Validitas Prediksi pada Instrumen Penelitian

Validitas prediksi adalah derajat yang menunjukkan suatu tes dapat memprediksi tentang bagaimana seseorang akan melakukan suatu prospek tugas atau pekerjaan yang direncanakan. Tes kemampuan aljabar, sebagai contohnya, dapat dikatakan mempunyai nilai validasi prediksi, jika tes tersebut dapat menduga pada seseorang yang memiliki kemampuan aljabar dengan anak yang tidak memiliki kemampuan.

Tes kemampuan akademik yang sering diberikan pada mahasiswa yang hendak melanjutkan ke jenjang pascasarjana juga dikenal mempunyai nilai prediksi yang baik terhadap calon mahasiswa dalam menyelesaikan studi di pascasarjana tersebut.

Validitas Prediksi pada Instrumen Penelitian


Instrumen validitas prediksi mungkin bervariasi bentuknya tergantung beberapa faktor, misalnya kurikulum yang digunakan, buku pegangan yang dipakai, intensitas mengajar, dan letak geografis atau daerah sekolah. Yang perlu diperhatikan ketika kita akan melakukan tes prediksi di antaranya adalah perlunya memperhatikan proses dan cara membandingkan instrumen yang divalidasi dengan tes yang telah dibakukan. Untuk tes validasi prediksi, prinsip instrumen umum yang menyatakan bahwa tidak ada tes yang memiliki tes prediksi sempurna masih tetap berlaku. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa skor tes yang dihasilkan juga memiliki sifat ketidaksempurnaan tersebut.

Konsekuensi lain dari prinsip umum tersebut yang harus selalu diingat oleh para peneliti adalah bahwa menggunakan kombinasi beberapa kriteria akan lebih tepat hasilnya, jika dibandingkan dengan satu tes yang mempunyai validasi prediksi yang dibuat hanya atas dasar satu kriteria. Hal ini berarti jika suatu klasifikasi dianggap penting atau keputusan pemilihan harus dilakukan maka para peneliti sebaiknya mendasarkan pada data yang diperoleh dari tes yang menggunakan lebih dari satu indikator.

Validitas prediksi suatu tes pada umumnya ditentukan dengan membangun hubungan antara skor tes dan beberapa ukuran keberhasilan dalam situasi tertentu yang digunakan untuk memprediksi keberhasilan, yang selanjutnya disebut sebagai predictor. Sedangkan tingkah laku yang hendak diprediksi pada umumnya disebut sebagai criterion. Dalam membuat validasi prediksi, suatu tes biasanya mempunyai sekuensi seperti berikut. Pertama, mengidentifikasi dan mendefinisikan secara teliti criterion yang hendak diinginkan. Kriteria yang terpilih harus mengukur validitas terhadap tingkah laku yang diprediksi. Sebagai contoh misalnya, jika kita hendak memprediksi mata kuliah matematika. Kelengkapan kehadiran kuliah satu semester, menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan dan mengikuti mid semester dari kuliah tersebut dapat digunakan sebagai indikator criterion. Sedangkan mahasiswa yang tidak hadir dan tidak mengumpulkan tugas-tugasnya, skor penuh yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai tersebut tidak merefleksikan prediksi keberhasilan.

Yang perlu diperhatikan ketika suatu criterion ditentukan oleh seorang peneliti adalah bahwa dalam menentukan tercapainya suatu kriteria, apakah sebagian besar mahasiswa yang mengambil mata kuliah tersebut dapat mencapai kriteria yang telah ditentukan? Seberapa besar mahasiswa dapat mencapai kriteria dalam suatu tes sering disebut sebagai rerata dasar atau baserate. Rerata dasar adalah proporsi individual yang diharapkan dapat memenuhi criterion yang telah ditentukan. Dalam penentuan criterion suatu objek, kita sebaiknya menghindari criterion di mana nilai rerata dasarnya adalah sangat tinggi. Nilai rerata dasar tinggi berarti sangat mudah. Sebaliknya jangan pula terjadi bahwa nilai rerata dasar yang ada ternyata sangat rendah. Karena nilai rerata dasar rendah tidak lain adalah menunjukkan bahwa nilai tes sangat sulit.

Ketika kriteria telah diidentifikasi dan ditentukan, prosedur selanjutnya adalah menentukan validitas prediksi suatu tes dengan cara seperti berikut.
1. Buat item tes sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
2. Tentukan grup yang dijadikan subjek dalam pilot study.
3. Identifikasi criterion prediksi yang hendak dicapai.
4. Tunggu sampai tingkah laku yang diprediksi atau variabel criterion muncul dan terpenuhi dalam grup yang telah ditentukan.
5. Capai ukuran-ukuran criterion tersebut.
6. Korelasikan dua set skor yang dihasilkan.

Hasil angka beberapa koefisien validitas adalah menunjukkan validitas prediksi terhadap tes yang baru dibuat. Jika koefisien tinggi, berarti tes mempunyai prediksi bagus. Sebaliknya, jika koefisien rendah berarti tes yang baru dibuat mempunyai tes prediksi rendah.

Untuk memudahkan gambaran proses validasi prediksi akan diuraikan seperti berikut. Sebagai contoh misalnya kita akan menyelenggarakan tes untuk menentukan validitas prediksi tes pada mahasiswa yang mengikuti mata kuliah matematika teknik. Maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan membuat tes item, kemudian memberikannya kepada grup mahasiswa potensi yang mengambil kuliah matematika teknik. Kemudian kita menunggu selama satu semester penuh pada grup mahasiswa yang hendak diprediksi pada mata kuliah yang sama dengan mengukur melalui nilai ujian akhir. Hasil korelasi antara dua set nilai akan menentukan validasi prediksi tes. Jika hasil korelasi menunjukkan koefisien korelasi tinggi, berarti tes mempunyai validitas prediksi tinggi.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mungkinkah seorang peneliti menggunakan prediksi dengan criterion kombinasi? Bila mungkin bagaimanakah caranya untuk mendapatkan validitas prediksi tes tersebut? Dalam hal ini peneliti dapat menggunakan persamaan kombinasi prediksi. Persamaan prediksi dapat dikembangkan misalnya dari skor individu pada. setiap tes, yang dimasukkan ke persamaan dan kemudian prospek mereka diprediksi. Untuk mencapai hal itu, persamaan validasi dibangun dengan cara skor individu pada setiap tes dimasukkan dalam persamaan, kemudian prospek mereka diprediksi. Karena validasi kegiatannya mencakup administrasi tes prediksi, pada sampel yang berbeda, termasuk dalam populasi dan kemudian mengembangkannya dalam persamaan yang baru maka pelaksanaan tes dengan menggunakan sampel yang berbeda adalah sangat perlu. Hal ini juga termasuk, ketika seorang peneliti menggunakan tes prediksi hanya menggunakan satu predictor.

Yang menarik antara validitas konkuren dengan validitas prediksi di antaranya adalah bahwa kedua validitas tersebut hampir sama cara pelaksanaannya. Perbedaan utama yang terjadi adalah dalam hal ketika pengukuran criterion. Dalam melakukan tes validasi konkuren pelaksanaan tes dapat dilakukan dalam waktu sama atau dengan penentuan predictor atau beda sedikit.

Dalam pelaksanaan tes validasi prediksi, salah satu harus menunggu sampai kriteria yang direncanakan terpenuhi, walaupun harus dengan menunggu waktu dan pengumpulan data yang kadang memerlukan waktu lama.

Isu yang muncul kemudian adalah dapatkah validasi konkuren digantikan posisinya dengan validitas prediksi? Pertanyaan itu muncul guna menghilangkan masalah yang menyangkut keharusan mengawasi jejak subjek. Jawaban pertanyaan tersebut, pada umumnya tergantung dari beberapa faktor seperti di antaranya: siapa yang membuat tes tersebut?; bagaimana tujuan tes direncanakan; kemudian tergantung pula dengan subjek yang dites.

Dalam kedua tes, baik konkuren maupun prediksi, yang mesti ada padanya adalah koefisien korelasi yang mungkin tinggi atau mungkin rendah. Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah seberapa tinggi dan seberapa rendah koefisien korelasi dalam suatu tes harus ada? Dalam hal ini, tidak ada pernyataan pasti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tetapi sebagai acuan, dapat digambarkan seperti berikut. Koefisien = 0,5 mungkin dapat diterima, jika hanya ada satu-satunya tes. Sebaliknya koefisien = 0,5 juga tidak diterima, jika ternyata ada tes prediksi lain yang sejenis dan mempunyai koefisien lebih tinggi.
Source : Sukardi, Ph.D., Metodologi Penelitian Pendidikan