Kedudukan Ijtihad Kontemporer dan Peranannya dalam Menjawab Tantangan Modernisasi

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, menuntut para ulama Islam untuk melakukan upaya rekonstruksi terhadap khasanah hukum Islam secara inovatif. Termasuk yang cukup urgen, adalah upaya para ulama tersebut untuk secara terus menerus melakukan ijtihad dibidang fiqih secara benar dan dapat dipertanggung-jawabkan. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam yang tidak bisa dipisahkan produk-produk fiqih, apakah itu berfungsi sebagai purifikasi atau reaktualisasi.[1]

Suatu hal yang berlebih-lebihan dan bersikap masa bodoh terhada realita di era modern ini, bila dikatakan bahwa buku-buku karya ulama terdahulu sudah cukup memadai untuk memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul. Padahal setiap zaman  itu memiliki problematika sendiri, dan berbagai kebutuhan yang senantiasa muncul. Apalagi bumi senantiasa berputar, semua cakrawalapun bergerak, dunia tetap berjalan dan jarum jam tidak pernah berhenti.

Seiring perputaran yang terus menerus ini dan perjalanan yang cepat, muncullah persoalan-persoalan baru yang belum dikenal oleh orang-orang terdahulu. Bahkan belum pernah tergores dalam sanubari mereka. Justru sekiranya problema yang muncul itu disampaikan kepada mereka, niscaya dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak logis.

Lebih dari itu, ada sebagian peristiwa atau persoalan lama yang terjadi dalam kondisi dan sifat yang dapat mengubah tabiat, bentuk, dan pengaruhnya. Sehingga hukum atau fatwa yang ditetapkan oleh ulama-ulama terdahulu tidak relevan lagi. Hal demikian itu, memotivasi mereka untuk merevisi fatwa lantaran berubahnya masa, tempat, adat istiadat dan kondisi.

Dengan demikian, kebutuhan kita terhadap ijtihad merupakan kebutuhan yang bersifat kontinyu, dimana realita kehidupan ini senantiasa berubah, begitupun kondisi masyarakatnya yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Terutama pada masa seperti sekarang ini, kita sangat memerlukan ijtihad melebihi masa-masa sebelumnya, mengingat telah terjadi perbahan cukup besar dalam corak kehidupan masyarakat di era modernisasi ini, setelah lahirnya revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Jadi apabila kita terus menerus berpegang kepada pendapat ulama terdahulu, memandang hasil ijtihad mereka, ijtihad yang tidak boleh diusik-usik sedikit juga, tentulah golongan yang menghendaki kemoderenan itu, memandang Islam ini, telah habis masanya. Jika kita biarkan, akibatnya akan keislaman itu beransur-ansur hilang dalam masyarakat kita.[2]

Oleh karena itu, kedudukan ijtihad sebagai hal yang mesti ada secara terus menerus sampai hari kiamat,[3] demikian menurut Ibn Qayyim. Karena tanpa ijtihad, fiqh tidak akan selalu relevan disetiap zaman dan tempat. Ia akan membuat manusia merasa sempit dan akan menimbulkan kekeliruan manusia memandang agamanya. Sedangkan Allah Swt. berfirman dalam surah Al-Haj : 78

Terjemahnya:

“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan …” (Al-Haj: 78).[4]

Kemudian menurut Wahbah Suhaili, bahwa ijtihad adalah nafasnya hukum Islam. Oleh karena itu, kalau kegiatan ijtihad terhenti, maka hukum Islampun akan terhenti perkembangannya dan akan terus tertinggal oleh dinamika kemajuan masyarakat. Sebaliknya kalau kegiatan ijtihad itu selalu dinamis, maka produk-produk hukumnya akan jauh lebih maju dari dinamika masyarakatnya.[5]

Jadi untuk menjawab problematika yang timbul di tengah-tengah masyarakat di era modernisasi ini, maka sangat dibutuhkan ijtihad kontemporer (masa kini). Dan ajaran Islam akan selalu relevan dengan zaman.


[1]Dr. Yusuf Al-Qardawi, Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 5.

[2]TM. Hasbi As-Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam (Cet. I Edisi II; Semarang: PT. Pustaka Riski Putra, 1997), h. 551.

[3]Lih. Dr. Abd. Halim ‘Uways, Al-Fiqh Al-Islami Bayn Ath-Thwwur wa Ats-Tsabut, diterjemahkan oleh; Drs. A. Zarkasyi dengan judul, Fiqh Statis dan Fiqh Dinamis (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 7.

[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 523.

[5]Drs. Dede Rozsyada, M.A. Hukum Islam dan Pranata Sosial (Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 133.