Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa Al-Syari’ah Wa Al-Manhaj Karya Wahbah Al-Zukhailiy

(Corak Penyusunannya dan Kandungannya)

PENDAHULUAN

Suatu hal yang dapat membantu memahami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an adalah turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian yang menimpa umat Islam, selama ±23 tahun. Ayat yang turun kepada Nabi, selau membicarakan permasalahan yang ketika itu sedang dialami oleh umat Islam. Oleh karena itu, secara langsung Rasulullah dan para sahabatnya mempelajari makna yang dikandung Al-Qur’an. Rasulullah berupaya menjelaskan makna ayat yang global, menjelaskan pengertian yang masih samara, dan memecahkan berbagai problema yang mereka hadapi sehingga mereka tidak merasa ragu lagi terhadap kandungan Al-Qur’an. Ketika itu Rasulullah benar-benar berfungsi sebagai penyuluh yang mampu menunjukkan jalan yang lurus, sekaligus menjelaskan pengertian-pengertian agama yang sulit dicerna oleh para sahabat. Rasulullah juga sebagai penafsir Al-Qur-an dengan sunnah-sunnah beliau baik qauly maupun fi’liy.

Tradisi yang dilakukan oleh Nabi dalam rangka memahami Al-Qur’an tidak berhenti sampai dengan wafatnya Nabi, tapi dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’in al-tabi’in dan seterusnya sampai sekarang ini, hingga bermunculanlah tafsir-tafsir Al-Qur’an yang tidak dapat disebutkan lagi berapa banyaknya.

Seiring dengan perjalan waktu, tafsir terus berkembang, dan jumlah kitab-kitab tafsir terus bertambah dalam beraneka corak, sesuai latar belakang keahlian atau kecenderungan penulisnya masing-masing. Bagi mufassir yang tertarik dibidang hukum misalnya, maka ia akan melahirkan tafsir bercorak hukum atau fiqhi, sehingga penafsirnya bertemu dengan ayat-ayat hukum, dia akan berpanjang lebar menjelaskannya, bahkan sering kali mereka hanya menafsirkan ayat ahkam saja. Contoh dari kitab tafsir seperti ini adalah kitab Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Abu Abdullah Muhammad Ibn Ahmad ibn Abu Bakar ibn Farh Al-Qurthubi.

Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an turun dengan menggunakan bahasa Arab, sehingga kedudukan bahasa Arab dalam Islam memiliki nilai tersendiri dibandingkan dengan bahasa-bahasa lainnya. Meskipun ada yang beranggapan bahwa penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an sesungguhnya lebih banyak menyangkut masalah tekhnis penyampaian pesan daripada nilai. Penggunaan bahasa Arab untuk Al-Qur’an adalah wujud khusus dari ketentuan umum bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya, yaitu audience langsung seruan Rasul itu dalam menjalankan misi sucinya. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. kaumnya itu adalah masyarakat Arab, khususnya masyarakat Mekkah dan sekitarnya, sehingga bahasa Al-Qur-an pun sesungguhnya adalah bahasa Arab dialek penduduk Mekkah, yaitu dialek Quraisy.

Meskipun demikian, dari berbagai segi, bahasa Arab memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bahasa lain, misalnya saja dikatakan bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang terlengkap di antara bahasa-bahasa Semith. Kelengkapan bahasa ini dapat dilihat dari beberapa cirri. (1) bahasa Arab tidak hanya mencakup bunyi-bunyi yang terdapat dalam bahasa-bahasa Semith lain, tetapi bunyi lain tidak ada persamaannya dalam bahasa Semith, seperti bunyi ?a, ?al, gain, da. (2) bahasa rab memiliki kaedah-kaidah nahwu

Tafsir al-Munir adalah satu kitab tafsir yang menjadi kekayaan khazanah keilmuan tafsir yang ada.penafsirannya memiliki ciri tersendiri di bidang penafsiran yang memiliki corak tahlili. Begitu pula dengan kekhususannya dalam penafsiran-penafsiran yang bernuansa fiqh/hukum Islam dalam beberapa tafsir ayat-ayat al-Qur’an. Dan bahkan secara khusus dijelaskan kandungan fiqh di dalamnya.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Maka pembahasan khusus berkaitan dengan riba menurut pandangan Wahbah al-Zukhaili dalam kitab tafsir beliau. Untuk menyelami lebih jauh tentang penafsiran beliau, maka perlu dirumuskan beberapa bahasan masalah ke dalam sub-sub permasalahan, sbb ;

  1. Bagaimana sosok penulis tafsir al-munir ?
  2. Bagaimana pendangan Wahbah al-Zukhaili tentang konsep riba ?

PEMBAHASAN

Biografi Penulis

Beliau bernama lengkap DR. Wahbah al-Zuhaili dilahirkan di Damascus pada tahun 1932. awal pendidikan ibtidaiyah di kampong halamannya yang bernama al-milad, selanjutnya ke tingkat Tsanawiyah pada jurusan Syari’ah di Damascus dengan masa pendidikan sembilan tahun, sekitar tahun 1952. kemudian hijrah ke Kairo di Universitas al-Azhar pada jurusan syari’ah dengan memperoleh ijazah ‘aliyah di al-Azhar pada tahun 1956. dan menempuh pendidikan khusus pada tadris jurusan bahasa Arab di Universitas yang sama., sehingga beliau memperoleh ijazah tadris. Memperoleh magister  di Universitas Ainu Syam (1957), serta merih gelar doctor pada bidang hukum Islam tahun 1963.[1]

Beliau banyak berguru kepada beberapa guru ternama, diantaranya; Mahmud Yasin (Hadis Nabi), Hasan Syatih (Faraidh), Hasyim al-Khatib (Fiqhi Syafi’i), Luthfi Fayumiy (Ushul Fiqhi dan Mustalah al-hadis), Ahmad al-Simak (Ilmu Tajwid), Abu Hasan al-Kisab (Ilmu Nahwu Syaraf), Shadiq Habnakat al-Madaniy (Ilmu Tafsir). Demikian pula diantara guru-guru yang ada di Mesir, yaitu; Imam Mahmud Syaltut, Abdul Rahman Taj,  Isa Manun (Fiqh Perbandingan) Mahmud Abdul al-Dayim (Fqih Syafi’i), Hasan Wahdan (Usul Fiqhi), Muhammad Ali al-Sya’bi (Fiqh Ibadah), Muhammad Abu Zahra (Fiqh Muqaran dan Usul Fiqh).[2]

Riba dalam Pandangan Ulama

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara riba ini ini hukumnya haram. Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Di dalam Al-Qur’an, menurut Syekh Muhammad Mustafa al-Maragi (1881-1945; mufasir dari Mesir) proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT secara bertahap. Tahap pertama Allah SWT menunjukkan bahwa riba itu bersifat negative. Pernyataan ini disampaikan Allah SWT dalam surah ar-Rum (30) ayat 39 yang artinya: “dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah…” Ayat ini merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, yang menurut para mufassir ayat ini termasuk ayat makkiyah (ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah). Akan tetapi, ulama tafsir sepakat menyatakan bahwa ayat ini tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qutrubi (seorang mufassir) menyatakan bahwa Ibnu Abbas mengartikan riba dalam ayat ini dengan hadiah yang dilakukan orang-orang dengan mengharapkan imbalan berlebih. Menurutnya, riba dalam ayat ini termasuk riba mubah.

Pada tahap kedua, Allah SWT telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktek riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini disampaikan-Nya dalam surah an-NIsa (4) ayat 161 yang artinya: “dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah melarang daripadanya, dank arena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” Ayat ini, termasuk ayat madaniyah (yang diturunkan pada periode Madinah). Pada tahap ketiga, Allah SWT mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah SWT dalam surah Ali Imran (3) ayat 130 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…”

Pada tahap terakhir, Allah SWT menharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. Hal ini disampaikan melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 275, 276, dan 278. Dalam ayat 275 Allah SWT menyatakan bahwa jual beli sangat berbeda dengan riba, dalam 276 Allah SWT menyatakan mamusnahkan riba, dan dalam ayat 277 Allah SWT memerintahkan untuk meninggal segala bentuk riba yang masih ada. Keharaman riba secara total ini, menurut para ahli fikih, berkisar pada akhir tahun ke delapan atau awal tahun ke sembilan Hijriyah.

Alasan keharaman riba dalam sunah Rasulullah SAW di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, di antaranya adalah memakan riba. Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud) dikatakan bahwa Rasulullah SAW melaknat para pemakan riba, yang memberi makan dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya (HR. Abu Dawud, dan hadis yang sama juga diriwayatkan Muslim dari Jabir bin Abdullah.

Ulama fikih berbeda pendapat dalam menetapkan ilat (penyebab) yang menyebabkan keharaman riba fadl dan riba an-Nasi’ah. Menurut ulama Mazhab Hanafi dan salah satu riwayat Imam ahmad bin Hanbal, riba fadl ini hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dinilai ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba fadl. Misalnya seekor sapi yang berumur tiga tahun dijual dengan sapi yang berumur empat tahun. Dalam kasus seperti ini, sapi berumur empat tahun lebih besar dari yang berumur tiga tahun. Oleh sebab itu, kelebihan pada jual beli sapi seperti ini tidak termasuk riba fadl dan tidak diharamkan. Alasan mereka, sekalipun objek yang diperjual belikan adalah sama, tetapi nilainya sudah berbeda dan diperjualbelikan bukan dengan timbangan atau takaran.[3]

Pendapat mereka ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW yang artinya: “(Memperjualbelikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam (haruslah) sama, seimbang, dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh berlebih) asal dengan tunai” (HR. Muslimdari Ubadah bin as-Samit). Dua jenis pertama (emas dan perak), menurut mereka, diperjualbelikan dengan timbangan khusus (al-Wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan dengan cara kiloan (kilogram, al-kail). Dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda: “Jangan kamu memperjualbelikan emas dengan emas, kecuali dengan seimbang (sama beratnya) dan janganlah kamu melebihkan yang satu dari yang lainnya, dan jangan pula kamu jual sesuatu yang ada dengan yang belum ada (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).

Menurut mereka, dalam berjual beli, prinsip keadilan dan keseimbangan harus ada. Kalau tidak adil dan seimbang, maka akan muncul kelaliman. Oleh sebab itu, kelebihan salah satu barang dalam jual beli barang sejenis merupakan kelebihan tanpa imbalan yang sangat merugikan pihak lain. Praktek seperti ini menjurus kepada kelaliman.[4]

Bunga bank. Dalam pembahasan ulama fikih klasik tidak dijumpai pembahasan tentang kaitan antara bunga bank dan riba, karena system perekonomian dengan bank belum dikenal di zaman mereka. Pembahasan tentang bunga bank, apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literature fikih kontemporer. Wahbah az-Zuhaili (tokoh fikih Suriah) membahas hukum bunga bank melalui kacamata riba dalam terminology ulama klasik dalam berbagai mazhab fikih. Menurutnya, apabila standar riba yang digunakan adalah pandangan ulama mazhab fikih klasik, maka bunga bank termasuk riba an-nasi’ah. Karena menurutnya, bunga bank tersebut termasuk kelebihan uang tanpa imbalan dari pihak penerima dengan menggunakan tenggang waktu. Hal ini menurutnya, persis seperti yang dibahas ulama fikih klasik. Oleh sebab itu, bunga bank termasuk riba yang diharamkan syarak.

Demikian juga pembahasan riba yang dilakukan oleh Majma al-Buhus al-Islamiyyah di Cairo. Sekalipun mereka mengakui bahwa sistem perekonomian suatu Negara tidak bisa maju tanpa bank dan bank belum dikenal di masa Rasulullah SAW, namun karena sifat bunga itu merupakan kelebihan dari pokok utang yang tidak ada imbalan bagi orang yang berpiutang dan sering menjurus kepada sifat ad’afa muda’afah (berlipat ganda) apabila utang tidak dibayar tepat waktu, maka lembaga inipun menetapkan bahwa bunga bank termasuk kepada riba yang diharamkan syarak.

Konsep riba dalam Kitab Tafsir al-Munir

Riba Terdiri dari huruf Ra dan Ba, dan huruf Mu’tal akhir, hanya memiliki satu makna yaitu: al;-Ziyadat (tambahan), al-Nama’ (tumbuh, berkembang).[5] Penjelasan al-Suyuti tentang pengharaman dan kandungan hukum bagi kegiatan riba, yaitu segala yang terkait dengan bentuk dan pelaksanaan terjadinya riba dianggap termasuk dalam ayat QS. Al-Baqarah (2): 275, yaitu orang-orang yang termasuk dalam kategori memakan riba. Bahkan orang-orang yang mengambil manfaat dari kegiatan riba itu sendiri, dan hal ini sudah sangat sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yaitu menjaga terjadinya kerusakan asas-asas kehidupan akibat penyelenggaraan kegiatan riba.

Pendapat ini dinukilkan pada riwayat yaitu hadis Nabi yang berbunyi, sebagai berikut:

??? ???? ???? ??? ???? ???? ???? ??? ????? ?????? ?????? ? ?? ????

Semangat yang dilakukan untuik melakukan penegakan riba di masyarakat secara rinci juga dikemukakan dalam penjelasan kitab Tafsir al-Munir. Seperti yang dijelaskan pada tafsir dan penjelasannya di QS. Al-Baqarah ayat yang sama, dijelaskan bahwa kategori orang yang mempraktekkan riba adalah yaitu mengambil riba secara langsung, orang-orang yang menghalalkan kecintaan pada harta dan melakukannya (cinta harta) dengan hawa nafsu.

Perbedaan yang jelas antara jual-beli dengan riba wahbah mengutip pendapat Fah al-Razi dan kitab tafsir Bahr al-Muhith, bahwa jual-beli tidak tercapai/terjadi kecuali ada kebutuhan yaitu kedua belah pihak (pembeli dan penjual) saling merelakan dan tidak ada kecurangan di dalamnya. Adapun riba yaitu kebalikan dari al-Baiy, dan tidak adanya perjumpaan antara dua belah pihak dan masing-masing tidak rela.

Pendapat di atas dikonkritkan oleh penafsir yaitu seorang yang membeli sesuatu makanan, dan membayar sesuai dengan harganya, dan diapun membutuhkannya baik untuk dimakan, atau untuk yang lain, dan bermanfaat bagi kehidupan dan tubuhnya. Adapun yang meribakan sesuatu, maka ia tidak melaksanakan akad        yaitu aqad saling menyepakati, dan juga mengambil tambahan dari pokok utang waktu tiba masa pembayaran, dengan tidak ada pertemuan.

Masyarakat Arab sebelum turunnya ayat, banyak mempraktekkan kegiatan ekonomi yang sudah mereka sepakati diantara mereka, yaitu menambahkan pembayaran pada waktu pembayaran utang yang lain tiba, sebagaimana dasar utang yang diaqadkan. Dan kegiatan ini sudah dianggap biasa, dan tidak mengetahui praktek ekonomi yang lain, kecuali praktek tersebut. Dari gambaran di atas tentu sudah memiliki pengetahuan yang keliru serta mempraktekkan kebatilan di tengah masyarakat, apalagi Arab umumnya mempersamakan riba dan jual-beli.

Kitab Tafsir al-Munir menyajikan pandangan beberapa ulama fiqh yang tidak hanya kalangan Sunni, tetapi pandangan al-Zahiri. Pandangan tentang riba didasarkan kedua hadis ini ulama mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa yang menjadi ilat keharaman riba fadl itu adalah kelebihan barang atau harga dari benda sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur al-Wazn dan al-kail. Berdasarkan ilat ini, mereka tidak mengharamkan kelebihan pada jualbeli rumah, tanah, hewan, dan benda lain yang dijual dengan satuan, sekalipun sejenis, karena benda-benda seperti ini dijual berdasarkan nilainya, bukan berdasarkan al-wazn dan al-kail.

Lebih lanjut ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa dasar keharaman riba fadl ini dititikberatkan kepada sadd az-zari’ah (az-Zari’ah) yaitu menutup segala kemungkinan yang membawa segala riba yang berakibat mudarat bagi umat manusia.

Adapun ilat dalam keharaman riba an-Nasi’ah, menurut ulama mazhab Hanafi, adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Misalnya, A berutang uang kepada B sejumlah Rp 100.000 yang pembayarannya dilakukan bulan depan dan dengan syarat pengembalian utang tersebut dilebihkan menjadi Rp 150.000. Kelebihan uang dengan tenggang waktu ini disebut dengan riba an-Nasi’ah. Unsur kelebihan pembayaran yang bisa berlipat ganda apabila utang tidak bisa dibayar pada saat jatuh tempo, menurut ulama Mazhab Hanafi, merupakan suatu kelaliman dalam muamalah. Kelaliman, bagaimanapun bentuknya, menurut mereka, adalah haram. Itulah sebabnya Allah SWT menyatakan di akhir surah al-Baqarah (2) ayat 279 dari rangkaian ayat riba Allah SWT mengatakan: “…kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendirian bahwa ilat keharaman riba fadl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk, seperti cincin atau kalung, maupun belum, seperti emas batangan. Oleh sebab itu, apapun bentuk emas dan perak, apabila sejenis, tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Misalnya, apabila emas batangan dijual dengan emas yang telah dibentuk menjadi cincin atau kalung, tidak boleh dilebihkan harga yang satu atas yang lain. Lima gram cincin emas harus dijual dengan lima gram emas batangan. Jika dilebihkan harga salah satu diantaranya, maka kelebihan itu termasuk riba fadl, dan apabila itu dikaitkan dengan kelebihan pembayaran tunda (bertenggang waktu), maka menjadi riba an-Nasi’ah.

Dalam menetapkan ilat riba an-Nasi’ah dan riba fadl pada benda-benda jenis makanan, terdapat perbedaan pendapat ulama Mazhab Maliki dengan Syafi’i. Menurut ulama Mazhab Maliki, ilat jenis makanan yang terdapat dalam riba an-Nasi’ah, menurut mereka berbeda dengan ilat yang terdapat dalam riba fadl. Dalam riba an-Nasi’ah, ilat pada benda jenis makanan adalah karena sifatnya bisa dkonsumsi. Apabila satu jenis makanan dijual dengan jenis makanan yang sama, maka harus satu takaran, seimbang dan adil. Dengan prinsip ini, maka riba an-Nasi’ah bisa berlaku pada seluruh jenis makanan, seperti beras, gandum, apel, pir, semangka dan lain-lain.

Adapun ilat pada riba fadl menurut ulama Mazhab Maliki ilatnya adalah “makanan pokok dan tahan lama”, sekalipum ulama Mazhab Maliki tidak membatasi waktu tahan lama yang dimaksud. Alas an mereka adalah agar umat manusia tidak tertipu dan harta mereka terpelihara dari tindakan spekulan. Tujuan seperti ini, menurut mereka, paling tidak dan terutama berkaitan erat dengan masalah makanan pokok setiap manusia. Oleh sebab itu, untuk memelihara makanan pokok manusia tersebut, diperlukan suatu hukum untuk mengantisipasi agar tidak terjadi unsure penipuan yang berlebihan, yaitu dengan mengharamkan riba fadl pada makanan pokok tersebut, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ubadah bin as-Samit di atas.

Berbeda dengan pendapat ulama Mazhab Maliki di atas, ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa ilat riba pada jenis makanan adalah semata-mata karena benda itu bersifat makanan, baik makanan pokok, makanan ringan (buah-buahan dan lain sebagainya), maupun makanan untuk obat, yang semuanya bertujuan untuk menjaga kesehatan tubuh. Apabila kelebihan pembayaran pada jenis makanan ini dibarengi dengan tenggang waktu, maka menjadi riba an-Nasi’ah, sedangkan apabila tidak dikaitkan tenggang waktu, kelebihan harga dari salah satu benda sejenis yang diperjualbelikan menjadi riba fadl. Oleh sebab itu, seluruh jenis makanan apabila diperjualbelikan secara barter harus seimbang dan tunai. Apabila berbeda jenis, boleh diperjualbelikan sesuai dengan keinginan pemilik masing-masing. Artinya, jenis yang satu bisa lebih mahal dari jenis yang lain.

Alasan mereka, empat jenis benda yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ubadah bin as-Samit di atas, tidak membedakan jenis makanan tersebut, apakah mengenyangkan, tahan lama, atau makanan pokok. Yang diketahui secara umum, menurut mereka, keempat jenis benda itu adalah jenis makanan. Oleh sebab itu, menjadikan “makanan” sebagai ilat terjadinya riba fadl dalam benda-benda yang disebutkan dalam hadis itu lebih tepat daripada mengaitkannya dengan makanan pokok dan tahan lama, atau jenis benda yang ditimbang atau dikilo.

Ilat riba dikalangan ulama Mazhab Hanbali terdapat tiga riwayat, yaitu: 1) al-wazn dan al-kail, seperti yang dikemukakan ulama Mazhab Hanafi; 2) untuk jenis makanan sama dengan pendapat ulama Mazhab Syafi’i, yaitu karena sifat “makanannya”, sedangkan untuk emas dan perak karena keduanya merupakan harga dari sesuatu; 3) sifat al-wazn dan al-kail untuk jenis makakan dan “harga dari sesuatu” bagi emas dan perak. Menurut mereka, menjadikan sifat alwazn dan al-kail sebagai ilat riba, baik an-Nasi’ah maupun fadl, sejalan dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Tidak (ada) riba terhadap sesuatu yang dimakan atau diminum, kecuali kepada sesuatu yang dikiloi (kail) dan ditimbang (wazn)” (HR. ad-Daruqutni dari Sa’id bin Musayyab).

Menurut ulama Mazhab Az-Zahiri, riba itu tidak ada ilatnya. Hal ini sejalan dengan prinsip mereka yang menolak mencari-cari ilat (at-ta’lil) suatu hukum yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, apabila Rasulullah SAW telah menyatakan berlaku riba pada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ubadah bin as-Samit di atas, maka seorang mujtahid cukup menyatakan riba hanya pada enam jenis itu, tanpa mencari tanpa mencari apa ilat keharamannya. Implikasi dari prinsip mereka ini, di luar jenis yang enam itu tidak berlaku riba.

Wahbah menyuguhkan sistimatika penulisan tafsir  yang jelas dan susunan bab yang runtut. Demikian pula dengan kitab-kitab rujukan yang valid. Pendekatan yang digunakan dalam kitab tafsir beliau adalah pendekatan muqaran yaitu suatu pendekatan yang membandingkan berbagai pendapat terhadap suatu persoalan. Wahbah tidak hanya membandingkan pendapat di kalangan ulama sunni saja, seperti mazhab; Maliki, Hanbali, Syafi’I, dan Hanafi. Tetapi juga merujuk pada kitab-kitab fiqhi dari kelompok Syi’ah.

Keistimewaan tafsir al-Munir

Kitab Tafisr al-Munir fi al-qaidah wa al-syari’ah al-Manhaj menyajikan berbagai ilmu yang berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an. Secara umum wahbah dalam menguraikan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan mengelompokkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urutan ayat dan kesamaan topic yang dibahas. Demikian juga dengan uraian-uraian tafsir yang didahului dengan I’rab, balaghah, Mufrada lughawiah, munasabah antara ayat sebelum dan ayat sesudahnya. Asbab al-Nuzul tafsir dan penjelasan umum, serta dasar-dasar fiqhi atau hukum-hukum yang mendasari ayat-ayat Al-Qur’an.

Khusus yang berkaitan dengan persoalan riba, Wahbah sangat melakukan upaya yang maksimal agar dasar dan pengetahuan tentang riba dapat tersajikan secara sempurna. Yaitu mulai tentang orang-orang yang dikategorikan melakukan praktek riba, Wahbah lalu menunjuk pada riwayat yang sahih yaitu dengan mengutip hadis; Ahmad ibn Hambal, Abu Daud, al-Tirmidzi dan Ibnu Majah yang bersumber dari ibnu Mas’ud sebagaimana kutipan hadisnya:

??? ???? ???? ??? ???? ???? ???? ??? ????? ?????? ?????? ? ?? ????

Selanjutnya, diuraikan tentang penyamaan jual beli dengan riba oleh orang-orang Arab dimasa sebelum turunnya ayat al-Qur’an. Wahbah mengomentari dengan menggali latar  belakang sejarah Arab dan praktek-praktek ekonomi yang mereka gunakan, sehingga muncul persepsi masyarakat untuk mempersamakan jual beli dengan riba. Bahkan Wahbah menguraikan uraian pendapat-pendapat ahli tafsir, khususnya jumhur tafsir yang menjelaskan tentang lapaz??????  ?? . lalu beliau mengutip pendapat Ibnu Abbas tentang

PENUTUP

Kesimpulan

Kitab tafsir al-Munir wa al-aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, menyajikan prinsip-prinsip hukum/fiqh Islam dalam penafsiran-penafsiran, demikian pula dengan upaya wahbah al-Zukhaili untuk membangun kesadaran secara menyeluruh kepada umat Islam agar menyelami ajaran dan dasar Islam yang memiliki ajaran yang sempurna, termasuk untuk membangun masyarakat dari segala keniscvayaan di dunia dengan memegang prinsip ekonomi yang Islami. Sehingga dapat kemaksmuran di dunia, lebih lagi surga dalam kehidupan akhirat kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Internet, Udhwa al-Majami’ al-Fiqhiyah,

Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid III  Jakarta; Press Indonesia, 1998.

Abi husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariah, Maqayis al-Lughah Beirut; Dar Ihya’ al-Turats al-Arabiy 2001

Wahbah Al Zuhaili, Tafsir al Munir wa al Aqidah wa Al Syari’ah wa al Manhaj Dar al Fikr, Beirut. 1998.

 

 


[1] Internet, Udhwa al-Majami’ al-Fiqhiyah, h.1

[2] Ibid.,h.3-4

[3] Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid III ( Jakarta; Press Indonesia, 1998) h. 1497

[4] Ibid., h. 1499

[5]Abi husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariah, Maqayis al-Lughah (Beirut; Dar Ihya’ al-Turats al-Arabiy 2001) h 419.