Agama dan Sistem Kepercayaan Masyarakat Bajoe

BAB I

PENDAHULUAN

Latar  Belakang

Dalam penggolongan masyarakat di Indonesia secara praktis, yaitu masyarakat suku bangsa yang beranekaragam, masyarakat golongan minoritas dari berbagai negara lain, dan masyarakat terasing, orang Bajou (nama-nama lainnya seperti orang laut, orang perahu, orang sama, orang seletar, dan masih banyak istilah, etnografis lainnya). Termasuk di dalam golongan masyarakat yang diupayakan membangun, pada kenyataannya kelompok-kelompok masyarakat yang jumlah penduduknya cukup besar di kepulauan Indonesia ini kurang sekali ikut terlibat dalam proses pembangunan bangsa dan menikmati hasil-hasil pembangunan pembangunan tersebut. Ini terjadi bukan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadapnya, melainkan karena pemerintah merasa sulit menyalurkan bantuan dan menentukan langkah-langkah secara tepat dalam program pembangunan. Misalnya bagi orang Bajou, melaksanakan program pemukiman kembali masyarakat terasing (PKMT)  dan berbagai macam pelatihan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusianya tidaklah semudah dengan yang diperuntukkan bagi kelompok-kelompok masyarakat terasing penghuni daratan.

Kesulitan dan keengganan pemerintah menentukan langkah-langkah dan mengalokasikan bantuan dana terhadap kelompok-kelompok masyarakat Bajou yang tersebar meluas yang tergolong terbelakang dalam berbagai bidang kehidupan, di latarbelakangi oleh pengetahuan kita yang secara stereotif ditujukan kepada orang Bajou dimana-mana, bahwa sikap mereka itu adalah statis, hanya suku hidup di laut, kurang suka berinovasi, bersikap tertutup, dan tak mampu beradaptasi secara fisik, geografis, sosial dan budaya dengan penduduk desa yang hidup menetap di darat.

Dalam bidang kehidupan ekonomi, orang Bajou juga dianggap tak mampu memperluas atau menggantikan produksi laut mereka yang tunggal dengan produksi atau komoditi yang bersumber dari berbagai sektor yang dikelola di darat.

BAB II

PEMBAHASAN

Agama dan Sistem Kepercayaan

Berdasarkan arsip kependudukan di Kantor Desa Bajoe, disamping keterangan yang diperoleh dari kepala Dusun Bajo dan Abdul Azis (mantan Kepala Dusun Bajo) diketahui, bahwa seluruh warga masyarakat Bajou dilokasi penelitian adalah penganut agama Islam (wawancara, 10 September 1995). Sehubungan dengan itu wilayah Dusun Bajo tampak lengang di hari Jum’at. Karena hampir semua laki-laki dewasa dan  kaum remaja putera melakukan shalat berjamaah di mesjid. Selain itu, hampir semua informan yang berhasil diwawancarai dalam kaitan penelitian ini telaten melakukan shalat lima waktu di rumah masing-masing.

Ketaatan warga masyarakat Bajou melakukan ibadah shalat, di satu sisi menunjukkan ketaatan mereka dalam rangka pelaksanaan sebagian dari syari’at agama Islam yang dianutnya. Namun di lain sisi warga masyarakat bersangkutan masih tetap percaya kepada makhluk-makhluk gaib dan kekuatan sakti (supernatural power) yang konon kabarnya sangat menentukan keselamatan diri maupun perolehan rezeki bagi pakkaja (nelayan).

Hasil penelitian Abu Hamid, dkk (1986: 44) mengungkap antara lain bahwa orang Bajou percaya akan adanya pengngorong sappa (penjaga karang). Yang bertempat tinggal digugusan-gugusan karang dari seluruh gugusan karang di sekitar lokasi penangkapan dan tabu mendekatinya yaitu Samoa dan Lamasia.

Pada umumnya warga masyarakat Dusun  Bajou sampai sekarang membenarkan dan mendukung hasil penelitian tersebut di atas, bahkan Abdul Azis (informan) menambahkan bahwa tempat yang keramat itu bukan hanya Samoa dan Lamasia, tetapi lebih menyeramkan lagi keadaan digugusan karang yang bernama Cimborong. Konon kabarnya di tempat itu seringkali nelayan mendengar kokok ayam yang menambahnya di malam hari, padahal jelas ditempat itu tidak ada ayam maupun semak belukar. Jadi nelayan setempat percaya bahwa penunggu wilayah Cimborong itu adalah ular besar yang dikenal sebagai tampusisi.

Dari nelayan Kadir (informan) diperoleh pula informasi bahwa: memang Allah taala jugalah yang menciptakan seluruh alam ini. Tetapi segala sesuatu (unsur alam) masing-masing ada pemiliknya. Jadi lautan itu jelas ada pula pemiliknya. (wawancara, 9 September 1995).

Berdasarkan informasi tersebut di atas jelaslah, bahwa masyarakat Bajou sampai sekarang tetap memiliki sistem kepercayaan tradisional terhadap makhluk-makhluk gaib maupun kekuatan-kekuatan sakit yang dianggap sebagai pemilik sekaligus penjaga lautan dan gugusan karang. Sehubungan dengan kepercayaan tersebut sekaligus penjaga lokal biasanya melakukan upacara selamatan sebelum melaut. Selain itu mereka mengenal sejumlah pantangan yang sampai sekarang tetap dipertahankan dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi berikutnya.

Jenis upacara yang lazim dilakukan dalam kaitannya dengan kegiatan penangkapan ikan dan pelayaran, antara  lain adalah maccerak lopi, maccerak masina, pappasabbi ri nabbita, seta pappasabbi ri punnan tasik.

Upacara maccerak lopi adalah salah satu jenis  upacara selamatan atas sebuah perahu pakkaja (perahu nelayan) terutama bagi perahu baru yang untuk pertama kalinya akan dibawa melaut. Dalam upacara tersebut pemilik perahu memotong ayam kendati hanya satu ekor atau lebih (sesuai kemampuan). Darah ayam tersebut ditampung dalam sebuah wadah, sedangkan daging ayam tersebut dimasak. Setelah rampung, pemilik perahu mempersilahkan memimpin upacara biasanya orang tua-tua membacakan doa, selanjutnya darah dari ayam potong yang ditampung dalam wadah khusus itu dioleskan ke badan perahu. Sebagai tahap terakhir  dalam upacara ini ialah segenap keluarga dan tetangga yang hadir diperkenankan mencicipi makanan secara beramai-ramai.

Upacara maccerak masine sebenarnya mirip  dengan upacara maccerak lopi, hanya dalam upacara ini darah hewan dioleskan ke bagian mesin atau motor penggerak baik berupa “inboat engine” (mesin dalam) maupun “outboat engine” (motor tempel).

Tujuan pelaksanaan kedua upacara tersebut adalah sebagai nelayn agar penjaga lautan sudi menerima tumbal (nyawa dan darah) yang dipersembahkan dalam upacara, sehingga perahu beserta mesin dan segenap penumpang tidak mengalami bencana di lautan. Lebih dari itu diharapkan agar unsur penunggu lautan merelakan nelayan bersangkutan melakukan penangkapan ikan, teripang dan hasil lautan lainnya secara maksimal.

Secara teoritis, fungsi upacara bersaji dalam kehidupan masyarakat manusia tercakup dalam gagasan Robertson Smith (Dalam Koentjaraningrat. 1987: 68). Menurut Smith, pada upacara bersaji, di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darah sebagai suatu aktivitas, untuk rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Kutipan ini menunjukkan adanya kesan, bahwa dalam kehidupan sebagian masyarakat manusia  yang masih bersahaja ada anggapan  tentang kekuasaan dan kekuatan dewa-dewa alam  untuk menolong ataupun menghambat kegiatan pencaharian hidup, sehingga perlu dipersembahkan sesajian dalam rangka kompromi dengan para dewa.

Upacara pappasabbi ri nabita, adalah salah satu jenis upacara selamatan  yang dilakukan para nelayan Bajou terutama pada saat tibanya musim penangkapan ikan. Upacara tersebut berarti penyaksian terhadap nabi kita (maksudnya, nabi Muhammad saw) dengan tujuan semoga usaha mereka mendapat berkat dari nabi sehingga memperoleh rezeki  yang banyak.

Upacara pappasabbi ri nabita biasanya dilakukan secara sederhana, oleh keluarga nelayan. Dalam hal ini  nelayan hanya menyiapkan bahan upacara berupa pisang sebanyak dua atau tiga sisir, nasi ketan empat warna (putih, hitam, merah dan kuning), nasi putih satu periuk dan di atasnya diberikan sebutir ayam.

Pemimpin upacara terdiri dari orang tua-tua, boleh juga dilakukan sendiri oleh nelayan bersangkutan. Tahap pertama pemimpin upacara membakar dupa, kemudian membaca doa-doa shalawat kepada nabi Muhammad saw. Setelah itu segenap anggota keluarga makan secara bersama-sama. Tradisi ini sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh nelayan Bajou, tetapi juga dilakukan oleh nelayan di pulau Balang Lompo Kabupaten Pangkep (Firdaus Basuni, 1981: 29).

Upacara pappasabbi ri puana tasik, berarti penyaksian kepada penguasa lautan. Dalam upacara ini nelayan Bajou cukup menyiapkan bahan berupa daun siri beberapa lembar dan telur ayam kampung satu butir. Pelaksanaan upacara ini amat sederhana, yaitu nelayan sendiri membacakan basmalah, kemudian membuang persembahan itu ke laut pada saat mereka akan memulai kegiatan penangkapan ikan.

Melalui acara tersebut nelayan Bajou yakin unsur penguasa lautan tidak akan menurunkan bencana kepadanya, bahkan mereka optimis akan beroleh hasil tangkapan yang melimpah. Ini berarti, bahwa tujuan  upacara tersebut bukan hanya untuk mendapatkan hasil material yang memadai, tetapi juga agar mereka selamat dari gangguan pengganggu dan penguasa laut yang merupakan lahan pencarian hidupnya.

Selain melakukan berbagai jenis upacara seperti dikemukakan di atas, para nelayan Bajou mengenal beberapa jenis pantangan yang berkaitan dengan kegiatan melaut dan penangkapan ikan, antara lain sebagai berikut:

–          Pantang bagi nelayan menyebut nama binatang darat

–          Pantang bagi nelayan kentut pada saat melakukan penangkapan ikan

–          Pantang bagi nelayan membuang abu dapur

–          Pantang menggunakan periuk untuk mengambil air laut

–          Pantang banyak tanya ketika berada di lautan.

Jenis-jenis pantangan tersebut termasuk warisan  budaya dari leluhur yang disampaikan kepada anak-anak melalui pesan-pesan secara berkesinambungan. Karena itu, kaum nelayan di Dusun Bajou umumnya tidak mengetahui secara pasti tujuan dan makna yang terkandung di dalam pantangan dimaksud. Kalaupun ada di antara mereka mempunyai pengetahuan tradisional tentang pantangan, maka pengetahuannya itupun terbatas, misalnya nelayan Nongkeng (8 September 1995) mengungkapkan, bahwa pelanggaran terhadap pantangan membuang abu dapur itu, dapat mengakibatkan datangnya angin kencang.

Nelayan Roso dan Abdul Azis (10 September 1995) sebaliknya mengungkapkan, bahwa pelanggaran terhadap tabu atau pantangan mencelupkan kuali di laut, akan menimbulkan badai dan gelombang laut yang menggunung. Sedangkan apabila nelayan melanggar pantangan yang tetap dilakukannya masyarakat Bajou sampai sekarang. Secara garis besar mempunyai dua tujuan utama. Salah satu tujuannya ialah agar mereka memperoleh keselamatan selama  melaut. Tujuan lainnya ialah agar mereka memperoleh keselamatan selama melaut. Tujuan lainnya ialah agar  mereka memperoleh hasil produksi yang memadai. Ini berarti pula bahwa sebagian dari aktivitas  sosial ekonomi masyarakat terselenggara menurut konsep-konsep agama dan kepercayaan terhadap makhluk gaib.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Masyarakat Bajou adalah salah satu etnik group dari masyarakat Indonesia di Sulawesi Selatan yang berdiam di Desa  Bajou, Kecamatan Tanete Riattang Timur Kotif Watampone Kabupaten Bone. Pada umumnya menggantungkan sumber hidupnya di  laut (nelayan). Begitu eratnya hubungannya dengan laut sehingga kadangkala mereka disebut juga orang laut. Pada umumnya mereka menganut agama Islam dan dalam kehidupan sehari-hari mereka berbaur dengan masyarakat Bugis yang umumnya juga beragama Islam. Dengan demikian secara sepintas lalu kehidupan sosial ekonomi dan pola pemukiman mereka tidak dapat diidentifikasi sebagai simbol etnisitas mereka disekitarnya.

Adapun sistem kekerabatan yang mereka anggap ideal dalam perkawinan ialah monogamis walaupun terdapat beberapa kasus keluarga yang poligini. Sedangkan sistem keturunan berdasarkan bilateral (masuk keluarga ayah dan  ibu). Sistem kepercayaan masyarakat Bajou yaitu pada umumnya  mereka telah beragama Islam walaupun masih banyak dianut dan dipercayai unsur-unsur kepercayaan pra Islam seperti takhayul dan tempat-tempat keramat. Mereka juga mengenal upacara-upacara tradisionil seperti upacara mendirikan rumah, upacara memasuki rumah dan upacara yang berkaitan dengan daur hidup.

Salam …