A Cerpen by Mas Raden : Dendam, Benci dan Amarahku

Oleh : Mas Raden

Kupandangi sosok itu dengan perasaan berkecamuk. Benci, marah, dendam, bahagia, bersyukur, campur aduk dalam hati. Benci padanya yang telah memfitnah keluargaku. Marah padanya yang telah merendahkan martabat keluargaku. Dendam padanya yang telah menginjak-injak harga diri keluargaku. Bahagia karena saat ini aku melihatnya menderita dan tak berdaya. Bersyukur karena Tuhan telah mendengar doaku agar dia mendapat balasan yang setimpal atas segala perbuatannya.

Sosok itu, wanita yang kira-kira berumur 40 tahun, kembali meminta tolong kepadaku. Dengan suara yang tertahan dan tubuh yang berlumuran darah dia menatapku dengan penuh harap. Tapi aku, yang berdiri tak jauh darinya, hanya terdiam dengan tatapan penuh dendam dan kebencian. Bagaimana tidak, sosok yang sekarang ada di depanku adalah orang yang menghancurkan keluargaku. Membuat kami sekeluarga menutup telinga dan menahan sakit ketika semua orang mempergunjingkan kami, membuat semua orang menjauh dari kami, menyebabkan ibuku mengalami depresi hingga harus dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan dan membuat kakak perempuanku menangis selama berhari-hari meratapi nasib cintanya.

Ya, dulu kakakku dan anak laki-laki wanita itu pernah menjalin kasih. Merangkai harapan tuk raih kebahagiaan. Tapi, dengan tangan dinginnya, wanita itu telah menghapus harapan indah tersebut. Wanita itu tanpa perasaan telah memisahkan kakakku dengan anaknya dikarenakan kakakku berasal dari keluarga yang tidak mampu. Benar, kami memang hidup pas-pasan. Ayah cuma seorang petani yang menggarap sawah milik orang lain. Sedangkan ibu, untuk membantu perekonomian keluarga, harus berjualan makanan di pasar. Sangat ‘sinetron’ memang, tapi itulah kenyataanya. Kami tidak sedang memainkan peran, melainkan benar-benar merasakan langsung derita itu.

Sejatinya kami tidak keberatan dengan keputusan wanita itu dan kakakku pun ikhlas ketika harus berpisah dengan laki-laki yang dicintainya. Kami tau diri. Tapi kenapa wanita itu masih harus menjelek-jelekkan keluarga kami di tengah masyarakat, memfitnah keluarga kami. Pada semua orang, wanita itu bilang bahwa keluarga kami sengaja menipu anak laki-lakinya dengan jerat cinta kakakku untuk  mengeruk hartanya. Mereka menuduh kamu kami main dukun, bahkan santet.  Tak ketinggalan pula berbagai hal buruk lainnya tentang keluarga kami yang kesemuanya adalah fitnah. Tapi dari semua itu  yang tak bisa aku terima adalah ketika sebuah tamparan keras mendarat di pipi kakakku. Dan parahnya, kami semua hanya bisa diam menahan sakit.

Wanita itu kembali meminta tolong kepadaku. Kali ini suaranya terdengar lirih. Sepertinya dia sudah mulai kehabisan darah. Tadi, ada dua orang pencuri mengentikan mobil wanita itu. Si pencuri yang ternyata telah bekerja sama dengan si sopir, menarik paksa keluar wanita itu dan meraup habis perhiasan dan benda berharga miliknya. Ketika wanita itu hendak melawan, dua tusukan terpaksa menancap di tubuhnya. Pencuri dan sopir itu pun segera melarikan diri.

Aku memang cuma bisa menyaksikan kejadian itu dari jauh. Ketika aku bergegas mendekat, semuanya telah terlambat. Wanita itu telah terbujur dengan lumuran darah. Tapi entah kenapa, sisi lain hatiku mengatakan kalaupun saat itu aku berada dekat dengannya, aku tidak akan menolongnya saat pencuri itu beraksi.

“T-o-l-o—-ng… T-o-l-o-ng s-a-y-a… s-a-y-a m-o-h-o-n…” Wanita itu kembali berucap terbata-bata meminta tolong. Sampai saat ini aku memang belum berbuat apa-apa. Jalanan sepi, jarang ada kendaraan atau orang lain yang lewat. Hanya kami berdua. Terserah orang mau bilang aku jahat.    Tapi aku senang melihatnya menderita, suka melihatnya tidak berdaya dan bahagia melihatnya memohon-mohon seperti itu.

“T-o-l-o—-ng…” Wanita itu terus memaksakan bicara. Keadaannya semakin menyedihkan.

Ada apa denganku? Bukankah harusnya aku prihatin pada keadaannya saat ini. Bukankah aku harus menolongnya. Membawa ke rumah sakit atau sekedar mencari bantuan. Tapi betapapun hatiku ingin melakukan itu semua, sisi lain hatiku memilih diam dan tetap membiarkannya menderita hingga menemui ajal. Astaghfirullah, apakah aku benar-benar menjadi sosok yang jahat sekarang. Apakah dendam, benci dan amarah benar-benar telah membutakan mataku. Bukankah selama ini Tuhan telah menghukumnya. Ia telah kehilangan suami karena kecelakaan, anak laki-lakinya setelah pisah dengan kakakku menjadi pecandu obat-obatan terlarang, yang terakhir, anak perempuannya melahirkan bayi tanpa seorang suami. Dan Semua itu membuat keluarganya jadi bahan pergunjingan masyarakat. Semua itu, bukankah semua itu sudah cukup untuk menghukumnya. Bukankah itu seharusnya membuat hatiku bersih dari noda dendam, benci dan amarah. Bukankah itu kisah lama, kisah pahit 4 tahun silam. Bukankah keluarga kami telah bersih dari fitnah masyarakat. Ibu telah sembuh sejak lama. Dan kakakku, sekarang telah hidup bahagia, berkeluarga, hidup berkecukupan dan telah mempunyai seorang anak.

Oh Tuhan, apa yang sebenarnya merasuki diriku. Kenapa begitu sulit bagiku untuk melupakan semua rasa itu. Aku benar-benar telah buta karenannya.

Akhirnya dalam kebimbangan, aku berlalu meninggalkannya. Menstarter motor dan segera pergi dari tempat itu. Aku sempat melihat sorot matanya yang terus memohon.

-oOo-

Beberapa menit kemudian, aku telah sampai pada tujuanku. Aku segera turun dari motor. Sebuah mobil angkutan umum yang tadi mengikutiku ikut berhenti. Aku kemudian memandu sopir yang aku kenal itu ke sesuatu tempat tak jauh dari tempat kami parkir.

Wanita itu masih disana. Dia masih tersadar saat aku dan sopir angkut mendatanginya. Tanpa menunggu lama, kami pun membopong tubuh wanita itu, memasukkannya ke dalam angkot dan segera melarikannya ke rumah sakit. Kali ini aku melihat matanya berkaca-kaca saat menatapku. Aku tak tau apa yang dia pikirkan. Terharu atau berterima kasih, entahlah. Aku tidak memperdulikannya. Mengenai dendam, benci dan amarah yang kurasakan, terus terang belum sepenuhnya hilang. Aku memang memutuskan untuk menolong wanita itu, tapi bukan berarti semua rasa itu hilang. Rasa itu masih membekas dalam hati.

-oOo-

Beberapa saat kemudian, keluarganya mulai berdatangan. Tadi, saat dalam perjalanan ke rumah sakit aku menghubungi orang yang rumahnya dekat dengan wanita itu. Aku pun segera menyingkir dari tempat itu setelah merasa bahwa tugasku telah selesai.

“Alan, Tunggu!”

Seseorang menghentikan langkahku. Suara itu, meski sudah lama aku masih mengenalnya. Suara laki-laki yang telah menghancur leburkan hati kakakku. Laki-laki yang lebih percaya pada fitnahan ibunya daripada kakakku. Lelaki macam apa yang menganggap kekasihnya sebagai gadis murahan pengeruk harta. Padahal mereka telah menjalin hubungan lebih dari dua tahun, meskipun backstreet tapi tidakkah itu cukup untuk mengetahui sifat dan isi hati masing-masing.

“Sopir tadi bilang kamu yang menolong Mama.”

Sial… aku lupa memberi tahu sopir agar tidak mengatakannya. Aku tidak mau dianggap cari muka didepan keluarganya. Meski aku benci dengan wanita itu, tapi jujur kali ini aku tulus melakukannya.

“Dokter bilang terlambat beberapa menit saja, nyawa Mama tidak terselamatkan.”

Mendengar itu, entah kenapa aku bersyukur.

“Terima kasih…”, ucapnya lagi.

Sebuah kata yang sama sekali tidak aku harapkan. Tapi kata itu terasa hangat menjalar di hatiku, menyapu bersih semua dendam, benci dan amarah yang aku rasakan selama ini. Entahlah, tapi aku merasa dia tulus mengatakannya. Aku tidak tau apakah itu artinya bagus atau tidak buatku.

“Oh iya, aku punya sesuatu untuk kamu.” Laki-laki itu kemudian merogoh kantong belakangnya, mengambil dompet, mengeluarkan beberapa uang seratus ribu dan menyerahkan kepadaku.

Bagi ditusuk sembilu, aku merasakan sakit yang luar biasa. Dendam, benci dan amarah yang baru saja hilang, dengan cepat kembali dan merajai hatiku.

“Kamu jangan berfikiran negatif dulu. Aku tidak punya maksud apa-apa. Ini… ini sebagai rasa terima kasihku. Kamu terima ya!” Laki-laki itu menarik telapak tanganku dan meletakkan uang di atasnya.

Biadab! Dia mengatakan dan melakukan itu semua tanpa beban. Bagaimana dia tidak merasa aku akan sakit hati diperlakukan seperti itu.

Sebelum uang itu dia lepaskan, aku lebih dulu menampik tangannya.

“Jadi begini caramu berterima kasih. Jadi ini harga yang kamu berikan atas apa yang aku lakukan…” Aku tidak perduli lagi jika ucapanku tak beretika. “Bodoh sekali aku, sempat berfikir bahwa kamu berterima kasih dengan tulus…”

“Kamu jangan salah paham dulu. Aku bisa…”

“Cukup! Kamu dan ibumu ternyata sama… Sama-sama tidak punya hati.

Sebenarnya aku kasihan padamu. Orang seperti kamu sampai kapanpun tidak akan pernah tau apa itu ketulusan apa itu kebaikan dan apa itu keikhlasan. Karena kalian selalu memandang dan mengukur semua hal dengan rupiah. Brengsek !” Aku segera cabut. Aku takut tidak bisa menahan dentuman emosi dalam hati.

Sialan ! Apa yang sebenarnya yang dia pikirkan. Apa dia tidak punya perasaan. Aku bahkan tidak butuh terima kasih, apalagi uang darinya. Aku benar-benar merasa terhina.

Aku pulang dengan membawa dendam, benci dan amarahku. Bahkan lebih besar dari sebelumnya. Aku tidak menyarankan orang lain untuk mendendam, membenci atau menyimpan amarah. Rasanya sangat menyakitkan. Dendam, benci dan amarah akan membuat hidup kita merugi. Bagaimana tidak, setiap hari, setiap waktu, jam, menit bahkan tiap detik, yang kita pikirkan hanya bagaimana cara membuat orang yang kita benci menderita. Sementara, orang yang kita benci bisa saja hidup dengan tenang tanpa peduli dengan apa yang kita rasakan.

Aku tau rasanya mendendam. Aku tau rasanya membenci. Aku tau rasanya menyimpan amarah. Semuanya melelahkan dan menyakitkan. Tapi setelah semua yang terjadi, aku memilih menahan sakit, menyimpan semua rasa itu. Entah sampai kapan. Aku tak tau…

-oOo-