Contoh Makalah Korelasi Regresi

Sebelumnya kita telah membahas mengenai Pengertian Korelasi Regresi dan  Sifat Hubungan Antar Peubah dalam Korelasi regresi, kali ini kita akan melihat bagaimana cara menyatakan hubungan dalam analisis korelasi regresi. Bagian ini sekaligus menjadi Contoh makalah Korelasi Regresi yang dapat sahabat pelajari secara lengkap.

Contoh Makalah Korelasi Regresi

Penting untuk diperhatikan tentang hasil yang diperoleh dari analisis regresi, atau lebih umum, dari setiap bentuk analisis untuk mengkuantitatifkan hubung­an (misalnya koefisien korelasi dan koefisien regresi) antara dua atau lebih peubah. Kleinbaum et al. (1988) mengemukakan bahwa walau pun perhitungan statistis yang digunakan untuk menghasilkan taksiran ukuran hubungan tersebut mungkin benar, taksiran itu sendiri ada kemungkinan bias (salah). Bias seperti ini biasa terjadi karena kesalahan metode yang digunakan untuk memilih subjek studi, kesalahan informasi yang digunakan dalam analisis statistis, atau peubah-peubah lain yang seharusnya dipertimbangkan untuk hubungan yang teramati tidak diukur atau tidak secara tepat dipertimbangkan di dalam analisis.
Misalnya, jika tekanan darah diastolik dan tingkat kegiatan fisik individu-individu sebuah sampel diukur pada waktu tertentu, sebuah analisis regresi bisa menyarankan bahwa tekanan darah menurun sejalan dengan peningkatan kegiatan fisik; lebih lanjut, analisis itu bisa memberikan bukti (misalnya berdasarkan pada interval kepercayaan) bahwa hubungan ini mempunyai kekuatan moderat dan signifikan secara statistis. Namun, jika studi hanya, melibatkan orang-orang dewasa yang sehat, jika kegiatan fisik diukur dengan cara tidak tepat, atau faktor-faktor lain seperti umur, ras, dan jenis kelamin tidak diperhitungkan dengan benar, kesimpulan di atas dapat dianggap tidak sahih atau sekurang­kurangnya dipertanyakan.
Melanjutkan dengan contoh di atas, jika para peneliti puas bahwa penemuan pada dasarnya sahih (yakni hubungan yang teramati tidak palsu): Dapatkah mereka menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat kegiatan fisik  adalah penyebab tingginya tekanan darah? Jawabannya tentu tidak! Temuan dari sebuah hubungan yang “signifikan secara statistis” dalam sebuah studi khusus (tidak peduli betapa baik pelaksanaannya) tidak menyatakan hubungan sebab-akibat. Untuk menyatakan hubungan sebab-akibat, peneliti harus mempertimbang­kan kriteria eksternal pada ciri khusus dan hasil studi yang relevan.
Kita berada di luar cakupan pembahasan untuk mendiskusikan pembuatan inferensi sebab-akibat. Namun, kita akan secara singkat melihat beberapa ide kunci dari persoalan ini. Definisi langsung sebuah hubungan sebab-akibat mensyaratkan bahwa perubahan pada sebuah peubah (X) selalu menghasilkan perubahan pada peubah lain (Y). Pendekatan tidak sempurna terhadap fenomena dunia nyata yang ideal mungkin seperti ini: Secara rerata, perubahan dalam Y dihasilkan oleh perubahan dalam X. Pernyatan ini menyarankan bahwa untuk mendemonstrasikan sebuah hubungan sebab-akibat antara X dan Y, bukti eksperimen diperlukan untuk menunjukkan bahwa perubahan dalam Y dihasilkan dari perubahan dalam X. Walau pun diperlukan, bukti eksperimen seperti ini sering tidak praktis, tidak layak, tidak mungkin, atau tidak etis untuk mendapatkannya, khususnya ketika mempertimbangkan faktor-faktor risiko (misalnya merokok atau penggunaan obat narkotika) yang secara potensial berbahaya pada manusia. Akibatnya, kriteria alternatif berdasarkan pada informasi yang tidak melibatkan bukti eksperimen secara langsung digunakan secara khusus ketika kita berupaya membuat inferensi sebab-akibat terkait hubungan antarpeubah dalam kehidupan manusia. Contoh Makalah Korelasi Regresi.
Suatu pemikiran tentang inferensi sebab-akibat menghasilkan sejumlah prosedur yang biasa disebut analisis jalur (Blalock, 1971). Dewasa ini, prosedur­-prosedur seperti itu utamanya diterapkan dalam studi ilmu-ilmu sosial dan politik. Pada prinsipnya, metode ini berupaya mengetahui hubungan sebab-akibat secara tidak langsung dengan mengeliminasi pesaing penjelasan sebab-akibat melalui analisis data dan akhirnya sampai pada model sebab-akibat yang diterima karena tidak secara terang-terangan kontradiksi dengan data yang ada. Jadi, metode ini, daripada menetapkan secara langsung sebuah teori sebab-akibat, tiba pada (mendapatkan) sebuah model sebab-akibat melalui proses eliminasi.
Dalam prosedur ini, literatur yang relevan terhadap pertanyaan penelitian harus dipertimbangkan untuk membuat postulat sebab-akibat; sebagai tambahan, berbagai taksiran koefisien korelasi (jalur”) dianalisis untuk membandingkannya.
Pendekatan kedua dan yang penggunaannya lebih cenderung untuk membuat peta sebab-akibat, secara khusus dalam ilmu-ilmu kesehatan dan kedokteran, menggunakan sebuah pertimbangan (lebih kualitatif daripada kuantitatif) penilaian gabungan beberapa hasil studi dengan menggunakan sejumlah kriteria operasional yang secara umum disepakati sebagai syarat perlu (tetapi tidak cukup) untuk mendukung teori sebab ­akibat yang diberikan. Upaya untuk mendefinisikan sekumpulan kriteria seperti itu dibuat di akhir tahun x95o-an dan awal tahun x96o-an oleh peneliti-peneliti yang mengkaji kembali penelitian tentang bahaya kesehatan bagi perokok. Sebuah daftar kriteria umum untuk mendapatkan bukti yang tersedia untuk mendukung sebuah hubungan sebab-akibat diformulasi­kan oleh Hill (x97x), dan daftar ini secara berturut-turut diadopsi oleh banyak peneliti epidemologi. Daftar ini memuat tujuan kriteria yang dirangkum sebagai berikut.
1.    Kekuatan hubungan (strength of association). Hubungan teramati tampak lebih kuat pada sejumlah studi yang berbeda, mengurangi kemungkinan bahwa hubungan palsu karena bias.
2.    Pengaruh dosis (dose-response effect). Nilai peubah terikat (misalnya, perkembangan penyakit) berubah dalam sebuah pola yang berarti (misalnya menurun atau meningkat) sejalan dengan dosis (atau level) sehingga dosis bisa menjadi agen penyebab yang dicurigai dalam studi.
3.    Tidak membingungkan dari segi waktu (lack of temporal ambiquity). Penyebab yang dihipotesiskan mendahului terjadinya akibat (effect). Perlu diperhatikan bahwa kemampuan untuk menetapkan pola waktu bergantung pada rancangan studi yang digunakan.
4.    Kekonsistenan penemuan (concistency of finding). Kebanyakan, atau semua, studi memperhatikan penyebab yang dihipotesiskan menghasilkan kesimpulan yang serupa. Tentunya, studi dengan pertanyaan yang diberikan mungkin semuanya mempunyai masalah bias yang serius yang dapat mengurangi pentingnya hubungan yang teramati.
5.    Kelayakan hipotesis secara biologis dan teoretis (biological and theoretical plausibility). Hubungan sebab-akibat yang dihipotesiskan konsisten dengan pengetahuan biologis dan teoretis masa kini. Namun, perlu diperhatikan bahwa pengetahuan sekarang ini (current state of knowledge) mungkin tidak cukup untuk menjelaskan penemuan-penemuan tertentu.
6.    Kekoherenan bukti (coherence of evidence). Penemuan tidak secara serius bertentangan dengan fakta yang diterima secara umum tentang peubah hasil yang dipelajari (misalnya, pengetahuan tentang sejarah alamiah suatu penyakit).
7.    Kekhususan hubungan (specificity of the association). Faktor studi (yakni penyebab yang dicurigai) terkait dengan hanya satu akibat (misalnya penyakit tertentu). Namun, perlu diperhatikan bahwa banyak faktor studi mempunyai hasil ganda dan juga kebanyakan penyakit mempunyai penyebab ganda.
Kriteria Hill dikemukakan oleh Weed (i996) menyangkut bukti adanya hubungan sebab-akibat dalam penelitian epidemologi, memperhatikan (1) kekuatan hubungan, (2) kekonsistenan, (3) kekhususan, (4) waktu, (5) dukungan (gradient) biologis, (6) kemasuk-akalan (plausibility), (7) kekompakan (koherensi), (8) bukti eksperimen, dan (9) analogi.
Jelaslah, menerapkan kriteria di atas terhadap sebuah hipotesis sebab-akibat sangat sulit secara langsung. Walau pun semua kriteria ini dipenuhi, hubungan sebab-akibat tidak dapat dinyatakan dengan keyakinan penuh. Namun, tanpa bukti eksperimen yang kuat penggunaan kriteria seperti itu mungkin suatu cara logis dan praktis untuk membicarakan isu sebab-akibat, khususnya dengan studi tentang manusia.