UIN Alauddin Makassar-ku

UIN Makassar. Dulu namanya IAIN (Institus Agama Islam Negeri) Alauddin, Makrus biasa nyebutnya Ing Eng, beberapa teman menyebutnya Ya’ Yeng. Tapi sejak tahun 2004, namanya berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). UIN Alauddin Makassar lengkapnya. Meskipun tidak jauh berbeda dalam hal namanya, perubahan IAIN menjadi UIN jelas merupakan suatu gebrakan. Al-Ustadz Azhar Arsyad telah berhasil menggapai mimpinya, mengubah status kampus yang dipimpinnya sejak tahun 2000. Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang ini, karena jika semuanya kuceritakan, halaman ini akan menjadi berpuluh-puluh lembar.

Aku masuk dalam komunitas ini di Bulan September 2004. Yang paling kuingat waktu itu adalah suasana kampus yang begitu berbeda dari masa SMA. Di awal pendaftaran saja, mahasiswa senior sudah menggelar orasi sana-sini. Gelar performa band, teriak-teriak tentang pendidikan. Ada juga yang teriak tentang kebobrokan dunia pendidikan di Indonesia, termasuk juga kampusku. Aku sebagai mahasiswa baru tentu hanya dapat melihat mereka, berkata dalam hati : “Ah, masa iya dunia pendidikan kita seperti ini?”. Setelah dinyatakan lulus, PIKIR (Pencerahan Imani Kampus IAIN Rabbani) adalah kegiatan awal sebagai ganti dari Ospek (Orientasi dan Pengenalan kampus) dalam kampus ini. Padahal menurutku, namanya mestinya bukan PIKIR, tapi PIKUR, karena Huruf I yang kedua berarti IAIN, dan kini kampusku adalah UIN. Jadinya PIKUR deh!

Ospek yang kujalani seminggu memang memberi banyak kesan, baik juga buruk. Baiknya aku bisa mendapat teman, terlalu mudah rasanya saat itu berkenalan. Setiap mahasiswa yang memakai seragam sama, mereka adalah temanku. Teman sefakultas. Kebetulan untuk para cowok, rambut harus dicukur gundul, tapi parahnya cukurnya cuma setengah bagian. Aku dapat bagian gundul sebelah kanan. Lucu … Yang kiri gondrong, tapi yang kanan gundul. Seperti orang gak waras aja. Alasan para senior ketika ditanya “kenapa rambut mesti digundul Kak?”, jawabnya : “Karena rambut yang kemarin tumbuh adalah rambut yang kau bawa sejak SMA. Setelah digundul hari ini, rambut yang tumbuh adalah rambut mahasiswa”. Yup, masuk akal juga rupanya. Buruknya, ternyata masih ada adegan kekerasan (meski bukan fisik total), tapi beberapa kali senior memaksa kami mencium sandal yang mereka gunakan (Meski gak sesadis yang dibayangkan).

Setelah PIKIR usai, perkuliahan dimulai. Maba (Mahasiswa Baru) memulai adaptasi dengan lingkungan kampus yang baru. Mungkin tak se-ekstreme adaptasi pada kampus lain di negeriku, misalnya Unhas, UNM, UMI atau Unismuh. Kampus 1 UIN yang kutempati saat ini adalah sebuah kampus kecil, luas arealnya mungkin tidak sampai 5 Hektar. Kampus 2-nya yang ada di Gowa memang sangat luas, tapi jaraknya agak jauh dari kampus 1. Mahasiswa yang kuliah di sana adalah mahasiswa Fakultas Saintek (Sains dan Teknologi), dan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan. Karena area yang terlalu luas, dalam seminggu rata-rata mahasiswa akan mampu mengetahui semua gedung yang ada di dalam area kampus (Meski sampai saat ini ternyata aku masih tidak tahu gedung yang ada di sudut barat kampus 😉

Beberapa jurusan dalam kampus ini masih menerapkan sistem Paket dalam pembelajarannya, jadi mahasiswa tidak perlu repot-repot mengurus KRS (Kredit Rencana Studi) tiap awal semester. Masing-masing tentu punya kelebihan dan kekurangan. Yang aku rasakan justru kelebihannya saja kali. Gak perlu repot.
Beberapa jurusan andalan dalam kampus UIN Alauddin (menurutku) adalah Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dan Tafsir Hadits Plus. Andalan karena kualitasnya, andalan karena sistem belajarnya. Meski jurusanku (Pendidikan Matematika) bukanlah jurusan favorit atau andalan, tapi aku tetap bersyukur bisa menjadi bagian dari dunia ini.

Kini, 3,5 tahun sudah aku berada dalam kampus ini. Kini aku dah jadi senior Oi! Bagi Anda yang ingin mengetahui tentang kampus-ku, datang saja langsung ke Jl. Sultan Alauddin No. 63 Makassar. Tak jauh dari perbatasan Gowa – Makassar. Meski mungkin yang terkenal dari kampus-ku adalah mahasiswanya yang hobi demo, tapi yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. Demo adalah hobi beberapa mahasiswa saja. Dan memang, ketika aku perhatikan, mahasiswa yang sering masuk dalam berita TV atau koran saat demo di UIN adalah mahasiswa yang Itu-itu saja. Kata Uni, mahasiswa yang hobi demo itu hanya hobi berkoar-koar di jalan, tapi ketika di dalam kelas ia bisu seperti siput, tak bersuara! Katanya sih begitu, tapi apa bener? Tak taulah.

Yang jelas, aku punya banyak kenangan tentang UIN Alauddin-ku. Aku punya banyak hutang pada UIN Alauddin-ku. Aku cinta UIN Alauddin-ku. Karena ia-lah yang telah memberiku teman, ia-lah yang telah mengenalkanku pada Makassar, dan ia-lah yang telah mengajariku beberapa hal tentang hidup. Cayoo universitasku! Cayoo diriku! Cayoo Ilmuku! Cayo UIN Makassar.