Sejarah Perkembangan Masyarakat Madani

Sebelumnya saya telah menulis tentang Masyarakat Madani Indonesia, kali ini saya akan membahas tentang sejarah masyarakat madani. Semoga artikel ini bermanfaat bagi para pengunjung blog yang sedang mencari referensi penting mengenai masyarakat madani. Keep reading ya!

SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI

Untuk memahami masyarakat Madani terlibih dahulu harus dibangun paradigma bahwa konsep masyarakat Madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah jadi, melainkan merupakan sebuah proses wacana yang harus dipahami sebagai suatu proses. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah dianalisis secara historik.

Seperti telah dipaparkan di atas, bahwa wacana masyarakat Madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami proses tranformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan  masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana masyarakat Mdani dapat dirunut mulai dari Cicero sampai pada Antonio Gramsci dan De’Tocquiville. Bahkan menurut Manfred Ridel, Cohen dan Arato serta M. Dawam Raharjo, wacana masyarakat madani sudah mengemukakan pada masa Aristoteles. Pada masa ini (Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat Madani dipahami sebagai kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas percaturan tampat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah Koinonia politike yang dikemukakan oleh Aistoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos, yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.

Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah Societe civiole, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Terma yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai satu kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat Madani yang eksentuasinya pada sistem kenegaraan dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes, (1588-1679M) dan Jhon Locke (1632-1704). Menurut Hobbes, masyarakat Madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara. Sementara Jhon Locke, kehadiran masyarakat Madani dimaksudkan untuk menlindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.

Pada tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depositme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warganegara secara alamiah.

Kemudian pada tahun 1972, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1973-1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Paine mengidealkan terciptanya suatu gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka masyarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.

Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh GWF Hegel (1770-1832 M), Karl Marx (1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1873). Wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini  lebih merupakan sebuah reaksi dari model pemahaman yang dilakukan oleh Paine (yang menganggap masyarakat madani merupakan kelompok bagian terpisah dari negara). Menurut Hegel masyarakat madani merupakan kelompok subkordinatif dari negara. Pemahaman ini, menurut Ryas Rasyid erat kaitannya dengan fenomena masyarakat borjuasi Eropa (Burgerlische gessellschaft) yang pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan dari dominasi negara.

Lebih lanjut Hegel mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas 3 (tiga) entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan politik golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani. Oleh karenanya, maka intervensi negara terhadap wilayah masyarakat bukanlah tindakan illegitimate, karena negara sekali lagi merupakan pemilik ide universal dan hanya pada tataran negara politik bisa berlangsung murni serta utuh. Selain itu, masyarakat madani pada kenyataannya tidak mampu mengatasi kelemahannya sendiri serta tidak mampu mempertahankan keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan pada intuisi yang lebih tinggi, yakni negara. Karenaya, negara dan masyarakat madani merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu sama lain.

Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Sementara Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada  sisi ideologis. Bila Marx menempatkan masyarakat madani pada basis material, maka Gramsci meletakannya pada superstruktur, berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perbuatan posisi hegemonik di luar kekuatan negara. Membentuk konsensus dalam masyarakat.

Pemahaman Gramsci memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial politik. Gramsci dengan demikian melihat adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat madani, sekalipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material (ekonomi).

Periode berikutnya, wacana masyarakat madani dikembangkan oleh Alexis de’ Tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan pada pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara. Bagi de’ Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di  dalam masyarakat madani, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.

Tidak seperti yang dikembangkan oleh Hegeilen, paradigma de’ Tocqueville ini lebih menekankan pada masyarakat madani sebagai sesuatu yang apriori subordinatif terhadap  negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan  penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan intervensionis negara. Tidak hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi negra serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektif (reflective-force) untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat proses formasi modern. Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada ketinggian individual, tetapi juga sensitif terhadap kepentingan publik.

Dari berbagai model pengembanganm madani di atas, model Gramsci dan Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan pro demokrasi di Eropa Timur dan Tengah pada sekitar dasawarsa 80-an. Pengalaman Eropa Tengaj dan Timur tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat. Oke, semoga bermanfaat. Silakan baca artikel lainnya di blog ini.