Metode Pengelolaan, Pengurangan dan Penyelesaian Konflik

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bab besar ini mendiskusikan analisis konflik dalam dua aliran besar  ilmu-ilmu sosial ,yaitu tradisi konflik stuktural dan kritis. Dua tradisi ini berakar dalam tradisi positivisme dan kritis. Fakta akademisnya, analisis konflik dalam ilmu sosial memang selalu didominasi oleh positivisme dan ilmu sosial kritik. Aliran humanisme-kultural tidak begitu populer sebagai kajian konflik. Aliran humanisme kultural-historis heurmenetik serinkali dipandang hanya menelah apa-apa saja yang dipandang sebagai realitas kultural.sebelumnya, menjadi cukup penting melakukan pemetaan teori konflik yang lahir dari tradisi positivisme dan krititis.

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini, adalah sebagai berikut:

  1. Apa yang di maksud dengan definisi konflik?
  2. Bagamaina perubahan pandagan terhadap konlik ?
  3. Bagaimana metode pengelolaan konflik ?
  4. Bagaimana metode pengurangan konflik?
  5. Bagaimana metode penyelesaian konflik?
  6. Apa yang dimaksud dengan konflik struktural?
  7. Apa yang dimaksud dengan konflik ciri dan staf?
  8. Bagaimana penanggulangan konflik

Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan  makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui tentang sebenarnya besar pengetahuan kami tentang manajemen konflik
  2. Untuk mengetahui tentang perubahan pandangan terhadap konflik
  3. Untuk mengetahui tentang penanggulangan konflik
  4. Untuk mengetahui tentang metode pengurangan konflik
  5. Untuk mengetahui penyelesaian konflik
  6. Untuk mengetahui konflik struktural
  7. Untuk mengetahui konflik ciri dan staf

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi Konflik

Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok atau organisasi, mengingat adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan dalam bidang manajemen, maka adalah rasional untuk menduga akan timbulnya perbedaan-perbedaan pendapat keyakinan-keyakinan serta ide-ide.

Di samping itu perlu pula diingat bahwa apabila orang-orang bekerja sama erat satu sama lain dan khususnya dalam rangka upaya mengajar sasaran-sasaran umum, maka cukup beralasan untuk mengasumsi bahwa dengan berlangsungnya waktu yang cukup lama, pasti akan timbul perbedaan-perbedaan pendapat antara mereka.

Mengingat bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka approach yang baik untuk diterapkan para manajer adalah pendekatan mencoba memanfaatkan konflik. Demikian rupa sehingga ia tepat serta efektif untuk mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan.

Pendekatan konflik sebagai bagian normal dari perilaku dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk memproses dan mencapai perubahan-perubahan yang dihendaki.

Banyak definisi tentang konflik yang diberikan oleh ahli manajemen. Hal ini tergantung pada sudut tinjauan yang digunakan dan persepsi para ahli tersebut tentang konflik dalam organisasi. Namun, di antara makna-makna yang berbeda itu nampak ada suatu kesepakatan, bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam hal ini, tujuan, status, dan budaya.

Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, konflik merupakan suatu gejala dimana individu atau kelompok menunjukkan sikap atau perilaku ‘bermusuhan’ terhadap individu atau kelompok  lain, sehingga mempengaruhi kinerja dari salah satu atas semua pihak yang terlibat.

Keberadaan konflik dalam organisasi, menurut Robbin (1996), ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari bahwa telah terjadi konflik di dalam organisasi, maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan  bahwa di dalam organisasi telah  terjadi konflik, maka konflik tersebut  menjadi suatu kenyataan.

Pandangan Terhadap Konflik

Manajer senantiasa mengantisipasi perubahan-perubahan dalam lingkungan akan mensyaratkan penyesuaian-penyesuaian desain organisasi diwaktu yang akan datang. Perubahan-perubahan dalam  lingkungan organisasi dapat disebabkan oleh kekuatan internal dan kekuatan eksternal. Berbagai kekuatan eksternal dapat menekan organisasi untuk mengubah tujuan, kebijakan manajer sikap karyawan, strategi dan teknologi  baru juga dapat merubah organisasi.

@ Cara penanganan perubahan

Cara menangani perubahan organisasi memerlukan pendekatan. Cara pertama adalah konsep perubahan reaktif dan yang kedua program perubahan yang direncanakan (Planed change). Pada cara pertama biayanya murah dan sederhana serta ditangani secara cepat, dimana manajer akan memberikan reaksi setelah masalah terjadi. Misalnya bila peraturan pemerintahan baru mensyaratkan perusahaan untuk mempunyai perlindungan terhadap kebakaran mungkin manajer membeli alat-alat kebakaran.

Pendekatan yang kedua atau juga disebut proses produktif, Thomas dan Bennis mendefinisikan perubahan yang direncanakan sebagai  perencanaan dan implementasi inovasi struktural, kebijaksanaan secara sengaja. Pendekatan  ini tepat bila keseluruhan atau  sebagian besar satuan organisasi menyiapkan diri untuk menyesuaikan dengan perubahan.

@ Penolakan terhadap perubahan

Ada tiga sumber penolakan terhadap perubahan yaitu:

1)      Ketidakpastian tentang akibat dan pengaruh perubahan

2)      Ketidakpastian untuk melepaskan keuntungan-keuntungan yang ada

3)      Pengetahuan akan kelemahan-kelemahan dalam perubahan yang diusulkan.

@ Proses pengelolaan perubahan

Proses perubahan harus mencakup dua gagasan dasar untuk mencapai kualifikasi organisasi. Pertama ada retribusi  kekuasaan dalam struktur organisasi, kedua retribusi ini dihasilkan dari proses perubahan yang bersifat pengembangan.

Pengubahan struktur organisasi menyangkut modifikasi dan pengaturan sistem internal, seperti acuan kerja, ukuran dan komposisi kelompok kerja, sistem komunikasi, hubungan-hubungan tanggung jawab atau wewenang. Pendekatan struktural dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari: pertama melalui aplikasi prinsip-prinsip perancangan organisasi klasik. Pendekatan ini berusaha untuk memperbaiki penciptaan pembagian kerja yang tepat dari tanggung jawab jabatan para anggota organisis, pengubahan tentang manajemen, deskripsi jabatan dan sebagainya.

Kedua desentralisasi. Hal ini didasarkan pada penciptan satuan-satuan organisasi yang lebih kecil dan dapat berdiri sendiri dan memutuskan perhatian pada kegiatan yang berorientasi tinggi. Hasilnya perbaikan prestasi kerja. Ketiga modifikasi aliran kerja dalam organisasi. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa aliran kerja dan pengelompokan keahlian yang tepat akan berakibat keunikan produktivitas secara langsung dan cenderung memperbaiki semangat dan kepuasan kerja.

METODE PENGELOLAAN KONFLIK

Metode Stimulasi Konflik

Metode stimulasi konflik digunakan untuk menimbulkan rangsangan karyawan karena karyawan pasif yang disebabkan oleh situasi dimana konflik terlalu rendah. Rintangan semacam ini harus diatasi oleh manajer untuk merangsang konflik yang produktif.

Metode stimulasi konflik meliputi 1) pemasukan atau  penempatan orang luar ke dalam kelompok 2) penyusunan kembali organisasi, 3) penawaran bonus, pembayaran intensif dan penghargaan untuk mendorong persiapan, 4) pemilihan manajer-manajer yang tepat dan 5) perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan.

METODE PENGURANGAN KONFLIK

Biasanya para manajer lebih mementingkan upaya mengurangi konflik dari pada upaya menstimulasi konflik-konflik. Metode pengurangan konflik mengurangi antagonisme yang timbul karena konflik. Jadi, metode-metode tersebut manajer konflik dengan jalan “mendinginkan situasi yang panas”. Tetapi, mereka sama sekali tidak mempersoalkan kausa yang menyebabkan timbulnya konflik orisinal tersebut.

Ingat contoh eksperimen yang dilakukan oleh sherief dan kawan-kawannya,  yang suatu konflik pada kamp anak-anak muda tersebut menjadi makin intensip dan disruptif, menerapkan eksperimen-eksperimen berupa penerapan mereka aneka macam cara untuk mengembalikan harmoni antara kelompok-kelompok yang ada.

Pertama-tama mereka mencoba menerapkan tiga macam metode yang ternyata tidak efektif sama sekali.

  1. Mereka menyediakan informasi kepada masing-masing kelompok tentang kelompok lain. Akan tetapi tersebut demikian bertentangan dengan impresi negatif yang telah muncul dalam pikiran-pikiran anak-anak muda tersebut, sehingga mereka menolaknya
  2. Mereka memperbanyak kontak-kontak yang menyenangkan antara kelompok-kelompok yang ada, dengan  jalan menyuruh mereka makan bersama dan menonton film, tetapi ternyata friksi semakin meningkat, sewaktu kelompok-kelompok yang bersaing mendesak-desak anggota lain dari bangku-bangku duduk, dan mereka saling mengejek.
  3. Mereka meminta agar para pemimpin kelompok mengadakan perundingan dan memberikan informasi positif tentang masing-masing kelompok yang ada. Tetapi ternyata bahwa para pemimpin tersebut merasa bahwa mereka akan kehilangan muka apabila mereka mencoba menyelesaikan perbedaan-perbedaan antara kelompok-kelompok yang ada.

Akhirnya ternyata bahwa dua buah metode yang diterapkan memberikan hasil yang diharapkan.

Pada pendekatan pertama yang bersifat efektif, para periset mensubtitusi tujuan-tujuan luhur (superior) yang diterima oleh kelompok-kelompok yang ada sebagai pengganti tujuan-tujuan kompetitif yang menyebabkan mereka terpisah satu sama lain. Sebagai contoh dikatakan kepada anak-anak muda tersebut bahwa kamp tersebut tidak mampu menyewa project film dari luar, karena kekurangan dana. Spontan kedua kelompok berpatungan dalam hal pengumpulan uang untuk tujuan tersebut dan ternyata bahwa upaya bersama mereka berhasil meredakan tingkat konflik yang terjadi.

Metode efektif kedua adalah mempersatukan kelompok-kelompok yang ada dengan jalan mengadakan menghadapkan mereka dengan sebuah bahaya yang mengancam mereka semua atau ‘musuh’  bersama yang dihadapi oleh mereka.

Kelompok-kelompok secara terpisah, tidak mampu menarik truk yang mengangkut mereka ketempat reparasi, tetapi, dengan bekerja sama hal itu dapat dilaksanakan dengan baiknya. Tindakan kerjasama dan sikap persahabatan antara anggota-anggota kelompok yang ada.

Metode ini mengurangi permusuhan (antagonis) yang ditimbulkan oleh konflik dengan mengelola tingkat konflik melalui pendinginan suasana akan tetapi tidak berurusan dengan masalah yang pada awalnya menimbulkan konflik itu.

Metode pertama adalah mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih bisa diterima kedua kelompok metode kedua mempersatukan kelompok tersebut untuk menghadapi ancaman atau musuh yang sama.

METODE PENYELESAIAN KONFLIK

Metode ini dapat terjadi melalui cara-cara 1) kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik; 2)  penenangan (smolling) yaitu cara yang lebih diplomatis; 3)  penghindaran (avoidance) dimana manajer menghindari untuk mengambil posisi yang tegas; 4) penentuan melalui suara terbanyak (majority rule) mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok prosedur yang adil.

Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun sesungguhnya teori konflik  sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme Ortodox. Seperti Ralp Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperality coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja dari pada modal dan buruh.

Dahendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan  memaksakan dari yang lainnya.

Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan ‘authority” dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif  untuk menentukan atau memperlakukan  yang lain, sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.

Revolusi dan konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya kelompok peran baru memegang kunci kekuasaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. sehingga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam  bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.

Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di  dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan.

KONFLIK STRUKTURAL

  1. Konflik hierarki, konflik yang terjadi diberbagai tingkatan organisasi. Contoh konflik manajemen puncak dengan manajemen menengah, konflik antar  manajer dengan karyawan
  2. Konflik fungsional, konflik yang terjadi antara departemen fungsional organisasi. Contoh konflik antar bagian produksi dengan bagian pemasaran dengan bagian produksi dan sebagainya.
  3. Konflik linistaf konflik yang terjadi antar  lini dengan staf karena ada perbedaan-perbedaan di antara keduanya
  4. Konflik formalinformal, konflik yang terjadi antara organisasi formal dengan informal

KONFLIK  LINI DAN STAF

Pembahasan kita tentang metode-metode untuk menyelesaikan

Bentuk umum dari konflik organisasi adalah konflik antar para anggota lini dan staf. Perbedaan ini memungkinkan para anggota lini dan staf untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing secara efektif.

Pandangan ini:

Para anggota lini berpendapat bahwa para anggota staf mempunyai empat keluarga:

  1. Staf melampaui wewenang
  2. Staf tidak memberikan advis yang sehat
  3. Staf menumpang keberhasilan lini
  4. Staf mempunyai perspektif yang sempit

Pandangan staf

  1. Lini tidak mau meminta bantuan staf pada waktu yang tepat
  2. Lini menolak gagasan baru
  3. Memberi wewenang yang terlalu kecil kepada staf

Penanggulangan konflik  lini dan staf antara lain;

  1. Penegasan tentang tanggung jawab
  2. Pengintegrasian kegiatan-kegiatan
  3. Mengajarkan lini untuk menggunakan staf
  4. Mendapatkan pertanggungjawaban staf atas hasil-hasil.

PENGELOLAAN KONFLIK

Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflic Handling Styles)

Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik yang berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2.x2. Pada sumbu vertikal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.

@ Integrating (problem solving)

Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengindentifikasi masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan  isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham sistem nilai yang berbeda. kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu  yang lama dalam penyelesaian masalah.

@ Obliging (smoothing)

Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smoothing (melicinkan), karena berupaya mengurang perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat  sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.

@ Dominating (forcing)

Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah’. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.

@ Avoiding

Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sulit atau ‘buruk’. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situation). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.

@ Compromising

Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain.  Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give and tak approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. misalnya dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.

Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan sebagian saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik. Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain; 1) latar belakang terjadinya konflik; 2) kategori pihak-pihak yang terlibat dalam konflik; apakah antar individu, individu dengan kelompok, atau antar kelompok dan organisasi; 3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan; dan 4) kompleksitas organisasi.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kualitas pelayanan konflik dipengaruhi oleh tingkat konflik yang ada dalam organisasi. Faktor-faktor yang menjadi penentu tingginya kualitas pelayanan, misalnya; sikap responsif dan empatik dari para aparatur pemerintah akan sulit muncul  jika di dalam organisasi terdapat tingkat konflik yang tinggi atau sebaliknya konflik yang terlalu rendah.

Sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang konflik yang ada. Para pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan membelah-belah organisasi dan menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan indikasi tentang adanya suatu ketidaberasan dalam organisasi, dan adanya prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.

Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kami sendiri, serta dapat dijadikan sebagai bahan referensi mahasiswa lain. Trims.

DAFTAR PUSTAKA

Ronald J. Ebert dan Rikcy W. Griffin. Bussines Essential. International Edition, Prentice Hall, 2000.

Stuart Crainner. Key Management. Creating and Leading the Competitive Organization. Financial Times Prentice Hall, 1998.

Ernie Tisnawati Sule &  Kurniawan Saefullah. Pengantar Manajemen. Edisi Pertama, Cet. 3 Kencana Prenada Media Group. 2005.

Robbert Kreitner. Management. Edition. Houngton Mifflin Company. 1992.

Stephen P. Robbins. Managing Today, Edition, Prentice Hall International. 2000.

Eric N. Berkowitz, et.al. Marketing. Edition. Irwin McGraw Hill 2000

Sadono Sukirno, Pengantar Bisnis, Edisi Pertama, Kencana. 2004

William, E. Hallal Berret. Koehler. The New Management Bringing Democracy and Markets Inside Organization. Publisher, Inc. 1998.