Penelitian Survey

Bagaimana sikap para siswa siswa Cina terhadap pembelajaran bahasa Inggris? Bahasa asing apakah yang diajarkan di sekolah dasar dan menengah di Amerika Serikat? Bagaimana siswa ESL (English as a Second Language) tingkat lanjut memperbaiki tindak ujaran yang penting secara sosial?  Bagaimana ciri-ciri dasar pengajaran melek-huruf (literacy instruction) yang diprogramkan bagi orang-orang dewasa? Itulah beberapa contoh dari macam-macam pertanyaan yang bisa dieksplorasi oleh peneliti dengan menggunakan metode penelitian survey.

Penelitian survey, tentunya berbeda dengan penelitian penelitian kasus dalam hal langkah-langkah utamanya. Dalam penelitian kasus, peneliti mengamati dari dekat suatu kasus, seperti pembelajar (siswa), ruang kelas atau sebuah program. Karena penelitian kasus biasanya menyediakan informasi yang mendalam, maka kita perlu meneliti banyak hal tentang kasus-kasus tertentu, namun kita tidak banyak belajar tentang bagaimana kasus-kasus tersebut mirip satu sama lainnya. Di lain pihak, dalam penelitian survey, seorang peneliti mengamati banyak kasus, tetapi secara umum tidak meneliti tiap kasus secara mendalam. Agaknya perlu ditegaskan di sini, bahwa maksud dari penelitian survey adalah untuk meneliti satu atau beberapa variabel dari sejumlah kesatuan atau entitas yang lebih besar.

Dalam bab ini kami akan membahas tentang karakter dasar dan penerapan penelitian survey. Kemudian kami akan mendiskusikan beberapa langkah kunci dalam merancang atau mendesain penelitian survey. Akhirnya, kami akan mengajukan serangkaian kriteria yang dipakai untuk mencermati penelitian survey dan menerapkannya pada satu contoh hasil penelitian survey.

Apakah Penelitian Survey Itu?

Tujuan penelitian survey adalah untuk memahami (meneliti?) tentang karakteristik dari seluruh kelompok yang hendak diteliti atau populasi dengan meneliti sebagian (subset) dari kelompok populasi tersebut yang selanjutnya disebut dengan sampel. Banyak pembaca yang sudah familiar dengan hasil penelitan survey di bidang politik, walaupun yang disurvey hanya sedikit jumlahnya. Karena akan tidak mungkin untuk mensurvey seluruh populasi di negeri kami (AS), maka para pengumpul pendapat umum (pollsters) memilih sampel kecil yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mewakili atau merepresentasikan populasi secara keseluruhan.Hasil dari survey terhadap sampel tersebut kemudian digeneralisasikan atau diberlakukan kepada populasi. Penelitian survey biasanya didefinisikan sebagai sebuah penelitian atau penelitian tentang kelompok besar melalui penelitian langsung dari subset (sampel) dari  kelompok tersebut.[1]

Penerapan Penelitian Survey

Metode survey telah digunakan oleh peneliti bahasa kedua, pendidikan bilingual, dan peneliti bahasa asing untuk meneliti berbagai macam isu/permasalahan/topik dalam pembelajaran bahasa. Hal ini mencakup antara lain konteks perubahan demografis (kependudukan), setting institusional dimana profesional bahasa kedua berperan, kebijakan yang mempengaruhi pembelajaran dan pengajaran, administrasi program, persiapan guru, sikap guru dan professor (dosen) terhadap variasi bahasa, praktek berbahasa di ruang kelas, norma bahasa sasaran serta penggunaan dan perkembangan bahasa siswa. Dalam bagian ini, kami akan melihat temuan dari berbagai penelitian survey untuk mendapatkan ilustrasi tentang berbagai jenis permasalahan  yang telah ditentukan.

Konteks Demografis

Penelitian survey dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi demografis tentang pembelajar bahasa. Sebagai contoh, banyak survey telah dilakukan untuk memperkirakan jumlah orang di AS yang mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa tambahan dan yang memerlukan bermacam-macam bahasa dan atau program literacy (Kaskowitz, Binkley, & Johnson, 1981; Waggoner, 1988). Hasil dari survey-survey semacam itu seringkali kontroversial karena dapat mempengaruhi pengambilan keputusan atau kebijakan. Hasil survey sering digunakan oleh organisasi-organisasi profesional untuk melobi program bahasa dan oleh pembuat kebijakan untuk menetapkan dan menjustifikasi kebijakan-kebijakan programnya.

Setelah me-review data dari sejumlah survey demografis, Olsen (1989) mengklaim bahwa estimasi atau perkiraan jumlah siswa yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam berbahasa Inggris yang dipaparkan oleh sekian banyak survey adalah rendah dan kurang realistis. Salah satu alasannya adalah tidak dimasukkannya para siswa dewasa dalam ptogram penyetaraan SMU. Olsen melaporkan analisisnya sendiri yang mengindikasikan bahwa, ketika para siswa K-12 dan para siswa dewasa dimasukkan dalam estimasi, maka hampir 1 dari 18 orang di seluruh negeri yang berada dalam program penyetaraan SMU dan program persiapan diidentifikasi dan dilaporkan sebagai mereka yang kemampuan berbahasa Inggrisnya terbatas. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperbaharui hasil berbagai survey demografis secara berkelanjutan dalam rangka menggambarkan konteks sosial bagi pembelajaran bahasa.

Bahasa-Bahasa di Sekolah

Jika survey-survey demografis menyediakan informasi deskriptif yang luas tentang bahasa dan karakterisitik literacy para siswa, maka survey-survey lainnya menggambarkan tentang program-program bahasa yang ditawarkan oleh pihak sekolah. Bahasa-bahasa apa saja yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di AS? Rhodes dan Oxford (1988) melaporkan telah melakukan survey nasional tentang bahasa-bahasa asing yang diajarkan di sekolah dasar dan menengah yang dilakukan melalui Center for Language Education and Research (CLEAR). Penelitian survey ini – yang dibiayai oleh departemen pendidikan AS – didorong oleh adanya keprihatinan akan kurangnya penelitian tentang bahasa asing di sekolah-sekolah. Sampel nasional yang dilibatkan dalam penelitian survey ini sebanyak 5% dari sekolah-sekolah dasar dan menengah negeri dan swasta, namun hanya 52% dari sampel ini yang merespon penelitian survey tersebut. Hasilnya – seperti yang telah diindikasikan secara tepat oleh peneliti – hanya cocok untuk sekolah-sekolah yang telah merespon dan tidak untuk populasi sekolah secara nasional.

Beberapa hasil penelitian survey akan memberikan indikasi tentang temuan-temuan tersebut. Bahasa yang paling sering diajarkan, baik di sekolah dasar maupun di sekolah menengah adalah bahasa Spanyol, Perancis, Jerman dan Latin. Bahasa latin, bahkan diajarkan di lebih banyak sekolah dibandingkan dengan bahasa penting dunia lainnya seperti bahasa Rusia, Cina dan Jepang. Kebanyakan program di sekolah dasar sangat terbatas cakupannya. Hanya 3% dari responden (dalam hal ini sekolah) yang menawarkan program-program, seperti program bahasa asing di seklah dasar secara intensif yang bertujuan untuk mengembangkan tingkat kompetensi komunikatif yang lebih baik. Dismping itu, dilakukan pula artikulasi yang melintasi beberapa tingkat yang juga telah dilaporkan dalam penelitian survey tersebut. Peneliti merekomendasikan bahwa untuk meningkatkan pengajaran bahasa kedua, maka dibutuhkan program-program yang lebih intensif dan beruntut dari tingkat sekolah dasar sampai jenjang SMU.

Materi Perkuliahan Linguistik Terapan di Perguruan Tinggi (Universitas)

Disamping menyediakan informasi tentang program-program bahasa yang ditawarkan di sekolah-sekolah, survey juga dapat menyediakan data deskriptif tentang muatan materi suatu mata kuliah. Dalam ssuatu penelitian survey (dilaporkan dalam Johnson, 1987), tim penelitian kami melakukan survey terhadap kurikulum linguistik dan linguistik terapan dalam program-program dwibahasa di tingkat universitas.

Sebagai bagian dari penelitian yang lebih besar tentang persiapan calon guru dwibahasa yang akan didiskusikan kemudian dalam bab ini, kami melakukan survey terhadap sebuah sampel yang representatif secara nasional dari 328 mata kuliah wajib dalam program pascasarjana berkenaan dengan kandungan materi pendidikan ke-dwibahasa-an. Kami mengumpulkan informasi ini dengan melakukan kunjungan dua sampai tiga  hari  ke 49 program pascasarjana. Selama kunjungan, kami melakukan wawancara semi terstruktur dengan para profesor (dosen) dari berbagai mata kuliah wajib dan mengumpulkan bahan-bahan perkuliahan seperti silabus, daftar bacaan dan soal-soal ujian atau tes. Kemudian, kami juga menggunakan sebuah “Kerangka Kompetensi” atau Framework of Competencies untuk menganalisa muatan materi mata kuliah-mata kuliah tersebut.

Tujuan utama dari analisis kami terhadap kurikulum linguistik dan linguistik terapan adalah hanya untuk menggambarkan apa yang diajarkan dalam kedua mata kuliah ini. Kami menemukan bahwa sebagian besar program tersebut menekankan pada dua topik utama linguistik, yakni sifat bahasa dan variasi bahasa. Hanya sedikit program yang memfokuskan pada topik-topik linguistik yang lain seperti fungsi bahasa, sikap terhadap bahasa dan analisis wacana. Kami merekomendasikan bahwa, karena topik-topik yang terakhir tersebut dianggap penting bagi pendidikan dwibahasa, maka perlu dimasukkan dalam muatan kurikulum bagi program pendiaikan calon guru.

Disamping menggambarkan kandungan materi mata kuliah, kami juga membandingkan program master dengan program doktoral dan membandingkan program-program yang dibiayai oleh negara bagian dengan program-program yang tidak dibiayai guna melihat apakah ada perbedaan-perbedaan penting dalam berbagai jenis program yang berbeda. Kami menemukan bahwa lebih dari setengah dari program-program master mewajibkan para mahasiswanya mempelajari analisis kontrastif, sementara hanya 20% dari program-program doktoral yang menekankan topik ini. Dengan membandingkan program-program yang dibiayai Title-VII dengan program yang tidak dibiayai, kami menemukan bahwa program-program yang dibiayai kurang menekankan pada linguistik secara keseluruhan, terutama aspek-aspek formal dari bahasa, tetapi justeru lebih menekankan pada isu-isu fungsional, sosiolinguistik dan kultural di dalam bidang linguistik. Kami memandang bahwa penekanan yang lebih terhadap sosiokultural dalam kurikulum linguistik dan linguistik terapan merupakan aspek positif dari program-program yang dibiayai oleh negara bagian.

Mata Kuliah Writing Bahasa Asing dalam Bahasa Spanyol

Dalam penelitian tentang isi kandungan mata kuliah, Harvey (1987) melaporkan penemuan-penemuan survey-nya yang dilakukan melalui surat tentang mata kuliah writing bahasa asing. Tujuannya adalah untuk melakukan survey terhadap fakultas intruksional jurusan bahasa Spanyol di Universitas, diploma dua dan Sekolah Tinggi untuk menentukan jenis mata kuliah writing apa yang ditawarkan dan peran apa yang dimainkan oleh komputer dalam proses pembelajaran tersebut.

Harvey melaporkan bahwa mata kuliah komposisi ditawarkan oleh kebanyakan program; bahwa pendekatan proses (yang ia definisikan sebagai pra-menulis, menulis dan merevisi) digunakan;  dan bahwa dalam beberapa tempat para siswa menggunakan word processing di dalam ruang kelas khusus yang didsain sebagai pusat komposisi (composistion centers). Meskipun topik survey ini mungkin menarik, tetapi informasi yang dilaporkan peneliti kurang bermakna karena tingkat responsitas  yang rendah. Harvey mengirim kuisioner kepada para guru (dosen) di 1678 fakultas/sekolah, tetapi hanya 10% yang merespon kuisioner tersebut.

Peneliti menyatakan secara tidak langsung bahwa hasil survey tersebut merupakan representasi dari para pengajar bahasa Spanyol universitas seluruh negeri, tetapi hanya berlaku bagi mereka yang telah merespon.

Reaksi Para Profesor/Dosen Terhadap Penulisan dalam Bahasa Kedua

Bahasa tertulis telah menjadi topik survey yang lain di tingkat universitas. Para peneliti tertarik dengan pertanyaan penelitian seperti: Bagaimana reaksi para profesor atau dosen di suatu universitas AS terhadap karya tulis (writing) para mahasiswanya  yang bukan native speakers bahasa Inggris? Kesalahan-kesalahan (dalam menulis)  manakah yang dianggap paling serius dan bagaimana seharusnya informasi ini berdampak pada perkuliahan komposisi? Santos (1988) mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini dalam sebuah survey terhadap 158 profesor/dosen di sebuah universitas. Para profesor tersebut, yang sukarela berpartisipasi, berasal dari berbagai jurusan, baik ilmu sosial/humaniora maupun ilmu alam. Setiap responden membaca dan memperingkat tingkat kebenaran karangan/paper yang ditulis oleh para mahasiswa Cina dan Korea. Mereka memperingkat paper-paper tersebut dalam 6 skala yang berisi 10 item; tiga skala untuk menilai isi/kandungan paper (kesan holistik, pengembangan dan kerumitan) dan tiga skala untuk menilai bahasa yang diguanakan dalam menulis paper (comprehensibility, acceptability dan irritation). Disamping itu, mereka juga memperingkat kalimat-kalimat yang mengandung kesalahan-kesalahan utama dalam tiga skala bahasa (comprehensibility, acceptability, dan irritation).

Secara umum, para profesor tersebut memberi rating yang rendah kepada paper-paper tersebut dalam hal isi/kandungannya, tetapi tidak untuk bahasa yang digunakannya. Mereka memperingkat kalimat-kalimat yang salah tersebut sebagai sesuatu yang bisa difahami dan masuk akal tetapi tidak dapat dibenarkan secara linguistik. Kelompok profesor/dosen yang lebih “tegas” dalam penilaian mereka adalah para profesor/dosen yang lebih muda; mereka yang berhubungan dengan ilmu alam; dan mereka yang merupakan bukan native speakers bahasa Inggris (sekitar 5% dari sampel). Dari beberapa variasi tipe-tipe kesalahan (auxiliary verb, article, discourse cohesion, dsb), maka kesalahan-kesalahan leksikal dianggap sebagai yang paling serius. Oleh karena itu, Santos menyarankan, seharusnya para pengajar ESL writing lebih menekankan pengembangan kosakata dan pemilihan leksikal yang tepat dalam perkuliahan mereka. Santos juga berpendapat bahwa perkuliahan yang seperti itu akan membantu para siswa ESL/EFL mau menerima evaluasi atau kritik yang lebih positif terhadap karya tulis mereka dalam mata kuliah-mata kuliah yang bersifat akademik.

Perspektif Guru Kelas “Reguler”

Integrasi para siswa ESL ke dalam  kelas-kelas akademik merupakan suatu topik penelitian yang penting, bukan hanya di tingkat universitas, tetapi juga di sekolah dasar. Banyak siswa ESL di sekolah negeri AS menghabiskan sebagian besar waktu mereka di ruang kelas “reguler” bersama para guru yang tidak memiliki keterampilan yang cukup dalam pengembangan bahasa kedua (Rigg & Allen, 1989). Penfield (1987) tertarik untuk mengetahui bagaimana para guru reguler tersebut menghadapi tantangan untuk mengintegrasikan para siswa ESL ke dalam kelas-kelas mereka. Dia memberikan sebuah kuisioner dengan 15 item yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka (open-ended) kepada sebuah sampel yang terdiri dari para guru sekolah negeri yang menghadiri workshops tentang “Siswa ESL di dalam kelas reguler”. Sampel itu (disebut sebuah “sample of covenience”) tidak didesain untuk merepresensikan suatu populasi khusus; sebaliknya, tujuan peneliti sendiri adalah untuk mengidentifikasi wilayah perhatian utama para guru reguler (umum) ketika mereka berhubungan dengan para siswa ESL-nya.

Hasil survey tersebut mengilustrasikan adanya kesalahan konsepsi (misconceptions) dan kontradiksi dalam persepsi mereka dan kebutuhan mereka akan pelatihan. Para responden mencantumkan matematika, mengeja dan phonics sebagai mata pelajaran yang “termudah” untuk diajarkan kepada para siswa ESL. Mereka juga melaporkan bahwa mereka sangat membutuhkan pelatihan (training) tentang bagaimana mengintegrasikan pengembangan bahasa kedua dengan materi berbagai mata pelajaran yang bersifat akademik atau keilmuan. Pengalaman yang paling membuat frustasi bagi mereka adalah ketidakmampuan mereka untuk berkomunikasi dengan para siswa ESL dan orangtuanya, dan hanya 21% responden yang menyukai digunakannya sebuah pendekatan pendidikan dwi bahasa untuk para siswa. Siswa ESL sering digambarkan sebagai siswa yang pasif dan tertutup. Para guru sering menganggap bahwa problem yang dihadapi para siswa di sekolah berasal dari sikap dan kebiasaan orangtua mereka. Sebagai guru reguler (umum), para responden merasa tidak bertanggung jawab untuk menyokong pengembangan bahasa kedua, namun mereka mengharapkan agar para guru ESL tidak hanya mengajar bahasa Inggris saja, tetapi juga semua mata pelajaran yang terkait. Mereka juga menyarankan agar diadakan pengajaran bahasa asli (native language instruction). Penfield (1987) menyimpulkan bahwa: “salah satu  fungsi yang terpenting dari guru ESL mungkin tidak hanya untuk mengajar siswa yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam bahasa Inggris saja, tetapi yang  lebih signifikan daripada itu adalah  untuk mengadakan  inservice training (pelatihan) bagi para guru umum atau reguler” (hal. 35).

Siswa (The Learner)

Kembali kepada persoalan siswa, penelitian survey tentang mereka dapat memberikan pemahaman yang mendalam dan menarik mengenai beberapa hal seprti isu minoritas dan prestasi sekolah. Para peneliti telah menggunakan data survey untuk mengetahui hubungan antara karakteristik bahasa siswa dan aspirasi edukasional mereka serta tingkat prestasi mereka dalam bidang literacy. Duran (1987), sebagai contoh, melaporkan dalam sebuah survey nasional yang meneliti tentang karakteristik-karakteristik para siswa Hispanic dan prestasi mereka di sekolah. Survey terhadap siswa SMU (Fernandez & Nielsen, yang dikutip dalam Duran, 1987) menggunakan sampel siswa SMU yang mewakili secara nasional yang terdiri dari 3.177 siswa Hispanic dan 14.696 siswa kulit putih non-Hispanic. Analisis dari data tersebut mengindikasikan bahwa para siswa yang berasal dari “latar belakang dwi bahasa” (jika dibandingkan dengan siswa yang berasal dari “latar belakang monolingual”) menganggap diri mereka lebih mahir, baik dalam berbahasa Inggris maupun berbahasa non-Inggris (biasanya bahasa Spanyol) dan ini secara unik memberikan kontribusi terhadap peningkatan aspirasi edukasional dan prestasi mereka. Dengan kata lain, ketika mereka semakin kuat menganggap diri mereka mahir dalam berbahasa Inggris maupun non-Inggris, maka semakin meningkat pula apirasi edukasional dan nilai tes prestasi mereka (Duran, 1987, hal. 40).

Penelitian Sosiolinguistik Tentang Pemakaian Bahasa

Para sosiolinguis yang tertarik dalam pemerolehan (acquitition) bahasa kedua telah melakukan berbagai penelitian untuk memberikan informasi mengenai bahasa lisan/verbal (spoken language) dan ragam bahasa (language varieties) yang dicoba untuk dipelajari oleh para siswa bahasa kedua. Sebagai contoh, sejumlah peneliti telah menggunakan metodologi survey untuk mengumpulkan data empiris tentang bentuk ungkapan yang melambangkan sapaan atau pujian dan sanjungan (Manes & Wolfson, 1981; Holmes, 1988: Wolfson, 1989).[2]

Manes dan Wolfson (1981) menyimpulkan dari sebuah penelitian tentang bentuk ungkapan sanjungan (compliments) dalam percakapan sehari-hari, bahwa ungkapan sanjungan/ kekaguman atau pujian bersifat sangat standar (formulaic). Kedua peneliti menemukan bahwa ada tiga pola sintaksis yang sering digunakan oleh 85% responden untuk mengungkapkan sanjungan, pujian atau kekaguman. Ketiga pola tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Noun Phrase (NP) + is/looks (really) + Adjective

Contoh: “Your blouse is really beautiful” (Rokmu sungguh sangat menawan)

  1. I + (really) like/love + NP

Contoh:  “I like your car” (Saya sangat mengagumi mobilmu)

  1. Pronoun + is (really) + (a) Adjective + NP

Contoh:  “That’s a nice picture”

Mereka juga menemukan bahwa komposisi semantik compliments bersifat tetap. Kata sifat yang sangat sering muncul adalah “nice”, “good”, “beautiful”, “pretty” dan “great”. Sebagian besar topik compliments biasanya dapat dibagi ke dalam dua hal umum, yakni dalam hal penampilan dan atau kepemilikan (appearance and or possessions) dan kemampuan dan atau kepandaian/kecakapan (ability and or accomplishments). Holmes (1988) meneliti perbedaan gender dalam complimenting dan menemukan bahwa wanita lebih sering memberikan sanjungan mengenai penampilan seseorang daripada yang dilakukan pria; dan pria cenderung untuk menyanjung pria lain (bukan kepada wanita) dalam hal kepemilikannya terhadap sesuatu. Dalam merespon sanjungan yang diberikan kepadanya, pria cenderung biasa-biasa saja jika dibandingkan dengan wanita.

Informasi mengenai pemakaian sosiolinguistik yang khas dari penelitian ini bukan hanya karena kepentingan teoritis, tetapi juga karena bermanfaat bagi persiapan guru dan rancangan silabus. Wolfson (1989) menyatakan: “Analisis sosiolinguistik terhadap pemakaian bahasa Inggris-Amerika sangat dibutuhkan agar para pengembang materi pembelajaran dan para guru bahasa memiliki informasi yang konkret dan empiris dalam rangka merencanakan pengajarannya (hal. 79).

Berbagai Hal Dalam Rancangan Penelitian Survey

Para kandidat doktor kadang memilih teknik-teknik survey untuk penulisan desertasi mereka dan memandang teknik-teknik tersebut  sebagai cara termudah untuk melakukan penelitian (Haller, 1979, dikutip dalam Smith & Glass, 1987). Namun demikian, ada beberapa hal teknis yang penting dalam mengembangkan rancangan (desain) penelitian survey yang memadai dan berdayaguna. Banyak penelitian survey di bidang kependidikan – termasuk juga di bidang bahasa asing dan pembelajaran bahasa Inggris bagi siswa yang berbahasa lain atau Teaching English for Students of Other Language (TESOL) – yang kurang tepat dari segi teknis, walaupun penelitian-penelitian tersebut mungkin meneliti berbagai pertanyaan penelitian yang sangat menarik.

Dalam mendesain penelitian survey, peneliti harus membuat serangkaian keputusan yang hati-hati tentang bagaimana penelitian tersebut akan dilaksanakan. Rencana terinci yang dihasilkan ini selanjutnya disebut dengan desain atau rancangan penelitian. Hal-hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah desain penelitian survey adalah: menentukan tujuan penelitian; merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian; menentukan populasi dan pengambilan sampel dari populasi; menentukan metode-metode pengumpulan data; mengembangkan insrumen-instrumen, dan melatih para pengumpul data atau pewawancara; mengumpulkan data; dan menganalisa data. Memahami langkah-langkah penelitian survey dan bagaimana langkah-langkah tersebut saling berhubungan akan membantu Anda dalam menilai dan memahami laporan penelitian survey yang Anda baca. Kita akan mengupas langkah-langkah tersebut secara umum berikut ini, kemudian kita akan mencoba untuk melacaknya pada satu contoh hasil (laporan) penelitian survey.

Menentukan Populasi Penelitian

Langkah pertama – setelah merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian – adalah menentukan populasi. Populasi adalah keseluruhan entitas atau orang dimana hasil-hasil sebuah penelitian akan diberlakukan atau digeneralisaikan. Populasi yang akan diteliti bisa sangat bervariasi tergantung kepada pertanyan penelitian dan tujuan penelitian itu sendiri. Populasi mungkin saja berupa sekelompok sekolah, siswa, guru dan lain-lain. Sebagai contoh, cobalah perhatikanlah pertanyaan penelitian yang diajukan oleh Rhodes dan Oxford (1988) yakni; bahasa-bahasa apakah yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah di AS? Untuk menjawab pertanyaan itu, seorang peneliti tentu perlu untuk menentukan populasinya terlebih dahulu, yakni seluruh sekolah dasar dan menengah yang ada di AS, kemudian dia perlu mengambil sampel dari populasi tersebut.

Sebuah populasi juga bisa berupa sekelompok orang, seperti para siswa atau guru. Perhatikanlah pertanyaan penelitian berikut ini: Bagaimanakah sikap para guru kelas “reguler/umum” di negara bagian ini terhadap pengajaran ESOL? Untuk menjawab pertanyaan, peneliti perlu menentukan populasi penelitiannya, yakni seluruh guru  “umum” di negara bagian tersebut. Jika peneliti merasa bahwa ia tidak akan mampu untuk melakukan survey terhadap seluruh anggota populasi, maka dia dapat mengambil sampel dari kelompok populasi tersebut atau dia mungkin memilih untuk merumuskan kembali pertanyaan penelitiannya guna membatasi populasi menjadi seluruh guru “umum” yang ada dalam beberapa distrik (tidak di seluruh negara bagian). Dalam survey yang dilakukan Penfield (1987), dia meneliti para guru umum yang mengikuti pelatihan in-service saja.

Disamping berupa entitas dan orang, populasi juga bisa berupa serangkaian contoh penggunaan bahasa; seperti percakapan atau teks tertulis (tugas tertulis, narasi oral, conversational exchange, catatan jurnal) atau tata tutur (permintaan, permohonan maaf, sanjungan & saran). Sebagai contoh, cobalah perhatikan pertanyaan penelitian berikut ini: Tipe-tipe teks-teks tertulis apakah yang dihasilkan para mahasiswa internasional di program pascasarjana AS sebagai pelaksanaan tugas-tugas perkuliahan mereka? Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti mungkin ingin membatasi populasi teks-teks tertulis menjadi teks-teks tertulis untuk mata pelajaran tertentu dalam satu institusi. Dia kemudian dapat melakukan survey terhadap keseluruhan populasi jika memang layak dilakukan, atau jika tidak, dia bisa mengambil sampel dari populasi tersebut.

Sampling (Pengambilan Sampel Penelitian)

Sampling merupakan persoalan metodologikal yang krusial dalam penelitian survey. Karena biasanya tidak mungkin melakukan survey terhadap seluruh angota populasi, maka para peneliti biasanya memilih sebuah sub kelompok (sampel) dari populasi tersebut. Prinsip pokok dalam memahami tentang pengambilan sampel (sampling) adalah bahwa bagaimana cara sampel tersebut dipilih mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian. Sampel yang dipilih untuk penelitian harus serupa dengan populasinya, karena hasil atau kesimpulan penelitian yang diambil dari sampel akan diberlakukan/digeneralisasikan kepada populasinya.

Misalkan Anda tertarik dengan sikap terhadap menulis dalam bahasa kedua dari suatu populasi yang berupa seluruh mahasiswa S-1 internasional di suatu universitas di AS. Namun demikian, untuk tujuan praktis, Anda bisa saja memutuskan untuk hanya meneleti mahasiswa baru saja dan hanya mahasiswa baru yang mendaftar di dua seksi kuliah (kelas) komposisi ESL saja yang dijadikan sampel penelitian. Dengan demikian, Anda tidak dapat menarik kesimpulan tentang semua mahasiswa internasional yang ada di universitas tersebut. Tetapi, Anda hanya dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang para mahasiswa yang Anda teliti saja. Mengapa demikian? Karena para mahasiswa di kelas-kelas lain mungkin memiliki karakteristik dan sikap yang sangat berbeda.

Banyak penelitian menggunakan samples of convenience atau sampel sukarela. Sebuah sample of convenience, dalam contoh di atas, terdiri dari elemen-elemen atau orang-orang yang terpilih karena mereka gampang diakses. Sedangkan volunteer sample terdiri dari orang-orang yang sukarela berpartisipasi dalam sebuah penelitian. Kedua tipe sampel ini disebut non-probability samples. Satu hal penting yang perlu dicermati ketika membaca laporan penelitian yang menggunakan sampel tersebut adalah: Mungkinkah kelompok dalam sampel tersebut berbeda dari populasi yang ingin direpresentasikan? Jika kelompok sampel berbeda dari populasinya, maka kita tidak dapat menyimpulkan secara statistik temuan-temuan dari sampel tersebut adalah serupa dengan temuan-temuan untuk populasi. Namun demikian, kita dapat membuat “keputusan” tentang bagaimana hasil-hasil penelitian tersebut dapat digeneralisasikan terhadap populasinya. “Setiap generalisasi dari non-probability sample terhadap populasinya harus dibuat berdasarkan suatu perbandingan yang rasional antara sampel dengan populasi. Artinya, kesimpulan yang diambil lebih bersifat judgement (keputusan) daripada bersifat statistik (Smith & Glass, 1987, hal 228).

Tujuan dari suatu penelitian sangat menentukan prosedur pengambilan sampel yang digunakan. Jika tujuan peneliti bukan untuk melakukan generalisasi terhadap populasi, maka tidaklah penting untuk mengambil sampel dari suatu populasi tertentu. Dengan demikian, hasil penelitiannya hanya bisa diterapkan kepada kelompok yang diteliti saja dan kesimpulan-kesimpulan yang dibuat berdasarkan temuan-temuan tersebut pasti bersifat judgment. Ini tidak berarti bahwa sebuah survey yang menggunakan convenience sample tidak berguna atau tidak bernilai. Nilai positifnya sering terletak dalam mengidentifikasi isu-isu atau trend-trend penting, tetapi tidak dalam kemampuan generalisasi kuantitatifnya. Penelitian survey semacam ini bisa berfungsi sebagai suatu penelitian perintis (pilot study) untuk mempersiapkan penelitian yang lebih besar lagi.

Namun demikian, tujuan dari kebanyakan survey adalah untuk menarik kesimpulan-kesimpulan tentang sejumlah besar entitas atau orang-orang dengan meneliti bagian (subset) dari mereka. Oleh karena itu, Anda harus memahami prosedur-prosedur pokok dalam pengambilan sampel. Anda harus mengetahui bahwa terdapat prosedur-prosedur yang terbukti benar (long-established) dan dikembangkan secara hati-hati untuk pengambilan sampel (satu sumber yang baik dan dapat dibaca adalah Fowler, 1984). Para peneliti yang melakukan survey berpikir secara hati-hati dalam merancang sampel yang akan diambil yang memadai dan sekaligus merepresentasikan populasinya. Prosedur pengambilan sampel ini harus dijelaskan dalam setiap laporan penelitian. Dengan demikian, para pembaca dapat menilai apakah sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut mewakili populasinya atau tidak.

Langkah pertama dalam pengambilan sampel – setelah menentukan populasi yang akan diteliti – adalah menentukan kerangka pengambilan sampel atau sampling frame. Kerangka pengambilan sampel adalah sebuah daftar dari sekelompok orang (atau entitas) dalam populasi yang benar-benar memiliki kesempatan untuk dipilih menjadi sampel. Langkah selanjutnya adalah memilih sebuah sampel yang bersifat representatif dari kerangka pengambilan sampel tersebut. Ada beberapa cara untuk mendaptkan sampel-sampel yang representatif.

Probability sampling – sebagai lawan dari non-probability sampling – meliputi pemilihan suatu sampel sehinga kita mengetahui probabilitas yang dimiliki tiap elemen/anggota populasi untuk dapat terpilih. Sampel acak sederhana atau simple random sampling, sebagai contoh, adalah satu teknik yang didesain untuk meyakinkan bahwa karakteristik-karakteristik penting dan esensial dari sampel yang diteliti menyerupai karakteristik-karakteristik populasinya. Setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel penelitian.

Sampel bertingkat atau stratified sampling meliputi pembagian populasi ke dalam tingkatan (strata) dan memilih sampel-sampel dari setiap tingkatan tersebut. Misalkan, kita ingin meneliti aspek strategi penulisan bahasa kedua dari para siswa bahasa Inggris tingkat intermediate atau menengah. Jika kita akan memilih simple random sampling, maka kita mungkin tidak akan mendapatkan sejumlah siswa yang memadai dengan latar belakang bahasa yang berbeda-beda sebagai sampel penelitian. Sebagai contoh, para siswa Jepang mungkin akan menggunakan strategi yang berbeda dengan para siswa yang berbahasa Spanyol. Lagi pula strategi para siswa low-intermediate mungkin berbeda dari mereka yang berada di tingkat high-intermediate.

Untuk mendapatkan sampel yang memasukkan setiap kategori para siswa, maka kita akan memasukkan dua tingkat dari variable kecakapan berbahasa, yakni lowintermediate dan high-intermediate dan tiga tingkat untuk variabel latar belakang bahasa (Jepang, Spanyol, lainnya). Kita akan membagi siswa ke dalam enam bagian (subgroups) tersebut dan mengambil sampel dari tiap bagian/tingkatan tersebut. Proporsi para siswa dari setiap subgroup harus proporsional/sebanding dengan jumlah mereka dalam populasi atau kita dapat mengambil jumlah anggota sampel yang lebih besar dari kelompok-kelompok populasi tertentu. Stratified sampling menjamin akan adanya jumlah sampel yang mencukupi dari para siswa dari setiap karakteristik yang penting sehingga memungkinkan kita untuk membuat perbandingan antara karakteristik tersebut.[3]

Dengan menggunakan prosedur probability sampling, seperti dalam random and stratified sampling, memungkinkan para peneliti tidak hanya untuk membuat kesimpulan-kesimpulan terhadap populasi tetapi juga untuk menentukan seberapa tepat sampel tersebut mewakili populasi. Kita akan melihat sebuah ilustrasi dari konsep-konsep ini pada saat kita mencermati contoh penelitian survey.

Teknik Pengumpulan Data Survey

Langkah penting lainnya dalam mendesain sebuah penelitian survey adalah memutuskan teknik/cara apa yang akan dipakai untuk mengumpulkan informasi/data. Teknik pengumpulan data yang paling lazim dalam penelitian survey adalah kuisioner, wawancara dan observasi langsung terhadap pemakaian bahasa. Disamping itu, banyak tipe informasi/data lain yang bisa dikumpulkan antara lain hasil tes, komposisi atau data reaksi terhadap bahasa lisan atau tertulis bahasa kedua. Mari kita me-review secara singkat beberapa hal pokok dalam mengembangkan dan menggunakan kuisioner, wawancara dan observasi dalam penelitian survey.

Kuisioner (Angket). Mungkin teknik pengambilan data yang paling umum dalam penelitian survey bahasa kedua adalah kuisioner. Kuisioner bisa bervariasi, mulai dari  instrumen yang berisi 5 item pendek, sampai dengan dokumen panjang yang memerlukan satu atau dua jam untuk menjawabnya. Kuisioner bisa didesain untuk diberikan lewat surat, secara pribadi atau lewat telepon. Computer-Assisted Telephone Interviewing (CATI) atau wawancara melalui telepon dengan dibantu oleh komputer, adalah pilihan yang kurang baik karena orang cenderung untuk menutup telepon terhadap pewawancara komputer yang impersonal. Sistem telekomunikasi, seperti electronic mail, menawarkan cara baru dalam pemberian kuisioner. Alasan utama kuisioner digunakan secara luas dalam penelitian survey adalah karena kuisioner membutuhkan lebih sedikit waktu, sehingga lebih murah biayanya dibandingkan dengan melakukan wawancara atau observasi.

Penyusunan kuisioner tidak sesederhana yang terlihat! Karena alasan inilah, maka perlu dikembangkan instrumen-instrumen yang baik yang item-itemnya telah dikembangkan berdasarkan teori yang dapat dipercaya dan di-assessed dengan hati-hati dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Menggunakan instrumen yang telah digunakan dalam penelitian sebelumnya tidak hanya membantu meningkatkan kualitas instrumen tetapi juga memungkinkan peneliti untuk menghubungkan temuan-temuan penelitian-penelitian serupa satu sama lain. Sebagai contoh, program penelitian sosial psikologikal terhadap sikap dan motivasi yang dilakukan oleh Clement (1987), Gardner (1989), dan lainnya menggunakan kuisioner yang telah dikembangkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

Bagaimana membuat sebuah item (butir) kuisioner menjadi baik? Disamping dengan cara menyusunnya berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya, prinsip-prinsip berikut juga bisa memberikan beberapa panduan umum. Item-item kuisioner harus ditulis dalam bahasa yang jelas dan non-teknikal yang mudah untuk dipahami; item-item tidak boleh memuat negative phrasing yang sulit untuk dijawab (sebagai contoh, “Manakah dari yang berikut ini yang bukan sebuah kerugian?”); dan kuisioner harus memuat hanya satu ide atau pernyataan per item. Untuk item-item yang berpotensi membingungkan, maka penting untuk memberikan kepada para responden sebuah contoh yang mengilustrasikan bagaimana mereka harus menjawab pertanyaan. Ketika membaca laporan-laporan survey, lihatlah selalu pada item-item aktual yang digunakan dalam penelitian. Secara umum, peneliti memasukkan paling tidak beberapa item, apakah dalam appendix atau dalam badan laporan.

Item-item dalam kuisioner bisa berbentuk pertanyaan yang open-ended atau terbuka, yang  memungkinkan para responden untuk menjawab dalam bahasa mereka sendiri; atau closed (tertutup), yang meminta responden untuk memilih satu di antara sejumlah jawaban yang terbatas. Jika pertanyaan tertutup – seperti pilihan ganda – bermanfaat untuk memperoleh informasi kuantitatif dan lebih mudah untuk dianalisis, maka pertanyaan yang bersifat terbuka bisa berguna untuk mengumpulkan informasi kualitatif dan untuk menemukan variabel-variabel baru dari respon para responden. Pertanyaan-pertanyaan terbuka terutama berguna dalam tahap-tahap awal pengembangan kuisioner karena apa yang dipelajari dari respon-respon tersebut bisa dimasukkan (incorporated) ke dalam item-item tertutup.

Struktur kuisioner yang berupa wacana juga penting untuk dipertimbangkan. Sebagai contoh, beberapa ahli menyarankan berpindah dari pertanyaan umum ke pertanyaan yang lebih spesifik. Pencabangan juga kadang dipakai ketika item-item tertentu tidak dipilih oleh responden (sebagai contoh, “Jika Anda menjawab ‘tidak’ untuk pertanyaan 10, maka Anda bisa langsung menjawab pertanyaan 16”).

Seperti yang telah dipaparkan, bahwa responden harus mampu memahami bahasa yang digunakan dalam kuisioner, namun ada sementara peneliti yang memberikan kuisioner kepada para siswa dan menguji mereka dengan bahasa atau variasinya yang tidak sepenuhnya dapat dipahami oleh para siswa. Dengan demikian, hasilnya tidak valid karena instrumen-intrumen tersebut tidak mengukur (assess) apa yang hendak diukur. Tingkat literacy para siswa juga harus dipertimbangkan. Jika ada pertanyaan tentang kemampuan seseorang untuk membaca dan memahami sebuah kuisioner, maka hal tersebut bisa diberikan secara verbal.

Langkah paling krusial dalam pengembangan kuisioner –  satu hal yang tidak boleh dihilangkan – adalah pilot-testing atau ujicoba. Kuisioner harus diujicobakan (tried out) dengan para responden yang mirip dengan mereka yang akan memberikan respon dalam penelitian. Dengan ujicoba tersebut, maka problem-problem yang berkaitan dengan pengembangan kuisioner akan dapat ditemukan. Item-item yang menjadi problem kemudian harus diperbaiki dan dilakukan pilot-tested lagi.

Panduan Wawancara dan Melakukan Wawancara. Banyak prinsip pengembangan kuisioner juga berlaku dalam pengembangan instrumen lain untuk keperluan wawancara. Kita telah membahas berbagai masalah yang terlibat dalam kegiatan wawancara pada bab tentang studi kasus. Walaupun wawancara sangat membuang waktu untuk penelitian survey, sehingga lebih mahal untuk digunakan sebagai metode pengumpulan data, namun wawancara memiliki beberapa keuntungan nyata yang melebihi kuisioner lewat surat. Pertama, kuisioner lewat surat biasanya menghasilkan tingkat respon yang rendah, sementara tingkat respon dari wawancara bisa sangat tinggi. Namun demikian, ukuran sampel wawancara biasanya dalam jumlah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kuisioner lewat surat. Keuntungan kedua adalah bahwa dalam kegiatan wawancara, para responden lebih cenderung untuk menjawab semua pertanyaan yang diberikan karena keterlibatan mereka secara pribadi dengan pewawancara. Keuntungan ketiga dan sangat penting adalah pewawancara bisa memperoleh informasi yang lebih bermakna karena dia bisa mengungkapkan kembali dengan kata-kata yang lain (rephrase) pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dipahami oleh responden dan melakukan pengecekan untuk informasi tambahan yang relevan. Ketika beberapa wawancara dilakukan dengan responden yang sama, laporan yang disusun bisa menuntun ke informasi yang lebih bermakna.

Observasi dan Pengumpulan Data Bahasa. Beberapa penelitian survey bahasa kedua memfokuskan diri pada bahasa, baik bahasa target/sasaran yang telah diperoleh oleh siswa maupun bahasa asli siswa itu sendiri. Mengobservasi bahasa lisan yang secara alami muncul bukanlah sebuah teknik pengumpulan data yang biasa dipakai dalam penelitian kependidikan bahasa kedua, karena sangat memakan waktu. Lebih umum lagi, survey meliputi pengumpulan data bahasa yang ada, seperti tes-tes atau karya tulis para siswa (student writing) atau memperoleh  data melalui sarana tertulis.

Namun demikian, mengumpulkan data bahasa adalah sebuah prosedur dasar dalam penelitian survey sosiolinguistik yang bersifat kuantitatif. Pengumpulan data mungkin dapat mencakup memperoleh bahasa melalui wawancara (lihat, sebagai contoh, Poplack, 1989) yang mungkin sangat pendek atau mungkin berlangsung selama beberapa jam. Mengumpulkan sampel-sampel bahasa yang benar-benar alami adalah suatu teknik umum yang digunakan dalam penelitian sosio-linguistik dalam menghasilkan tata tutur (Holmes, 1988, hal. 446; Wolfson, 1989, hal. 110). Dalam penelitian Holmes (1989) tentang complimenting (ungkapan sanjungan) di New Zeland, sebagai contoh, para pengumpul data mencatat suatu urutan sekitar 20 ungkapan yang melambangkan sanjungan/kekaguman agar mereka mendengarnya tanpa penyeleksian atau penyensoran. Mereka mencatat kata-kata yang secara pasti digunakan untuk saling memuji sekaligus dengan detail-detail yang sesuai dengan konteks dan status teman bicaranya.

Tes Melengkapi Wacana. Para peneliti bahasa kedua yang tertarik dalam menggambarkan kompetensi sosiolinguistik dan pragmatis dari para  pembelajar bahasa, telah menggunakan sebuah prosedur yang disebut the Discourse Completion Test (DCT) (Blum-Kulka, 1982; Blum-Kulka, House, & Kasper, 1989; Blum-Kulka & Levenstone, 1987; Eisenstein & Bodman, 1986; Olshtain & Cohne, 1983; Wolfson, 1989). Dalam menerapkan prosedur pemerolehan data ini, para siswa diberi sebuah deskripsi tertulis tentang suatu situasi tertentu dan diminta untuk merespon baik dengan memerankannya (role-playing) atau dengan menuliskan apa yang akan mereka katakan dalam situasi tersebut.

Sebagai contoh, untuk memperoleh data bahasa siswa yang berisi ungkapan permintaan, situasi-situasi berikut ini perlu dipresentasikan kepada siswa (Blum-Kulka &Levenstone, 1987):

  • Seorang siswa meminta teman sekamarnya untuk membersihkan dapur, yang ditinggalkan orang lain dalam keadaan berantakan.
  • Seorang mahasiswa memohon perpanjangan waktu untuk menyelesaikan makalah seminar.kepada dosennya

Untuk memperoleh contoh ungkapan yang berisi permohonan maaf, maka situasi-situasi berikut bisa dipresentasikan (Blum-Kulka & Levenstone, 1987):

  • Seorang sopir di tempat parkir menabrak sebuah mobil dari belakang.
  • Seorang siswa meminjam buku profesornya dan ia telah berjanji untuk mengembalikannya pada hari itu, tetapi ia lupa membawanya.

Instrumen tertulis (DCT) bisa berupa naskah dialog atau deskripsi tentang situasi tertentu. Wolfson (1989) menjelaskan bahwa “dialog bisa diperkenalkan dengan sebuah deskripsi singkat yang memberi kejelasan tentang konteks dimana dialog tersebut diharapkan untuk terjadi dan memerinci faktor-faktor conditioning yang diperkirakan paling relevan” (hal. 143). Namun demikian, satu problem dengan teknik ini adalah bahwa apa yang akan dikatakan seseorang tergantung kepada banyak faktor situasional seperti role relationship, topik atau formalitas. Setiap responden membangun situasi tersebut secara berbeda dalam pikirannya sendiri. Teknik ini bisa digunakan untuk pendekatan penelitian survey deskriptif maupun untuk pendekatan penelitian lainnya, seperti penelitian kasus dan eksperimen.

Tes Kemampuan Berbahasa. Sebuah program pengujian skala besar bisa dipertimbangkan untuk digunakan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian survey. The California Assessment Program (CAP), sebagai contoh, melalui pengambilan sampel matriks, telah mengumpulkan data tentang kemampuan siswa (termasuk siswa ESL) dengan menulis tentang beberapa topik (Cooper & Breneman, 1989). Tujuan program pengujian ini adalah untuk mengukur kemampuan semua siswa di negara bagian California dengan mengambil sampel sebagian dari mereka. Serupa dengan itu, program pengujian, seperti TOEFL, TWE dan program SPEAK, telah berhasil “mensurvey” kemampuan linguistik (bahasa) dari ribuan siswa, walaupun tujuannya adalah untuk pengukuran, ujian masuk atau replacement (penempatan).

Analisis Data

Dalam membaca laporan penelitian survey, setidaknya Anda bisa akan menemukan tiga jenis analisis data, yaitu analisis deskriptif, analisis korelasional dan analisis ketepatan estimasi sampel dengan populasinya .

Analisis Deskriptif. Pertama, analisis deskriptif dari hasil penelitian survey sering dilaporkan dalam bentuk tabulasi frekuensi dan prosentase. Statistik deskriptif ini adalah angka yang mengikhtisarkan data. Sebagai contoh, sebuah hasil dari sebuah survey tentang strategi membaca bahasa kedua mungkin dilaporkan dalam cara berikut ini. “Hanya 30% dari para siswa tingkat low-intermediate melaporkan bahwa mereka mencoba untuk menebak makna kosa kata tertentu dari konteksnya ketika membaca teks dalam bahasa kedua”.

Contoh penelitian survey yang autentik adalah penelitian yang dilakukan oleh Duran, Enright & Rock (1985, dikutip dalam Duran, 1987) yang melakukan survey terhadap lebih dari 700 mahasiswa baru yang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Hispanik dalam sebuah program Diploma IV menentukan karakteristik bahasa mereka. Para peneliti menemukan bahwa sebagian besar mahasiswa (sekitar 70%) berasal dari latar belakang dimana bahasa Spanyol dituturkan dan 85% mengidentifikasikan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka yang paling dikuasai.

Disamping penggunaan frekuensi dan prosentase, hasil survey juga sering dilaporkan dalam bentuk rata-rata (mean) dan ukuran keberpusatan data atau central tendency lainnya yang berupa median, modus maupun standar deviasi.

Analisis Korelasional. Hasil-hasil deskriptif seperti dikemukakan di atas memang menarik dan mungkin hanya satu-satunya analisis yang digunakan. Namun demikian, sekali hasil-hasil deskriptif telah dibuat, maka para peneliti dapat mengeksplorasi lebih jauh pertanyaan-pertanyaan penting dengan menggunakan teknik-teknik korelasional untuk menganalisa hubungan-hubungan antar variabel.

Sebagai contoh, dalam survey mereka terhadap mahasiswa baru Hispanik, Duran dan kawan-kawan (Duran, 1987) tertarik tidak hanya pada karakteristik bahasa dasar para mahasiswa tetapi juga dalam rating para mahasiswa terhadap ketrampilan akademik mereka sendiri, nilai SAT mereka dan hubungan antar variabel-variabel tersebut. Para peneliti juga mengembangkan serangkaian pertanyaan untuk menguji persepsi para mahasiswa tehadap kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa Inggris untuk tujuan akademik. Mereka meminta para mahasiswa untuk memeringkat ketrampilan akademik bahasa Inggris mereka dalam all four modalities (menulis, membaca, pemahaman lisan, dan berbicara). Item-item tersebut meminta para siswa untuk memeringkat (dalam skala 1 sampai 5)  seberapa baik mereka dapat melakukan tugas-tugas literacy akademik seperti: ”mengorganisasi tulisan saya untuk memenuhi harapan instruktur”, “memahami istilah perbendaharaan kata yang saya baca,” dan “memahami kuliah di ruang kelas” (classroom lectures). Para peneliti menemukan bahwa respon-reson terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut secara signifikan diasosiasikan dengan nilai verbal SAT. Ini berarti bahwa para mahasiswa yang memeringkat diri mereka lebih cakap dalam area ini adalah mereka yang menghasilkan nilai tinggi dalam tes terstandardisasi. Duran (1987) menyarankan bahwa hasil ini mengilustrasikan pentingnya self-knowledge dalam ketrampilan literacy akademik. Contoh penelitian ini hanya menunjukkan satu cara bahwa penelitian survey dapat memasukkan analisis korelasional sebagai teknik analisis datanya.

Analisis Ketepatan Estimasi dan Non-respons. Tipe ketiga dalam analisis data yang mungkin Anda dapat temukan dalam penelitian survey adalah analisis terhadap presisi (akurasi) hasil-hasil penelitian yang diambil dari sampel. Presisi berarti akurasi dengan mana hasil-hasil dari penelitian terhadap sampel merepresentasikan populasinya. Kita akan mencermati analisis ini ketika kita mencoba untuk mengkritisi sebuah contoh penelitian surveyl. Akhirnya, sebuah tipe analisis data tambahan yang bisa dilihat dalam sebuah penelitian survey – satu hal yang jarang ditemukan dalam penelitian-penelitian tentang bahasa kedua – adalah analisis terhadap kemungkinan efek-efek yang mengganggu dari non-respons. Kita akan melihat isu non-response ini secara singkat disini dan mengeksplorasinya lebih jauh dalam mencermati sebuah contoh penelitian survey di bagian belakang bab ini.

Bias Due to Nonressponse

Adalah penting dalam penelitian survey untuk mengukur tingkat dimana nonresponden memasukkan (introduce) bias ke dalam data sampel. Apakah maksudnya? Anggaplah, sebagai contoh, bahwa Anda melakukan sebuah survey kuisioner tentang reaksi subjektif dari penutur bahasa kedua terhadap penggunaan strategi (ungkapan?) kesopanan (politeness). Mari kita bayangkan bahwa Anda menerima respon dari seluruh wanita tetapi tidak dari pria. Anda kemudian perlu untuk mempertimbangkan, apakah jawaban dari pria berbeda dengan jawaban dari wanita. Jika Anda melaporkan hasil hanya berdasarkan respon wanita, hasil tersebut mungkin menjadi bias dalam cara tertentu. Apa yang dapat Anda lakukan untuk menentukan jika bias merupakan sebuah masalah? Anda dapat berusaha untuk memperoleh respon dari pria dalam sampel Anda dan memeriksa (examine) bagaimana respon dari pria berbeda dari wanita.

Dalam laporan survey tertulisnya, para peneliti harus menyediakan paling tidak beberapa informasi mengenai siapa yang tidak merespon sehingga pembaca dapat mengukur apakah nonresponden mungkin berbeda secara siginifikan dari responden. Peneliti harus menyediakan beberapa bukti bahwa respon-respon secara tidak signifikan bias karena adanya nonresponse. Smith dan Glass menyarankan bahwa “ketika tingkat respon kurang dari 90% walau telah dilakukan tindak lanjut (follow-up), maka para peneliti harus melakukan pengecekan terhadap bias nonrespon” (1987, hal. 235). Jika nampak bahwa tingkat respon mungkin rendah, survey akan lebih valid dan  bermanfaat bila para peneliti mengurangi ukuran sampel mereka dalam batasan tertentu dan memberikan lebih banyak usaha dalam mencari tingkat respon yang lebih tinggi.

Kriteria Untuk Mencermati Penelitian Survey

Ketika membaca laporan penelitian survey, Anda dapat menilai penelitian tersebut dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Jawaban Anda terhadap pertanyaan ini akan membantu Anda memutuskan bagaimana mengintepretasikan hasil-hasil (penelitian) tersebut, berapa keyakinan yang dapat Anda miliki terhadap hasil numerik yang dilaporkan dan apa yang bisa dipelajari dari penelitan tersebut.

  1. Apakah yang menjadi pertanyaan penelitiannya?
  2. Dalam konteks apakah penelitian survey tersebut dilaksanakan?
  3. Bagaimana populasi ditentukan?
  4. Prosedur pengambilan sampel apakah yang digunakan? Seberapa representatifkah sampel tersebut?
  5. Bagaimana variabel-variabel penelitian diobservasi atau diukur?
  6. Prosedur apakah yang digunakan untuk mengumpulkan data?
  7. Usaha apakah yang dilakukan untuk meningkatkan tingkat respon? Berapakah tingkat respon yang dicapai?
  8. Apakah terdapat bias non-respon?
  9. Teknik analisis data apakah yang digunakan?
  10. Bagaimana hasilnya dan kesimpulan apa telah yang diambil? Apakah generalisasi hasil tersebut sudah tepat?
  11. Kontribusi apakah yang diberikan penelitian tersebut terhadap pengetahuan kita tentang faktor sosial dan kontekstual dalam pembelajaran bahasa kedua?
  12. Implikasi-implikasi apakah yang diungkapkan dalam penelitian tersebut?

Contoh Penelitian Survey; Pekerjaan Para Alumni Program Pendidikan Bilingual di Akademi dan Universitas

Untuk memperoleh ilustrasi tentang bagaimana penelitian survey dilaksanakan, kita akan mencermati sebuah survey nasional para lulusan program dwi-bahasa (bilingual) di perguruan tinggi atau universitas yang dilakukan untuk kepentingan Departemen Pendidikan AS (Johnson, 1985). Saya telah memilih penelitian ini karena secara metodologi, ini merupakan sebuah survey yang didesain secara hati-hati dengan tingkat respon yang relatif baik. Disamping itu, penelitian tersebut mengajukan sebuah pertanyaan penelitian yang penting mengenai efek-efek dari upaya negara bagian  untuk meningkatkan pendidikan para mahasiswa yang berbahasa minoritas melalui persiapan guru (teacher preparation). Temuan penelitian ini mendokumentasikan bahwa ada prosentase yang cukup tinggi dari para lulusan program ini yang berhasil dalam mencari pekerjaan. Mereka inilah yang sebenarnya menjadi populasi penelitian ini, yakni para mahasiswa yang terbatas kemampuan bahasa Inggrisnya. Para lulusan ini membantu para siswa bilingual baik secara langsung melalui kegiatan pengajaran maupun secara tidak langsung melalui posisi kepemimpinan atau teacher preparation (pendidikan calon guru).

  1. Apakah yang menjadi pertanyaan penelitiannya?

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang pekerjaan para lulusan program tingkat sarjana, master dan doktor setelah mereka menamatkan kuliahnya selang satu sampai tiga tahun. Pertanyaan utama penelitian ini adalah; Berapakah proporsi dari para lulusan ini yang  berpartisipasi dalam bidang pendidikan bilingual dan mereka dalam kapasitas apa? Disamping itu, kami juga tertarik dengan pertanyaan seputar pekerjaan mereka, seperti: Mata pelajaran atau mata kuliah apakah yang diajarkan para lulusan ini? Bahasa-bahasa apakah yang digunakan mereka dalam meaksankan pekerjaannya? Jenis siswa yang bagaimanakah yang dibantu  oleh mereka?

  1. Dalam konteks apakah survey tersebut dilaksanakan?

Ada tiga tipe konteks yang dianggap relevan dalam penelitian ini, karena tiap tipe memberi kontribusi dalam mempertajam penelitian ini. Ketiga jenis konteks tersebut adalah kebijakan-kebijakan pemerintah federal dalam hal mendukung program pendidikan calon guru bilingual; penelitian yang lebih besar dimana survey ini merupakan bagiannya; dan konteks institusional dimana penelitian ini dilaksanakan.

Konteks Kebijakan. Ada kekurangan yang amat sangat terhadap guru-guru yang berkualitas untuk mencukupi kebutuhan pendidikan para siswa yang terbatas kemampuan bahasa Inggrisnya. Akibatnya, sejumlah dana dari pepemrintah federal (negara bagian) yang sangat besar dianggarkan untuk membiayai program pendidikan calon guru bilingual. Program ini telah menghasilkan para master dan doktor yang memiliki keahlian dalam pendidikan bilingual yang kemudian dapat membantu menyiapkan guru-guru bilingual tambahan. Secara khusus, Title VII of the Elementary and Secondary Eucation Act (ESEA) menyediakan dana baik untuk program-program universitas maupun untuk program beasiswa. Tujuan utama penggunaan dana tersebut adalah untuk mengurangi kekurangan para profesional yang berkualitas dan untuk menyediakan pendidikan yang lebih bermakna dan yang berkualitas lebih tinggi bagi para siswa yang tidal lancar dalam berbahasa Inggris.

Departemen Pendidikan AS mendanai penelitian survey terhadap para lulusan ini karena departemen tersebut tertarik untuk menentukan sampai batas manakah dana tersebut benar-benar memberi kontribusi bagi peningkatan pendidikan para siswa terbatas kemampuan bahasa Inggrisnya. Departemen tersebut ingin mengetahui apakah para lulusan program di atas telah bekerja dalam bidang pendidikan bilingual setelah menyelesaikan program mereka atau tidak. Pekerjaan yang demikian akan merepresentasikan satu ukuran tentang keefektifan program Title VII dan akan mengindikasikan bahwa dana tersebut memiliki efek yang diinginkan. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan utama dalam penelitian ini ditentukan oleh pemerintah, sementara para peneliti lebih banyak “menempatkan diri” pada pertanyaan-pertanyaan penelitian yang lebih spesifik.

Konteks Penelitian. Sementara konteks kebijakan menentukan pertanyaan-pertanyaan utama penelitian, konteks penelitian mempengaruhi dalam pembuatan desain survey-nya. Survey terhadap para lulusan ini merupakan bagian dari penelitian yang lebih besar. Departemen Pendidikan AS membiayai sebuah penelitian menyeluruh selama 30 bulan terhadap program-program pelatihan pendidikan bilingual di akademi dan universitas. Tujuan utama dari semua penelitian ini adalah (1) untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang program-program tersebut, dan (2) untuk memperkirakan sejauh mana para lulusan program-program tersebut memberikan kontribusi dalam bentuk ketersediaan guru-guru bilingual secara nasional.

Dalam tahap pertama penelitian, sampel yang representatif secara nasional dari 56 akademi (colleges) – yang menyelenggarakan Diploma II dan IV – dan universitas dipilih untuk penelitian. Sebuah tim yang terdiri dari dua peneliti mengunjungi setiap institusi untuk mengumpulkan informasi deskriptif tentang program tersebut. Hasil-hasil dari penelitian tahap awal ini menyediakan deskripsi yang komprehensif mengenai  program doktoral, master dan sarjana di bidang bilingual yang mengungkap berbagai hal berikut ini; konteks program, struktur manajemen dan organisasional, fakultas, mahasiswa, kurikulum, materi kuliah dan perkuliahan itu sendiri.[4]

Dua penelitian utama dilaksanakan dalam tahap kedua dari keseluruhan penelitian ini untuk menjawab tujuan kedua. Kedua penelitian tersebut adalah (1) survey tentang lulusan program tersebut (yang sedang didiskusikan di sini), dan (2) penelitian tentang kebutuhan dan suplai guru-guru pendidikan bilingual di seluruh AS.[5] Yang disebutkan terakhir merupakan bagian dari sebuah seri penelitian yang berkelanjutan yang didanai oleh pemerintah federal yang meneliti tentang perubahan kebutuhan akan guru-guru bilingual.

Keperluan untuk melaksanakan survey terhadap para lulusan tersebut – yang termasuk bagian dari penelitian yang lebih besar terhadap program universitas – ternyata berpengaruh terhadap rencana pengambilan sampel, seperti yang akan kita lihat di bawah ini.

Konteks Kelembagaan (Institusional). Penelitian survey ini dilakukan oleh sebuah lembaga (perusahaan?) penelitian profesional dan bukan oleh mereka yang berada di universitas. Setelah melalui proses evaluasi terhadap berbagai proposal penelitian yang diajukan secara kompetitif, Departemen Pendidikan akhirnya melakukan kontrak dengan RMC Research Corporation, sebuah perusahaan swasta, untuk melaksanakan penelitian tersebut. Tim penelitian terdiri dari 11 orang, dengan beberapa anggota tim yang bekerja secara full-time selama lebih dari dua tahun proyek penelitian ini. Tim tersebut termasuk seorang ahli statistik yang bekerja dengan kami berkenaan dengan aspek-aspek teknikal mengenai pengambilan sampel dan analisis data. Ada juga seorang yang ahli di bidang penelitian etnografik yang memebrikan panduan dalam aspek-aspek kualitatif dari pengumpulan dan analisis data untuk penelitian yang lebih luas. Setting untuk melaksanakan penelitian ini memungkinkan terjadinya interaksi terus-menerus yang sangat intens di antara para peneliti, sehingga bisa meningkatkan kualitas sebuah penelitian. Audiences utama laporan penelitian ini adalah, pertama, sponsor (dalam hal ini pemerintah), dan kedua, para peneliti yang terlibat dalam pekerjaan yang serupa. Hasil penelitian ini disebarkan kepada komunitas yang lebih luas terutama melalui conference presentations dan kemudian melalui artikel-artikel di berbagai jurnal penelitian.

  1. Bagaimana populasi ditentukan?

Dalam penelitian survey, populasi adalah kelompok untuk mana para peneliti ingin melakukan generalisasi; yaitu, kelompok untuk mana hasil penelitian akan diterapkan atau diberlakukan Dalam penelitian ini, target populasi kami adalah pool nasional dari semua lulusan program sarjana, credentials, master, post- master dan doktoral di bidang bilingual selama periode tiga tahun.

  1. Prosedur pengambilan sampel apakah yang digunakan? seberapa representatifkan sampel terssebut?

Prosedur pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini cukup kompleks, tetapi logikanya tidak sulit untuk dimengerti. Karena kami ingin melakukan generalisasi atas temuan kami kepada populasi yang telah ditentukan di atas, maka perlu dilakukan rencana pengambilan sampel yang akan memungkinkan generalisasi tersebut. Kami memilih para lulusan dalam tingkat kedua dengan prosedur pengambilan sampel dua tingkat (two stage sampling).

Sampel Tingkat Pertama. Pertama, untuk penelitian keseluruhan, kami mengambil sampel sebanyak 56 Akademi (Colleges) dan Universitas untuk meneliti program-program pendidikan bilingual-nya. Ini adalah “first-stage sample”. Sampel ini merupakan representasi dari populasi nasional Akademi dan universitas yang menyelenggarakan program pendidikan bilingual.[6]

Sampel Tingkat Kedua. Di semua Akademi dan Universitas ini, kami meminta kepada direktur program pendidikan bilingual tersebut daftar para lulusan program untuk setiap tiga tahun akademik: 1977-1978, 1978-1979, dan 1979-1980. Kami membagi para lulusan ini ke dalam dua kelompok: mereka yang menyelesaikan program yang didesain untuk melatih calon guru pendidikan bilingual dan mereka yang menyelesaikan program yang didesain untuk menjadi pelatih (trainers) bagi guru pendidikan bilingual. Daftar ini membentuk kerangka pengambilan sampel. Kemudian kami menjadikan 809 lulusan guru sebagai sampel untuk di-survey melalui surat dan 168 lulusan trainer untuk di-survey melalui telepon. Ini adalah “second-stage sample”. Karena prosedur untuk memilih sampel dari kelompok guru dan dari kelompok trainer berbeda. Berikut ini penjelasannya:.

Sampel Guru. Kami mendefinisikan populasi guru sebagai para siswa yang menyelesaikan sebuah program sertifikasi untuk memperoleh sebuah gelar dalam pendidikan bilingual di tingkat sarjana muda atau master.

Caranya adalah dengan mengambil sampel acak dari keseluruhan kelompok populasi. Namun demikian, kami merasa, bahwa jawaban-jawaban para lulusan (responden) terhadap pertanyaan-pertanyaan survey dapat berbeda tergantung dari faktor-faktor seperti:

  1. Bahasa yang ingin mereka ajarkan nanti.
  2. Tahun saat mereka lulus.
  3. Apakah negara bagian memiliki sertifikasi pendidikan bilingual, atau
  4. Jenis program yang mereka ikuti (program sarjana, master atau hanya program sertifikasi pendidikan bilingual saja).

Sebagai contoh, mungkin akan lebih mudah untuk mendapatkan posisi dalam pendidikan bilingual bagi mereka yang lulus dengan gelar master, yang tahu bahasa Spanyol dan yang berada di negara bagian yang memerlukan sertifikasi pendidikan bilingual (lihat variabel 1, 3, dan 4 di atas).

Dengan demikian, daripada mengambil sampel secara acak lebih baik kami membagi para lulusan guru ke dalam sub-kelompok berdasarkan empat variabel (strata) tersebut di atas dan menggunakan teknik pengambilan sampel yang disebut dengan stratified sampling design. Ini berarti bahwa kami membuat matriks pengambilan sampel dengan 36 sel (2 X 3 X 2 X 3) dan memilih sampel para guru dari tiap sel tersebut.[7] Dengan memilih para guru dari tiap subkelompok ini menjamin akan didapatkannya jumlah yang memadai untuk setiap kelompok dalam mengambil kesimpulan-kesimpulan tentang kelompok tersebut.

Seberapa besar seharusnya sebuah sampel? Ukuran sebuah sampel tergantung terutama pada dua hal: (1) sumber daya keuangan dan waktu yang tersedia untuk penelitian, dan (2) tingkat presisi (akurasi) yang diinginkan dalam memperoleh perkiraan populasi. Semakin besar sampel, semakin akurat hasil-hasilnya; tetapi melakukan survei terhadap sampel yang besar adalah mahal dan memakan waktu.[8]

Dengan berkonsultasi bersama ahli statistik kami, maka kami perlu menentukan tingkat presisi yang diinginkan dan ukuran sampel yang akan dibutuhkan untuk mencapai tingkat presisi tersebut. Kami memutuskan bahwa untuk dapat membuat perkiraan populasi nasional yang akurat kami perlu mengambil sampel terhadap 809 (75%) dari para lulusan yang telah kami identifikasi dari daftar alumni. Sampel ini merepresentasikan sekitar 13% dari 6.462 guru pendidikan bilingual yang lulus di seluruh negera selama tiga tahun.

Berikut ini saya akan menjelaskan tingkat presisi (akurasi) yang diperoleh dengan ukuran sampel tersebut:

Secara umum, sampel yang diambil cukup besar sehingga seseorang dapat yakin 95 persen bahwa jika 50 persen dari sampel memiliki karakteritik tertentu, maka  prosentasi sebenarnya dari populasi (yang) memiliki karakteristik tersebut terletak antara 40 dan 60 % (Johnson, 1985, hal. 61).

Kesimpulannya, tingkat presisi ini mengindikasikan bahwa ukuran sampel tersebut sudah cukup besar untuk merepresentasikan seluruh populasi para lulusan program bilingual yang menjadi guru.

Sample of Teacher Trainers (Dosen?). Kami menggolongkan para lulusan sebagai “dosen” (trainers) jika mereka telah lulus dari sebuah program doktoral atau dari program post-master. Kami juga menggolongkan para lulusan program master tersebut yang telah menerima beasiswa Title VII sebagai “dosen pembimbing” (trainers) karena maksud beasiswa federal adalah untuk mempersiapkan para “dosen pembimbing” bagi para guru.

Dari 226 lulusan 56 akademi dan universitas, para direktur program hanya mampu memberikan informasi sebanyak 168 (74%). Karena jumlah yang akan disampel kecil, kami mensurvei semua 168 orang trainers. Jumlah ini merepresentasikan 33% dari populasi nasional (Johnson, 1985, hal. 62).

  1. Bagaimana variabel-variabel penelitian diobservasi atau diukur?

Instrumen pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini guna untuk mengumpulkan data tentang variabel penelitian adalah kuisioner yang diberikan baik lewat surat maupun lewat wawancara telepon. Untuk para lulusan program yang menjadi guru, kami mengembangkan kuisioner 16 halaman terdiri dari 44 pertanyaan. Untuk para lulusan yang menajdi trainer, kami mengembangkan kuisioner 22 halaman dengan 42 item yang kami berikan melalui wawancara telepon.

Penyusunan Kuisioner. Penyusunan kuisioner meliputi sejumlah langkah, antara lain; melakukan tinjauan (review) terhadap literatur yang relevan dan penelitian sebelumnya yang terkait; menyerahkan instrumen-instrumen tersebut kepada panel konsultan penelitian untuk ditinjau lebih lanjut; melakukan pilot-testing (uji-coba) instrumen tersebut terhadap para lulusan program bilingual yang sebenarnya; dan dengan teliti memperbaikinya. Akhirnya, kuisioner tersebut harus disahkan oleh sebuah badan pemerintah federal agar memperoleh legitimasi yang kuat.

Isi Kuisioner. Topik utama yang ditanyakan dalam kuisioner ini mencakup; bidang employment (pekerjaan), jenis pekerjaan, subjek (matapelajaran) yang diajarkan, bahasa yang digunakan dalam pekerjaan, bahasa (-bahasa) yang diucapkan oleh para siswa dan gaji yang mereka terima. Banyak topik lain yang terkait juga dimasukkan dalam kuisioner tersebut. Disamping itu, kuisioner juga memasukkan beberapa item yang akan memungkinkan kami untuk membangun sebuah profil umum dari para responden survey, termasuk pertanyaan mengenai self-rated kecakapan bahasa mereka, dan pertanyaan pilihan mengenai umur, etnis dan gender.

Branching (Pencabangan). Kuisioner ini memerlukan struktur pencabangan (branching) yang kompleks dan direncanakan dengan teliti. Sebagai contoh, kami menanyai para lulusan yang tidak employed (bekerja) dengan serangkaian pertanyaan mengenai alasan-alasan mereka tidak memperoleh pekerjaan dan tentang rencana mereka. Serupa dengan itu, kami menanyai para lulusan yang bekerja dalam bidang yang terkait dengan pendidikan bilingual dengan serangkaian pertanyaan yang berbeda dari yang kami tanyakan terhadap para lulusan yang bekerja dalam bidang non pendidikan bilingual. Uji coba instrumen dilakukan dengan hati-hati agar diperoleh keyakinan bahwa struktur pencabangan (branching) berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

  1. Prosedur apakah yang digunakan untuk mengumpulkan data?

Kami mensurvey para guru lewat surat dan para teacher trainers lewat telepon. Para lulusan yang menjadi guru menerima antara lain; salinan kuisioner tersebut, surat dari RMC Research Corporation yang menggambarkan tujuan survey dan meminta partisipasi mereka, surat pendukung dari direktur kantor pendidikan bilingual federal dan sebuah amplop yang telah diberi prangko untuk pengembalian kuisioner yang telah diisi lengkap.

Para lulusan yang menjadi trainer menerima surat yang serupa, yang isinya berupa pemberitahuan bahwa dalam beberapa minggu mendatang mereka akan ditelepon untuk sebuah wawancara singkat oleh seorang anggota staff penelitian. Dismping itu, para trainer tersebut menerima kartu pos berperangko yang meminta mereka untuk mengkonfirmasikan atau memberikan nomor telepon mereka saat ini. Dengan berlatih keras dan berkomunikasi yang berkelanjutan antara pewawancara  via telepon untuk memebicarakan setiap masalah yang ada merupakan bagian yang penting dari proses pengumpulan data. Untuk menjamin anonimitas (anonymity), kami tidak mencantumkan nama para lulusan; namun demikian, setiap individu diidentifikasi dengan kode enam digit.

  1. Usaha apakah yang dilakukan untuk meningkatkan tingkat respon? Berapakah tingkat respon yang dicapai?

Dalam penelitian ini, penekanan yang sangat besar diberikan dalam rangka memperoleh tingkat respon yang dapat diterima sehingga hasil-hasilnya akan cukup merepresentasikan populasi nasional yang telah ditentukan. Tim penelitian kami menggunakan sebuah prosedur lima gelombang (five-wave) untuk memperoleh tingkat respon yang tinggi.

Untuk mencapai tingkat respon setinggi mungkin, lima usaha dilakukan untuk memperoleh respon dari para guru…..Setelah kuisoner awal dikirimkan kepada para guru, maka kuisioner gelombang kedua dikirimkan lagi kepada mereka yang tidak merespon kuisioner yang dikirimkan pada gelombang pertama. Untuk gelombang ketiga dan keempat, kuisioner bagi para guru dikurangi menjadi (sebanyak?) 10 item pertanyaan untuk meningkatkan tingkat respon dari rsponden (Johnson, 1985, hal. 63)

Bahkan meskipun empat upaya tersebut telah dilakukan, namun tingkat respon juga belum mencapai tingkat yang dapat diterima:

Setelah empat gelombang dilakukan, rata-rata tingkat respon adalah sebanyak 64 persen untuk para guru yang masuk dalam sampel, yang mempersiapkan diri untuk bekerja dengan siswa yang berbahasa Spanyol; dan 75 persen untuk para guru yang mempersiapkan diri untuk bekerja dengan penutur yang berbahasa selain Spanyol………..Setelah dilakukan dua upaya untuk “menempatkan” para trainer, maka tingkat respon  67 persen dapat dicapai.

Selanjutnya, adalah penting untuk menggunakan ukuran-ukuran tambahan untuk meningkatkan tingkat respon:

Untuk meningkatkan tingkat respon, baik untuk para guru maupun para trainer, maka tindak lanjut (follow-up) yang berupa menelepon secara khusus terhadap mereka yang non-responden dilakukan. Dari total 328 non-responden guru dan trainer, sebanyak 228 (182 guru dan 46 trainer) secara acak dipilih untuk di-follow-up….Wawancara telepon ini memberikan tambahan respon dari 78 guru dan 14 trainer tambahan, yang meenyebabkan total tingkat respon akhir mencapai 76 persen baik untuk para guru dan para trainer.

Berapakah tingkat respon yang dianggap mencukupi? Tidak ada kesepakatan mengenai standar bagi tingkat respon minimum yang dapat diterima (minimum acceptable response rate), karena apa yang dapat diterima tergantung kepada sejumlah faktor. Fowler (1984) menyarankan 75% sebagai patokan

  1. Apakah terdapat bias non-respon?

Kelemahan umum dalam peneltian survey –  terutama dalam penelitian bahasa kedua dan bahasa asing – adalah kecenderungannya untuk mengabaikan sumber-sumber kesalahan selain (dalam) pengambilan sampel. Sebagaimana kita lihat di atas, non-respon bisa menjadi sumber kesalahan (source of errors) utama jika mereka yang tidak merespon berbeda dalam cara tertentu dari mereka yang merespon. Sebagai contoh, para lulusan guru pendidikan bilingual yang memegang posisi sebagai guru pendidikan bilingual mungkin lebih cenderung untuk merespon secepatnya dibandingkan dengan para lulusan yang tidak dapat menemukan employment (pekerjaan). Untuk alasan ini, adalah penting untuk mencapai tingkat respon yang tinggi dan untuk membandingkan respon-respon dari mereka yang merespon secepatnya dengan respon-respon dari mereka yang merespon belakangan atau hanya merespon setelah tindakan follow-up diterapkan.

Dalam penelitian ini, kuisioner diberi kode dengan “gelombang” sehingga kami dapat menganalisa bias menurut gelombang. Prosedur dan hasil-hasil analisis dijelaskan dalam laporan penelitian sebagai berikut:

Bias karena gelombang respon dan nonrespon dipelajari dengan membandingkan mereka yang merespon saat penyuratan awal (gelombang pertama), mereka yang merespon pada gelombang berikutnya (2, 3 dan 4), dan mereka yang dikontak dalam penelitian follow-up non-reponden (gelombang 5). Data guru dianalisa untuk bias yang ada di kelima gelombang dengan membandingkan repon-respon terhadap pertanyaan-pertanyaan kunci. Hanya ada sedikit bias diantara gelombang 1, 2 3, dan 5. Sementara dalam gelombang 4, terdapat bias yang signifikan (? < 0,05) bagi para guru dalam bidang pendidikan bilingual, sedangkan tingkat bias dan jumlah kasus adalah kecil. Hasil-hasil tersebut mengindikasikan bahwa sampel cenderung tidak menjadi bias karena adanya non-respon. Karena itu, analisis lanjutan dapat diteruskan terhadap semua gelombang gabungan (Johnson, 1985, hal. 64).

Selanjutnya, penelitian kami terhadap bias respon, memungkinkan kami untuk menyimpulkan bahwa hasil-hasil tersebut cenderung tidak menjadi bias karena kehadiran non-respon.

  1. Teknik analisis data apakah yang digunakan?

Analisis data dalam penelitian kami memasukkan tidak hanya pengukuran (assessment) terhadap bias respon yang dijelaskan di atas, tetapi juga analisis terhadap jawaban responden survey terhadap pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner. Kami melakukan analisis-analisis terpisah untuk data guru dan data trainer. Kami menganalisis data terutama dengan menghitung frekuensi dan rata-rata dan membandingkannya antar kelompok. Sebagai contoh, data dibandingkan untuk tipe program, tahun kelulusan, status sertifikasi negara bagian dan bahasa kelompok.

  1. Bagaimana hasilnya dan kesimpulan apa telah yang diambil? Apakah generalisasi hasil tersebut sudah tepat?

Meskipun banyak hasil yang dapat didiskusikan di sini, tetapi tujuan utama dari survey tersebut adalah untuk menentukan status employment para lulusan. Oleh karena itu, kami akan mendiskusikan hasil-hasil penelitian terutama yang menyangkut tentang employment; pengajaran dan penggunaan bahasa dan beberapa karakteristik dari para lulusan.

Teacher’s Employment. Kami menemukan bahwa 77% dari para lulusan guru bekerja dengan para siswa yang berkemampuan bahasa Inggris lemah atau limited-English proficient (LEP), baik secara langsung dalam program pendidikan bilingual atau pada jenis program lain yang didesain untuk membantu para siswa LEP. 82 % bekerja dalam beberapa posisi di bidang pengajaran. Hasil kedua ini sangat sebanding dengan data dari peneliti lain (Metz & Crane, 1980; Garybeal, 1981) yang melaporkan bahwa hanya sekitar 55% dari populasi umum para lulusan guru mendapat posisi (pekerjaan) mengajar selang satu tahun sejak masa kelulusannya.

Mayoritas para guru bekerja di posisi yang terkait dengan pendidikan bilingual dengan siswa berbahasa Spanyol (94%). Dari kelompok bahasa lain, terdapat prosentase yang relatif besar dari para guru yang bekerja dengan penutur bahasa Vietnam (12%) dan bahasa Kanton (9%).

Untuk menjelaskan mengapa beberapa lulusan tidak dipekerjakan (employed), maka kami telah menambahkan cabang pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan alasan mereka tidak memperoleh pekerjaan. Alasan paling umum yang diberikan adalah “tidak ada lowongan”. Alasan ini dipilih oleh 37% responden.

Pekerjaan Sebagai “Trainer” bagi Para Guru.. Dari para lulusan, yang dipersiapkan untuk menjadi trainer bagi para guru, 83% telah mendapat pekerjaan pada posisi membantu para siswa LEP, dan 77% bekerja di bidang pelatihan atau  di bidang kepemimpinan (pengambil kebijakan). Menariknya, tidak satupun dari para lulusan dalam sampel ini yang bekerja sebagai seorang peneliti atau penilai (evaluator).

Mengajar Bahasa Inggris. Temuan menarik lainnya adalah bahwa 70 % dari para lulusan guru yang bekerja di bidang yang terkait dengan pendidikan bilingual mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau English as Second Language (ESL). Bagi 48% dari para guru sekolah dasar dan 58% dari para guru SLTP, mengajar ESL merupakan “tanggung jawab utama” dalam pekerjan mereka.

Pemakaian Bahasa dalam Pekerjaan. Kami menemukan bahwa dalam pelaksanaan pengajarannya, para lulusan tidak menggunakan bahasa asli para siswa mereka sebanyak mereka menggunakan bahasa Inggris. Para “penentang” pendidikan bilingual sebenarnya telah mengkhawatirkan tentang kemungkinan sedikitnya pemakaian bahasa Inggris dalam program tersebut, namun hal ini kurang terbukti. Hanya 12% dari para lulusan guru BE yang bekerja di bidang yang terkait dengan pendidikan bilingual yang dilaporkan menggunakan bahasa lain selain Inggris selama lebih dari 60% hari kerja. Penemuan ini konsisten dengan data dari penelitian-penelitian lain (Halcon, 1983; Tikunoff, 1983) yang telah menggambarkan bahwa bahasa Inggris lebih banyak digunakan secara meyakinkan daripada bahasa asli para siswa LEP di dalam kelas-kelas bilingual.

Gender dan Kecenderungan Etnis. Respon-respon terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan gender dan etnisitas memungkinkan kami untuk meneliti (examine) karakteristik dari para lulusan. Dengan menjadikan para lulusan atau alumni selama tiga tahun berturut-turut sebagai sampel penelitian ini, maka kami mampu mendeteksi kecenderungan-kecenderungan dalam data. Satu kecenderungan yang nampak menonjol adalah menurunnya jumlah siswa Hispanic.

Kebanyakan para lulusan adalah berjenis kelamin wanita – 80 persen dari para guru dan 78% dari para trainer. Jika jumlah alumni selama tiga tahun digabungkan, maka 60% dari para lulusan guru dan 61% dari para lulusan trainer berasal dari ras Hispanic, sementara 31% dari para lulusan guru dan 29% dari para lulusan trainer berasal dari ras kulit putih, non-Hispanic. Menarik untuk dicatat bahwa selama lebih dari tiga tahun tersebut, prosentase dari para lulusan guru kulit putih yang non-Hispanic meningkat tipis  (dari 26 %; 31 %; dan 36 %), sementara prosentase Hispanik menurun (dari 69 %; 61 %; dan 51 %) (Johnson, 1985, hal. 64).

Kami juga menemukan perbedaan yang signifikan berkaitan dengan permasalahan gaji menurut gender. Sebagai contoh, gaji dari para lulusan doktoral pria secara signifikan lebih tinggi daripada para lulusan doktoral wanita. Kami tidak dapat menarik kesimpulan tentang alasan-alasan bagi perbedaan ini, karena ini tidak menjadi pertanyaan utama dalam penelitian dan kami belum mengumpulkan informasi yang relevan.

  1. & 12. Kontribusi apakah yang diberikan penelitian tersebut terhadap pengetahuan kita terhadap faktor sosial atau kontekstual dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa kedua? Implikasi-implikasi apakah yang diungkapkan dalam penelitian tersebut?

Wujud kebijakan federal (negara bagian) dan efek kebijakan tersebut dengan hubungannya dengan pendanaan terhadap institusi, guru dan pada akhirnya terhadap para siswa, merupakan topik-topik penting penelitian bagi para peneliti yang tertarik dalam bidang pembelajaran bahasa dan pengajaran bilingual (Lesson-hurley, 1990).

Survey terhadap para lulusan ini – dan juga penelitian yang lebih luas terhadap program akademi dan universitas dimana survey ini merupakan bagiannya – memberikan kontribusi kepada pengetahuan kita tentang bagaimana kebijakan – satu faktor kontekstual yang penting – “berpengaruh” terhadap berbagai aspek dalam lembaga “persekolahan” dalam setting pendidikan bilingual. Program penyiapan tenaga kependidikan (guru) yang ada di berbagai lembaga pendidikan semisal akademi dan universitas dan kegiatan para alumninya dalam pekerjaan mereka di kemudian hari,  secara jelas mempengaruhi pengalaman belajar para siswanya.

Survey ini membuktikan bahwa prosentase yang besar dari para lulusan guru dari program yang dibiayai Title-VII meraih sukses dalam mendapatkan pekerjaan mereka yang berupa membantu para siswa yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa tambahan. Serupa dengan itu, prosentase yang besar dari para lulusan “trainer” ditemukan tengah membantu populasi yang dimaksudkan. Hasil-hasil ini mengindikasikan bahwa pendanaan federal memiliki dampak yang diinginkan oleh para pembuat kebijakan.

Data survey – ketika diintepretasikan dalam light of data yang dikumpulkan dalam penelitian yang lebih luas – juga memberikan informasi tentang kekurangcocokan antara dua konteks, yakni antara muatan mata kuliah dalam program penyiapan tenaga guru dengan kondisi pekerjaan mereka berkaitan dengan para siswanya. Ketidakcocokan ini dan implikasi yang dihasilkan bisa dijelaskan sebagai berikut:

Jika 70 % dari guru lulusan pendidika bilingual melaporkan bahwa mereka mengajar ESL dan sekitar setengahnya (35 %) menganggap pengajaran ESL sebagai tugas utama mereka, namun data dari tahap pertama penelitian mengungkapkan bahwa hanya sekitar 61 % dari program pendidikan bilingual tingkat S-1 yang mengharuskan ditempuhnya mata kuliah pengajaran bahasa kedua. Banyak mata kuliah yang ditawarkan lebih menekankan pada bidang metode pengajaran yang didesain khusus untuk mengajar orang dewasa daripada untuk anak-anak. Karena 82 % dari para lulusan S-1 dan 70 % dari para lulusan S-2 (master) berprofesi sebagai guru sekolah dasar, maka muncul keinginan (hasrat) untuk mengubah beberapa mata kuliah di bidang metode ESL agar lebih memperhatikan kebutuhan anak-anak daripada orang dewasa (Johnson, 1985, hal. 75).

Hasil-hasil penelitian survey ini memberikan sebuah contoh tentang bagaimana masalah-masalah dalam muatan mata kuliah dari berbagai program pendidikan bilingual di tingkat universitas dapat mempengaruhi para siswa K-12.

Kesimpulan

Penelitian Survey yang dilaksanakan dengan baik akan membawa beberapa keuntungan. Keuntungan utama adalah kedalamannya. Yakni, ketika penelitian survey melibatkan sampel-sampel yang besar, maka penelitian tersebut bisa sangat berguna dalam menyediakan sebuah “pandangan” atau pemahaman yang luas terhadap berabagai permasalahan yang ingin diteliti. Sebagai contoh, data demografik tahun 1980-an yang banyak dipublikasikan ternyata berpengaruh dalam merangsang dilakukannya penelitian untuk mengetahui tentang berbagai hal, antara lain tentang bagaimana populasi umum para pendidik atau guru; keragaman kultural; pembelajaran bahasa kedua dan bilingualisme. Dengan demikian, penelitian survey dapat bermanfaat dalam menangkap esensi dari berbagai kecenderungan yang bisa dipakai sebagai pertimbangan dalam bidang perencanaan. Survey-survey di bidang sosiolinguistik juga bisa memberikan tambahan pengetahuan kita tentang variasi dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.

Walaupun penelitian survey mungkin hanya “menjawab” beberapa pertanyaan penelitian yang diangap penting dan menjadi terbukti benar secara metodologi, namun penelitian survey juga memiliki beberapa keterbatasan, antara lain; pertama, survey tidak dimaksudkan untuk menghasilkan kesimpulan tentang hubungan sebab dan akibat, sebagaimana eksperimen. Kedua, sebagaimana dengan penelitian yang menggunakan pendekatan yang berbeda, maka tidak ada survey yang bebas nilai dan bebas teori. Ini berarti sangat penting untuk menilai tentang apa yang mungkin menjadi motivasi untuk melakukan penelitian tersebut; bagaimana hasilnya akan digunakan; dan bagaimana redaksi kalimat dalam butir-butir instrumen (angket) disusun yang kemungkinan dapat “membimbing” kepada jawaban atas pertanyaan tersebut. Ketiga, survey yang bersifat kuantitatif, secara umum, tidak pas untuk menggambarkan proses illuminating dalam pengembangan bahasa kedua, sebagaimana yang bisa dilakukan oleh studi kasus. Terakhir, dengan mengorbankan kedalaman, keluasan dan keterwakilan atau representativeness, survey biasanya tidak dapat memberikan gambaran yang kaya tentang faktor-faktor sosial, kultural, linguistik dan kognitif yang kompleks dan saling berinteraksi, yang penting dalam pembelajaran dan pengajaran bahasa. Nampaknya, pendekatan etnografis akan lebih tepat digunakan untuk tujuan ini, seperti yang akan kita lihat nanti.

***

(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)


[1] Harus dicermati bahwa, sementara ini ada definisi prototipe dari penelitian survey yang bervariasi. Sebagai contoh, sebuah survey mungkin mengandung satu pertanyaan yang ditanyakan kepada sejumlah besar responden, seperti dalam pertanyaan sensus. Disamping itu, penelitian survey mungkin juga tumpang tindih dengan penelitian kasus. Yaitu, metode survey dapat digunakan untuk mengumpulkan data dalam sebuah kesatuan tunggal yaitu fokus dari sebuah penelitian kasus. Pertimbangkan contoh ini. Dalam sebuah penelitian kasus terhadap sebuah sekolah, peneliti mungkin memutuskan untuk mensurvey keseluruhan staff pengajar (yaitu seluruh populasi guru) dengan menggunakan kuisioner tertulis. Disamping itu, peneliti tersebut mungkin mensurvey satu sampel dari para guru melalui wawancara.

[2] Jika Wolfson (1989) dan Holmes (1988) menggambarkan teknik pengumpulan data sebagai “etnografis”, maka penelitian tersebut sebenarnya lebih dekat kepada penelitian survey yang menggunakan prosedur pengambilan sampel nonprobability dan mengumpulkan data yang bersifat naturalistik. Penelitian etnografi adalah deskripsi dari suatu setting kultural dan/atau peristiwa tertentu yang kaya secara kontekstual

[3] Prosedur pengambilan sampel yang bersifat sistematik digunakan dalam penelitian sosiolinguistik kuantitatif. Poplack (1989), sebagai contoh, menggambarkan secara detail prosedur yang digunakan untuk memilih sebuah sampel untuk sebuah penelitian sosioloinguistik tentang fenomena kontak bahasa, terutama pengaruh bahasa Inggris terhadap bahasa Perancis, dalam lima lingkungan (neighborhoods) di area Ottawa-Hull di Kanada. Basis (dasar) data ini adalah “…far larger than other corpora of spoken French…” (hal. 429).

[4] Hasil-hasil dari bagian penelitian ini dilaporkan dalam Binkley, Johnson, Stewart, Abrica-Carasso, Nava, dan Thrope, 1981; Johnson, 1987; Johnson & Binkley, 1987

[5] Hasil-hasil dari tahap kedua dilaporkan dalam Kaskowitz, Binkley, dan Johnson, 1981; dan Johnson, 1985.

[6] Deskripsi rinci dari metodologi pengambilan sampel dan keterwkilan atau representativeness sampel diberikan dalam Binkley dkk, 1981, Vol. I.

[7] Beberapa sel bisa saja kosong karena sifat dari hubungan antara variabel-variabel stratifikasi tersebut  Sebagai contoh, tidak akan ada lulusan dari program sertifikasi pendidikan bilingual di suatu negara bagian yang tidak memilili sertifikasi pendidikan bilingual.

[8] Kesalahan sampling atau sampling error adalah terbaik pada 50% dan menurun saat prosentase sampel yang memiliki karakterisitk tertentu mendekati nol atau 100% (Fowler, 1984).

***

(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika, 2008)