A. PENDAHULUAN
Perbincangan mengenai filsafat ilmu baru mulai merebak di awal abad ke dua pulu. Namun Francis Bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad ke sembilan belas dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam hasanah bidang filsafat secara umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini ada semacam kekhawatiran di kalangan para ilmuwan, dan filsof, termasuk juga kalangan Agamawan, dalam hal ini penulis khususkan agama Islam, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dapat mengancam eksistensi umat manusia bahkan agama itu sendiri.
Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran meterial berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia. Disamping itu, salah satu tujuan filsafat ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen bukan tujuan. Dalam konteks yang demikian diperlukan suatu pandangan yang komprehensip tentang ilmu dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Dalam masyarakat beragama (Islam), ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.
Namun, perlu juga diingat bahwa ikatan agama yang terlalu kaku dan tersetruktur kadang kala dapat menghambat perkembangan ilmu. Karena itu, perlu kejelian dan kecerdasan memperhatikan sisi kebebasan dalam ilmu dan sistem nilai dalam agama agar keduanya tidak saling bertolak belakang. Disinilah perlu rumusan yang jelas tentang ilmu secara filosofis dan akademik serta agama agar ilmu dan teknologi tidak menjadi bagian yang lepas dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta lingkungan.
Dari pemaparan di atas, penulis mencoba untuk mendudukkan antara filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan serta apa fungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang kami angkat dalam makalah ini adalah;
- Dimana kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan?
- Apa saja fungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan?
C. Pembahasan
Sebelum membahas kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu penulis jelaskan apa arti filsafat ilmu itu sendiri;
1. Pengertian filsafat ilmu
Arti filsafat ilmu menurut The Liang Gie adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Sedangkan menurut Cornilius Binjamin filsafat ilmu adalah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistimatis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual
Dari kedua definisi di atas, dapat penulis simpulkan bahwa filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang secara spisifik mengkajih hakekat ilmu. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat has, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.
Setelah dipahami apa filsafat ilmu itu kali ini penulis ingin menjelaskan tiang penyangga dari filsafat ilmu, karena dari sini nanti penulis ingin memposisikan antara filsafat ilmu dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, serta apa fungsinya. Pertama, filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu ; obyek apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu?. Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang penyangga yang kedua adalah; Epistimologi ilmu atau teori pengetahuan, ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya.
Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.
Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk enghapus penderitaan manusia.
Kedua kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kreterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Tiang penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, penulis akan menguraikan beberapa definisi tentang aksiologi, di antaranya;
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.
Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.
Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kreteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai? ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakekat penciptaan dirinya. Solusinya yang diberikan al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.
Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan melulu untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang Pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruan.
Demikian sedikit pengertian tentang filsafat ilmu dan apa saja yang dipersoalkan dalam filsafat ilmu serta apa tujuan filsafat ilmu itu. Dari beberapa hal di atas, nantinya akan penulis jadikan bahan untuk menempatkan dimana letak atau kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan. Selama ini kita masih sering mendengar adanya dikhotomi antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan , padahal kalau kita kembali pada landasan dasarnya ilmu pengetahuan yaitu filsafat ilmu maka kita tidak akan menemukan yang namanya dikhotomi antara keduanya. Justru dengan mendudukkan keduanya dengan posisi yang sama maka akan tercipta dunia yang seimbang.
2. Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis, sekularistik, relevistis; yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab penting munculnya krisis masyarakat modern.
Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan didalam ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistis, sekularistik, evolusioneristis, dan karena itu pada dasarnya bersifat realitifitas dan nihilistis. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat terhadap realitas, dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia islam.
Tetapi sejauh mana gagasan ini dapat dijalankan, dan betul-betul menjadi solusi terhadap krisis masyarakat modern, barangkali sejarah yang akan membuktikannya. Apapun hasilnya nanti, gagasan ini saya kira perlu mendapat sambutan terutama dari mereka yang memiliki kepentingan dengan kondisi masyarakat modern. Selain itu Islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi adanya konsep dikhotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimasukkan masyarakat Barat dan budaya masyarakat modern. Masyarakat yang disebut terakhir ini misalnya memandang sifat, metode, setruktur sains dan agama jauh berbeda, kalau tidak mau dikatakan kontradiktif (bagaimana seharusnya). Sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksprimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak, sedangkan kebenaran sains relatif. Agama banyak berbicara yang gaib sedangkan sains hanya berbicara mengenai hal yang empiris.
Dalam perspektif sejarah, sains dan teknologi modern yang telah menunjukkan keberhasilannya dewasa ini mulai berkembang di Eropa dalam rangka gerakan reaisans pada tiga atau empat abad yang silam. Gerakan ini berhasil menyingkirkan peran agama dan mendobrak dominasi gereja Roma dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat Eropa sebagai akibat dari sikap gereja yang memusuhi ilmu pengetahua. Dengan kata lain ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami perkembangan setelah memisahkan diri dari pengaruh agama. Setelah itu berkembanglah pendapat-pendapat yang merendahkan agama dan meninggikan sains. Dalam perkembangannya, sains dan teknologi modern dipisahkan dari agama, karena kemajuaannya yang begitu pesat di Eropa dan Amerika sebagaimana yang di saksikan sampai sekarang. Sains dan teknologi yang demikian itu selanjutnya digunakan untuk mengapdi kepada kepentingan manusia semata-mata, yaitu untuk tujuan memuaskan hawa nafsunya menguras isi alam untuk tujuan memuaska nafsu konsomtif dan materealistik, menjajah dan menindas bangsa-bangsa yang lemah, melanggengkan kekuasaan dan tujuan lainnya.
Penyimpangan dari tujuan pengguanaan ilmu pengetahuan itulah yang direspon melalui konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu upaya menempatkan sains dan teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan agar perumusan dan pemanfaatan sains dan teknologi itu ditunjukkan untuk mempeetinggi harkat dan martanat manusia, melaksanakan fungsi kekhalifahannya dimuka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya. Inilah yang menjadi salah satu misi Islamisasi ilmu pengetahuan.
3. Setrategi islamisasi ilmu pengetahuan
Terjadi pemisahan agama dari ilmu pengetahuan sebagaimana tersebut di atas terjadi pada abad pertengahan, yaitu pada saat umat islam kurang memperdulikan (meninggalkan iptek). Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam adalah ulama tarikat dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqih,dan tauhid. Ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif dan tarekat, tarekat hanyaut dalam wirit dan dzikir dalam rangka mensucikan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah dengan menjauhkan kehidupan duniawi.
Sedangkan ulama tidak tertarik mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif. Bahkan ada yang mengharamkan untuk mempelajari filsafat, padahal dari filsafatlah iptek bisa berkembang pesat. Kedaan ini mengalami perubahan pada akhir abad ke sembilan belas, yaitu sejak ide-ide pembaharuan diterima dan didukung oleh sebagian umat. Mereka mengkritik pengembangan sains dan teknologi modern yang dipisahkan dari ajaran agama, seperti dikemukakan oleh Muhammad Naquib al-Attas (1980/1981: 47-56) Ismail Razi al-Faruqi (1982: 3-8) dengan tujuan agar ilmu pengetahuan dapat membawa kepada kesejahteraan bagi umat manusia. Menurut para ilmuwan dan cendikiawan muslim tersebut, pengembangan iptek perlu dikembalikan pada kerangka dan perspektif ajaran Islam. Al-Faruqi menyerukan perlunya dilaksanakan islamisasi sains. Dan sejak itu gerakan islamisasi ilmu pengetahuan digulirkan, dan kajian mengenai islam dalam hubungannya dengan pengembangan iptek sebagaimana diuraikan di bawah ini mulai digali dan diperkenalkan.
Sebagaimana di ketahui bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, amat komperhensif dan mendalam yang ditemukan didalam al-Qur’an ialah konsep ilm. Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan turunnya sekitar 800 kali. Dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap kedalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam semua upaya intelektual. Tidak ada peradaban lain yang memiliki konsep pengetahuan dengan semangat yang sedemikian tinggi dan mengajarkannya dengan amat tekun seperti itu.
Menurut Munawar Ahmad Aness, bahwa dalam konsep Islam yang berdasarkan al-Qur’an, upaya menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan berarti melakukan suatu kejahatan. Walaupun tidak disengaja, terhadap konsep yang luhur dan multi dimensional ini. Ilmu memang mengandung unsur-unsur dari apa yang kita pahami sekarang sebagai pengetahuan. Tetapi ia juga digambarkan sebagai hikmah. Selanjutnya jika di Eropa sains dan teknologi dapat berkembang sesudah mengalahkan dominasi gereja, sedangkan dalam perjalanan sejarah Islam, lain halnya ilmu dalam berbagai bidangnya mengalaami kemajuan yang pesat di dunia Islam pada zaman klasik (670-1300 M), yaitu zaman Nabi Muhammad sampai dengan akhir masa Daulah Abbasiyah di Bagdad.
Pada masa ini, dunia Islam telah memainkan peran penting baik dalam bidang ilmu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam hubungan ini Harun Nasution mengatakan bahwa cendikiawan-cendikiawan Islam bukan hanya ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan kedalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pikiran mereka dalam ilmu filsafat. Para ilmuwan tersebut memiliki pengetahuan yang bersifat integrated, yakni bahwa ilmu pengetahuan umum yang mereka kembangakan tidak terlepas dari ilmu agama atau tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.
Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut;
Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi. Yaitu teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam prihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Lebih tegasnya adalah teologi yang memunculkan kesadaran, yakni suatu matra yang paling dalam diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu. Karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, sekaligus antropologis.
Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah Swt. hal ini penting ditegaskan, karena dorongan al-Qur’an untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kapada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan iptek.
Ketiga, Ilmu pengetahuan harus dikembnagkan oleh orang-orang Islam yang memilki keseimbangan antara kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan sepiritual yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik, di mana paraa ilmuwan yang mengembangka ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi yang senantiasa taat beribadah kepada Allah Swt.
Keempat, Ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral, yakni bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakekatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang lebih unggul antara satu dan lainnya. Dengan menerapkan keempat macam setrategi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern sebagaimana tersebut di atas. Dan selanjutnya penulis akan mencoba menposisikan dimana letak filsafat ilmu dalamIslamisasi ilmu pengetahuan.
4. Kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan
Sebagaimana dalam bab awal sudah dijelaskan tentang apa arti filsafat ilmu dan apa arti Islamisasi ilmu pengetahuan, kali ini penulis mencoba meletakkan di mana posisi filsafat ilmu ketika dihadapkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pada dasarnya filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara subtantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif. Selanjutnya secara teknis dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoprasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.
Sedangkan kajiaan yang dibahas dalam filsafat ilmu adalah meliputi hakekat (esensi) pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti; ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu, yang sudah penulis bahas di atas. Dari ketiga landasan tersebut menurut hemat penulis, bilah dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan maka letak filsafat ilmu itu terletak pada ontologi dan epistimologinya. Ontologi disini titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas. Manakalah realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilm-ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria.
Sedangkan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.
5. Fungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan
Fungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebagai pemberi nilai terhadap perkembangan ilmu, dan ini akan dijelaskan oleh aksiologi ilmu yang bertitik tolak pada pengenbangan ilmu pengetahuan yang merupakan sikap etis yang harus di kembangkan oleh seorang ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Sehingga suatu aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan, idiologi yang di anut oleh masyarakat atau bangsa tempat ilmu itu di kembangkan.
Pertama, filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah, maksudnya seorang ilmuwan musliam harus memilki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap nsolipsistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar. Adapun kaitannya denga Islamisasi ilmu pengetahuan fungsi filsafat ilmu adalah sebagai sikap kritis terhadap keilmuwan yang dimiliki oleh ilmuwan muslim.
Kedua, filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuwan. Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan ilmuwan modern adalah menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan disini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau cocok dengan setruktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya sarana berfikir, bukan merupakan hakekat ilmu. Dalam Islamisasi ilmu pengetahuanyang paling pokok adalah terdapat pada bagaimana cara untuk mempertmukan antara nilai-nilai agama dengan kemajuan ilmmu pengetahuan. Agar keduanya bisa saling mengisi kekurangan dan kelebihannya.
Filsafat ilmu diperlukan kehadirannya ditengah perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditandai semakin menajamnya spisialisasi ilmu pengetahuan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, maka para ilmuwan muslim akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Hal yang di perlukan adalah sikap keterbukaan diri dikalangan ilmuwan muslim, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.
D. Analisis
Dari beberapa penjelasan di atas dapat penulis analisis sebagai berikut; Bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatya adalah pembebasan manusia, semua manusia menghadapi kehidupan ini dengan ketidak berdayaan, mempunyai perasaan yang kecil berhadapan dengan realitas di tuanya yang besar baik alam sekitarnya, seperti gunung berapi yang sewaktu-waktu dapat memuntahkan laharnya yang mengerikan, maupun sesama mahluk hidup lainnya. Seperti binatang buas, yang sewaktu-waktu bisa menerkamnya dan merobek-robek tubuhnya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat menghadapi tantangan dan dapat menghindari resiko-resiko yang dihadapi dalam hidupnya. Ilmu pengetahuan dengan demikian membabaskan manusia dari ketakutan dan penderitaan.
Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahua telah melahirkan mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan islamisasi ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia. Disinilah nanti pentingnya mengetahui dimana letak filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan. Keduanya harus didudukkan bersama. Karena pada dasarnya Islamisasi iptek adalah sebagai landasan teoritis saling mengisi, agar tidak terjadi dikhotomi antara keduanya, lewat jembatan filsafat ilmu keduanya bisa didudukkan bersama.
E. Kesimpulan
Pokok bahasan dalam filsafat ilmu adalah sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, hakekat dan sumber pengetahuan serta kreteria kebenaran. Disamping itu, filsafat ilmu juga membahas persoalan objek, metode dan tujuan ilmu yang tidak kala pentingnya adalah sarana ilmiah. Filsafat ilmu memberi spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu, baik pada tatanan ontologis, epistimologis, maupun aksiologis yang dalam hal ini penulis menempatkan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan terletak pada dataran aksiologinya. Yaitu agama sebagai pemberi nilai terhadap ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan memberikan wawasan yang lebih luas bagi penuntut ilmu untuk melihat sesuatu itu tidak hanya dari jendela ilmu masing-masing. Ada banyak jendela yang tersedia, ketika melihat sudut pandang sesuatu, karena itu, tidak boleh arogansi dalam sebuah disiplin ilmu karena arogansi adalah pertanda bahwa tidak kreatif lagi dan cepat merasa puas.
Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.
Demikianlah pembahasan kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan yang dapat penulis sajikan, mudah-mudahan mampu mengguga kita untuk terus mencari, bertualang di dunia ilmu.