami keadaan kependudukan dewasa ini yang antara lain ditandai dengan pertumbuhan cepat itu, kita perlu memahami pula sejarah trend kependudukan dunia. Pada kenyataannya pertumbuhan penduduk secara cepat tadi adalah fenomena baru. Selama 8000 tahun sejarah demografi memperlihatkan pertumbuhan penduduk dunia yang relatif stabil dan lambat. Barulah kemudian mulai dua atau tiga abad yang lalu isu penditng demografi dan sosial berbeser kearah “bagaimana mempertahankan kelestarian hidup (survival)”. Sebenarnya, masa inipun terdapat tingkat kelahiran (fertilitas) yang tinggi dihampir semua kelompok, hanya saja saat itu fenomena itu diiringi dengan tingkat kematian (mortalitas) yang juga tinggi sebagai akibat rendahnya mutu pelayanan kesehatan. Bahkan, dibeberapa tempat dulu angka kematian bisa lebih tinggi dari pada angka kelahiran.
Penyebab peningkatan populasi yang cepat bukan terletak pada antusiasme tiba-tiba untuk mendapatkan lebih banyak anak, melainkan pada perbaikan kondisi hidup yang sebelumnya disebabkan tingginya tingkat kematian. Sejalan dengan itu sejarah demografi dapat dibagi dalam 2 periode, yaitu: pertama periode panjang dengan tingkat populasi lambat, antara 8000 SM s/d 1650 dan kedua periode yang ditandai dengan pertambahan jumlah penduduk yang cepat dan dramatis sejak tahun 1650- hingga sekarang. Perbandingan rata-ratanya adalah bahwa pada periode pertama penduduk bertambah 50.000 jiwa/ tahun, namun periode kedua, jumlah ini bertambah setiap 6 jam.
Pertanyaan yang timbul kemudian adalah : kenapa populasi penduduk dunia bertambah dengan cepat dalam waktu yang sedemikian singkat ? Salah satu model yang mencoba menjelaskan kecenderungan ini adalah model transisi demografi. Model ini akan membantu kita memahami mekanisme pertumbuhan penduduk dimasa lalu dan saat ini serta kemungkinan – kemungkinan di masa mendatang.
Menurut gambar model transisi demografis di atas terdapat 3 periode utama yang ditunjukkan. Periode A (high growth potential) ditandai dengan fertilitas dan mortalitas yang sama-sama tinggi, sehingga ada keseimbangan relatif. Periode B (transitional growth) merupakan periode peralihan yang problematik, ada ketidakseimbangan antara fertilitas dan mortalitas, dimana mortalitas turun tetapi fertilitas cenderung tetap tinggi. Dan periode C (incipient decline) ditandai keseimbangan relatif, yaitu sebagai akibat angka fertilitas dan mortalitas yang sama-sama rendah.
Pertumbuhan penduduk dunia secara cepat muncul pertama kali sebagai isu kependudukan karena adanya aktor-aktor tertentu yang melihatnya sebagai ancaman. Salah satunya berdasarkan teori Malthus bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan pertumbuhan sumber daya alam menurut deret hitung. Sesuatu hal yang ironis apabila jumlah penduduk yang semakin banyak tidak diimbangi oleh peningkatan sumber daya alam yang nantinya menjadi masalah didalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Lebih lanjut Karl Sax (1992 : 167), menyatakan : “Selama dasawarsa yang lalu, penduduk dunia bertambah dengan tingkat yang mencengangkan. Peningkaatan angka pertambahan penduduk ini sedemikian kritis sehingga banyak orang mengakui bahwa peledakan penduduk dewasa ini merupakan ancaman terbesar bagi perdamaian dan kesejahteraan dunia.”
Kemudian The Club of Rome (1992 : 167), juga menyimpulkan bahwa : Jika kecenderungan dalam pertumbuhan penduduk dunia, industrialisasi, polusi, produksi pangan, dan eksploitasi sumber daya alam yang ada saat ini tetap tidak berubah, dunia akan semakin mendekati titik kritisnya dan selama kira-kira seratus tahun lagi akan mencapai tingkat di mana ia tidak mampu lagi menampung pertumbuhan penduduknya. Yang paling mungkin kita hadapi kemudian adalah menurunnya populasi dan kapasitas industri.
Pemecahan masalah isu kependudukan ini sudah sudah banyak cara yang ditawarkan diantaranya pengendalian fertilitas dengan penggunaan alat kontrasepsi KB, penundaan perkawinan, bahkan menurut teori malthus memberikan 2 jenis solusi yaitu preventive checks (pengurangan penduduk melalui penekanan kelahiran) dan positive checks (pengurangan penduduk melalui proses kematian).
Kegiatan antianatalis seakan-akan menjadi program unggulan untuk mengatasi permasalahan ledakan penduduk tersebut, terkhusus negara china menerapkan model yang berbeda dalam penyelesai ini, yaitu mencanangkan sasaran “pertumbuhan penduduk” dalam kebijakan kependu69dukannya melalui beragam cara : mulai dari pemberian imbalan bagi keluarga dengan satu anak, dan sanksi bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh menjalankan kebijakan ini, wajib militer bagi para pemuda, penundaan usia kawin, sampai pada komitmen pemimpinnya yang memberi pembenaran pada program ini sebagai bagian dari ajaran sosialisme. (1992 : 168)
Berbeda dengan aliran moderat yang berpendapat bahwa solusi atas persoalan pertumbuhan penduduk yang cepat adalah pembangunan nasional : Tingkat kelahiran akan turun dengan sendirinya, bukan melalui intervensi “buatan” semacam kebijakan dan program kependudukan etapi lewat proses “alamiah” yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi dan sosial yang sungguh-sungguh. (1992 : 169).
Isu-isu Lingkungan Hidup
Terdapat tidak kurang 25 juta pengungsi akibat krisis lingkungan hidup di seluruh dunia. Dalam konferensi perubahan iklim dunia pada tahun 2002 di Maroko disebutkan bahwa keadaan genting dari planet Bumi sekarang ini disebabkan oleh konsumsi berlebihan, bukan oleh 80% penduduk miskin di 2/3 belahan bumi, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber alam dunia.
Semakin banyaknya jumlah nyawa manusia yang hilang akibat bencana ekologis yang terjadi di negeri ini. Sejak 1998 hingga 2003, tak kurang dari 600 kejadian bencana akibat kerusakan lingkungan hidup terjadi di Indonesia yang menewaskan lebih dari 2.500 orang dan kerugian material mencapai 300 miliar rupiah. Dalam dua tahun terakhir saja, terjadi tidak kurang tiga kali kejadian bencana banjir setiap tahunnya di berbagai wilayah di Indonesia. Banjir di Sinjai, Barito Utara hingga Kutai Barat dan Kutai Timur semakin menjadikan rakyat harus menikmati bencana. Ironisnya, berbagai kejadian bencana di negeri yang terlimpahi kekayaan alam ini, sepertinya masih belum menjadikan permasalahan kerusakan lingkungan hidup (ekologi) menjadi agenda yang penting dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Di sisi lain, teknologi dan ilmu pengetahuan dipandang masih mampu untuk mencegah terjadinya kematian akibat bencana ekologi yang terjadi. Teknologi dan pengetahuan lokal mengalami penghilangan secara sistematis dengan tidak diakuinya hukum adat, serta pengetahuan dan kebudayaan lokal dalam setiap ruang kehidupan bernegara. Edward Goldsmith mengungkapkan pengrusakan lingkungan alam di negara-negara dunia ketiga berjalan beriringan dengan pengrusakan cara hidup pedesaan tradisional yang umumnya mencukupi diri sendiri.
Beberapa isu lingkungan hidup yang menjadi fokus saat ini diantaranya : Perubahan iklim global, perubahan suhu global, penurunan signifikan suhu global akan mengakibatkan masyarakat dunia khususnya yang berada dibelahan bumi utara, menghadapi zaman es baru. Akibatnya terjadi perubahan dalam sistem pertanian, perumahan, bahkan pekerjaan di negara-negara kawasan utara. Sedangkan kenaikan suhu global yang drastis, sebaliknya, mengakibatkan mencairnya es di kutub-kutub bumi sehingga menaikkan permukaan airl aut. Ini secara langsung mengancam keberadaa kota-kota dan daerah-daerah pesisir.
Meningkatnya kadar dan konsentrasi karbondioksida di atmosfir akibat kenaikan suhu bumi. Peningkatan unsur karbondioksida ini akan menciptakan terjadinya efek rumah kaca, yang menyebabkan radiasi sinar matahari yang masuk dalam atmosfer terperangkap dan menimbulkan efek panas di sekitar permukaan bumi. Seakin banyak kandungan karbondioksida di atmosfir, semakin tinggi suhu bumi.
Terjadinya hujan asam yang diakibatkan adanya pencemaran air yang langsung berhubungan dengan iklim. Hujan ini antara lain berasal dari sumber-sumber air seperti dana dan sungai yang tercemar oleh sulfur-diaoksida (SO2). Kandungan sulfurdioksida berlebihan akan menaikan keasaman air hujan, dan seringkali korban yang terkena dampak hujan asam berada sangat jauh dari sumber pencemaran.
Ridha Saleh, Deputi Direktur WALHI, dalam bukunya ? Ecocide: Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia ? menyatakan bahwa gejala eksploitasi yang massif terhadap sumberdaya alam secara terbuka, menurut kenyataannya telah mengarah pada tindakan pengrusakan dan pemusnahan atas ekosistem sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup akibat dari ecocide. Depresi ekologi saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi.
Setiap tahunnya tak kurang dari 4,1 juta hektar hutan di Indonesia berganti menjadi areal pertambangan, perkebunan besar dan kawasan industri lainnya. Hutan yang selama ini menjadi tempat berburu, sumber obat-obatan dan sumber kehidupan bagi komunitas lokal semakin banyak yang dikuasai oleh kepentingan sekelompok orang. Sungai-sungai yang selama ini menjadi pemasok air bagi pertanian dan kebutuhan hidup harian rakyat sudah semakin banyak yang tercemar, bahkan beberapa telah mengering. Udara negeri ini semakin tak sehat untuk dihirup, sehingga tak salah ketika Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jakarta membuat baliho ? Selamat Datang di Kota Polusi ?. (http : www.timpakul-hijaubiru.org/hak/).
Disamping itu perkembangan era industrialisasi yang harus memenuhi permintaan keperluan akan barang dan jasa, akhirnya menciptakan mental manusia yang pembuka dan pendobrak lahan baru (frontier). Manusia dengan mental “frontier” ini menurut Chiras adalah manusia yang pandangan hidupnya berpusat pada manusia (anthroposentris) dan memiliki tiga persepsi sebagai ciri khasnya, ialah :
- Memandang alam dan bumi sebagai pemberi sumber bahan kehidupan manusia yang tidak terbatas, dengan keyakinan bahwa selalu ada sesuatu lagi.
- Memandang manusia sebagai makhluk hidup di luar alam, bukan bagian dari alam.
- Memandang alam sebagai sesuatu yang perlu di kuasai. (Maftuchah Yusuf : 2000, hal. 110).
Mentalitas frontier ini selama beribu-ribu tahun mendasari pandangan hidup dan tingkah laku manusia, yang berpegang pada “selalu akan ada yang lebih baik”, dan keinginan untuk mendapatkan hasil sebanyak mungkin dalam jangka waktu yang sependek mungkin tanpa memperhitungkan dampak dari pengelolaan tersebut khususnya pencemaran lingkungan.
Keserakahan pada materi ini pula yang turut mempengaruhi keinginan manusia untuk hidup mewah dan mengejar materi. Akibatnya adalah pertumbuhan industri, pembuat barang konsumtif dengan segala akibatnya : kerusakan alam dan pencemaran lingkungan yang semakin menjadi-jadi.
Manusia perlu diyakinkan untuk segera mengubah mentalitas frontier menjadi mentalitas pembangunan yang berkelanjutan. Pandangan hidup, sikap dan tingkah laku manusia diseluruh dunia perlu diubah atas dasar keyakinan bahwa :
- Persediaan sumber daya alam yang dimiliki planet bumi terbatas
- Manusia merupakan bagian dari alam
- Manusia tidak superior dari alam.
Mengubah pandangan hidup, sikap dan tingkah laku manusia dari yang sudah diterapkan dalam kehidupannya selama beribu-ribu tahun kepandangan hidup hidup, sikap serta tingkah laku yang baru, jelas akan mengurangi kenyamanan hidupnya sangat sukar. Hal ini akan dipermudah jika perkembangan semua segi kehidupan manusia, politik, ekonomi , sosial budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dasarkan pada etika “pembangunan yang berkelanjutan” . Misalnya dengan :
- Perkembangan industri yang menggunakan mesi-msin besar perlu mengadakan reorientasi dan emmbatasi dengan perkembangan industri yang menggunakan mesin yang kecil dan mengurangi pencemaran yang ditimbulkan.
- Penggalakan keinginan di seluruh dunia untuk konservasikan sumber daya alam yang ada, mengatur dan mengurangi pemakaian sumber daya alam, menggunakan kembali melalui recycling (daur ulang) dan menggantikan penggunaan bahan yang tidak dapat diperbaharui, seperti energi dari minyak bumi dengan panas sinar matahari.
- Penanaman sikap pada setiap orang bahwa dia harus memperhatikan dan bertindak sesuai dengan kepentingan generasi yang akan datang. Dia harus siap dan bersedia berkorban, kalau dia (atau sebuah negara maju) hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri, krisis akan tetap bertambah besar dan akhirnya menghancurkan diri sendiri. (Source : K’ Masni, Mahasiswa Pasca Sarjana PKLH UNM Makassar | Guru Biologi SMAN 1 Bone-Bone Kab. Luwu Utara, Sulsel)