Demokratisasi yang dialami oleh banyak lembaga di dunia ini terutama sebagai efek globalisasi yang mengalami akselerasi berkali-kali lipat dengan bantuan teknologi informasi modern (internet). Sekalipun globalisasi tidak selalu memberikan hasil yang indah, karena ideologi demokrasi tersebar dan menjadi pilihan yang menggiurkan, maka kita patut menghargai proses ini. Dalam bidang pendidikan, kita memperoleh manfaat dari semakin mudahnya memperoleh informasi. Jika dahulu ilmu yang baru, baru akan sampai di negeri kita dalam jangka waktu 10 tahunan, sekarang bisa dalam hitungan bulan atau mungkin juga hari. Sebagai salah satu akibat, pola hubungan guru-guru juga ikut terdemokratisasi. Karena murid bisa memperoleh pengetahuan dari sumber-sumber lain di luar gurunya, peranan guru tidak lagi mutlak menentukan. Kebenaran juga tidak lagi tergantung sepenuhnya dari guru, murid bisa mengecek kebenaran apa yang dikatakan gurunya pada sumber-sumber lain. Pendidikan memang masih memerlukan guru, tetapi lebih pada peran sebagai guide dalam mendapatkan pengetahuan, perangsang untuk berpikir, patron dalam soal ketekunan, kedisiplinan, dan kejujuran. Upaya-upaya memonopoli pengetahuan oleh guru bahkan oleh seorang Penemu sekalipun tidak lagi terlihat relevan.
Alternatif semakin banyak dan bisa diperoleh dengan mudah. Orang tidak harus pergi ke luar negeri untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, justru lembaga luar negeri itulah yang datang dan membuka kampus di sini. Masuk ke universitas negeri yang dahulu terasa sulit sekarang dipermudah. Universitas online dengan biaya yang lebih murah menjadi pilihan yang tak kalah menariknya. Maka tak akan ada lagi lembaga yang bisa mengklaim dirinya sebagai agen tunggal pendidikan dengan alasan apapun. Upaya memang dibuat untuk membentuk citra yang khas sehingga sebuah lembaga pendidikan terasa tidak ada duanya. Tetapi, jika itu tidak berkaitan langsung dengan ilmu yang ditawarkannya, sulit juga mempertahankan citra yang khas itu sebagai daya tarik. Ibaratnya, sebuah restoran menjanjikan kekhasan dirinya dalam hal servis pijat. Dengan banyaknya alternatif, orang semakin pintar untuk menentukan mana yang terbaik dan cocok untuk dirinya. Tidak lagi keterpaksaan untuk memilih. Juga tidak perlu lagi alasan-alasan semu yang dibutuhkan nantinya adalah tenaga yang memiliki performance yang baik dan tidak dari universitas mana atau universitas yang berasaskan apa.
Perubahan trend terjadi dalam waktu yang relatif singkat, menuntut adanya kelincahan untuk menyesuaikan diri. Sebuah produk dipasarkan dengan perkiraan hanya akan laku tidak lebih dari 5 tahun, setelah itu harus dimodifikasi lagi. Demikian juga dengan sebuah jurusan di perguruan tinggi. Sekarang jurusan informatika menjadi primadona. Ke depan mungkin jurusan desain grafis. Siapa tahu teologi yang setelah sekian abad kehilangan pamor akan kembali menarik minat orang. Pendeknya, kita tidak bisa menawarkan sesuatu dalam jangka waktu yang terlalu lama. Jika perlu, begitu membuka sebuah jurusan baru, sudah langsung siap dengan perubahannya sekaligus. Setidaknya, kita tidak terlalu kaku untuk berubah. Lembaga yang kita buat sebaiknya tidak berukuran besar sehingga tidak sulit berubah dan tidak membuat beban yang berat. Orientasi kita bukan ke dalam, melainkan ke luar, yaitu ke pasar. Kita memang bisa ikut mempengaruhi pasar, tetapi mengharapkan pasar untuk menuruti ide-ide kita saja adalah sesuatu yang mustahil.
Kita masih bisa menambah banyak gejala lainnya, tetapi pada dasarnya dunia sekarang ini adalah dunia yang berjalan menurut kehendak pasar. Karena itu, kita tidak bisa menutup mata terhadap apa yang dikehendaki pasar. Di pihak lain, kita juga tidak boleh menganggap bahwa dunia yang dituntun oleh kehendak pasar ini tidak memiliki kelemahan-kelemahan.
Reduksi ilmu di mana sekolah tidak lagi dilihat sebagai upaya untuk mencapai nilai-nilai yang mulai (sebagaimana Sokrates pernah berkata “the unexamined life is not worth living”), tetapi lebih dimengerti sebagai jalan untuk memperoleh pekerjaan yang bergengsi. Mata kuliah humaniora, seberapa pun dipandang perlu oleh ahli pendidikan, akan dirasakan sebagai beban yang tidak perlu oleh mahasiswa. Mata kuliah tersebut tidak dapat memberikan sumbangannya yang jelas bagi, misalnya, mereka yang ingin bekerja di bidang komputer.
Spesialisasi yang kaku sesuai dengan tuntutan profesionalisme menjadikan orang tidak mau tahu lagi urusan-urusan yang lain. Kepandaian di suatu bidang berakhir dengan kebodohan di bidang lainnya.
Fragmentasi kehidupan karena kepedulian orang hanyalah pada bidang dan profesi yang digelutinya. Pembicaraan dengan orang yang berlainan bidang menjadi kekurangan bahan dan kebutuhan yang semakin mutlak, tetapi yang sekaligus menjadi garis pemisah dengan pihak di luar kelompok profesinya. Dalam cakupan yang lebih luas, fragmentasi juga dirasakan antara kehidupan materiil dan spiritual. Orang tidak lagi bisa menghubungkan antara kebutuhan materiilnya dan kebutuhan spiritualnya. Dua dunia itu seakan terpisah. Bahkan, lebih parah lagi jika dunia spiritual dianggap bukan urusan selama manusia masih berada di dunia materiil ini.
Romantisme masa lalu, terutama jika landasannya adalah agama. Dalam bahasa kekristenan, gejala ini disebut nostalgia abad pertengahan. Karena pada zaman itulah agama memiliki peranan yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, tidak bisa dimungkiri justru pada zaman seperti itu kehidupan juga tidak bisa mengalami banyak perkembangan. Hampir tidak ada perkembangan yang cukup berarti yang terjadi pada zaman tersebut. Namun, toh masih banyak berpikir bahwa zaman seperti itu lebih baik dari pada zaman sekarang.
Kesenjangan antara lembaga yang kuat dan lemah, terutama dalam soal modal. Lembaga yang kuat modalnya akan lebih mampu berbuat banyak dalam mengikuti perbuatan zaman, tetapi sebaliknya yang lemah akan tertinggal jauh. Demikian juga dalam soal go international. Masih ada lembaga-lembaga yang kurang percaya diri malah menutup diri dari pergaulan internasional.
Birokratisasi yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai jawaban atas perubahan zaman. Organisasi agama seperti gereja, ketika menghadapi kepelbagaian, ada yang malah memperkuat birokrasinya supaya tidak mudah dirembesi kepelbagaian yang dianggap akan menyulitkan dirinya. Tetapi, birokratisasi justru akan menciptakan jebakan yang membuat sebuah lembaga sulit untuk keluar apalagi menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Kita yang bergerak di bidang pendidikan sudah semestinya terpanggil untuk mencegah agar ancaman-ancaman tersebut tidak berlanjut menuju tindakan-tindakan yang berpotensi menghancurkan diri kita sendiri.
Kata kuncinya adalah sinergi, baik dalam pengertian lintas ilmu maupun lintas lembaga pendidikan. Tanpa meninggalkan profesionalisme yang bisa membawa orang pada kedalaman ilmunya, orang sebenarnya masih memerlukan kesadaran akan apa yang terjadi pada ilmu-ilmu lainnya. Pengalaman saya sebagai pengampu mata kuliah “Globalisasi dan Teologi”, dimana mahasiswa (teologi) diajak untuk mendiskusikan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir, ternyata semakin menguatkan saya untuk meyakini bahwa teologi tidak lagi bisa berdiri sendiri jika tiadk ingin kehilangan sentuhan pada realitas. Demikian juga ilmu-ilmu lain, mereka tidak bisa menganggap teologi sebagai ilmu arkaik yang bukanya mendukung, tetapi malah sering membebani laju perkembangan ilmu lainnya. Kepada teman-teman dari bidang ilmu lain, saya sering mengatakan bahwa teologi juga jangan dianggap identik dengan etika saja. Seolah-olah kalau teolog mengomentari ilmu lainnya, ia pasti akan berbicara soal moral. Dan kalaupun ilmu lain mau memberi teologi kesempatan untuk berbicara, wadah yang disediakan adalah etika. Dalam bidang ekonomi menjadi etika ekonomi, dalam bidang biologi, etika lingkungan atau bioetika, dan begitu seterusnya untuk ilmu-ilmu lainnya.
Sinergi lintas ilmu bisa terjadi dalam berbagai wilayah, tetapi ada baiknya jika diarahkan pada wilayah yang lebih konseptual. Masalahnya, kita sekaligus ingin membuat dunia keilmuan kita menjadi dunia yang tidak hanya membicarakan hal-hal yang praktis. Kita sangat butuh pendalaman keilmuan yang mencapai konsep-konsep mendasar. Dengan begitu, kita bisa memahami sebuah ilmu hingga ke akar-akarnya dan bukan tidak mungkin jika pada akhirnya kita sendiri bisa menciptakan sebuah ilmu. Maka, penelitian yang kita lakukan perlu memberi ruang bagi hal-hal yang sifatnya masih ilmu secara mendasar.
Dalam hubungan sinergi antar lembaga, juga amat dibutuhkan model-model kerja sama fleksibel. Tujuannya bisa bermacam-macam, mulai dari memperkecil kesenjangan yang diakibatkan oleh perbedaan modal (finansial, politik, sosial), menciptakan ketahanan dalam menghadapi pasar (tidak saling menjatuhkan), sampai dengan menambah efektivitas dalam menjawab kebutuhan pasar (kekuatan masing-masing dipakai bersama-sama). kerja sama antar lembaga juga mencegah monopolisme yang tidak akan cukup sumber untuk melakukan monopoli itu.
Pascakolonial adalah adanya hibridasi dalam lingkup budaya, agama, ekonomi, sosial, dan politik sebagaimana saya harapkan menjadi jelas dalam cara saya menggambarkan gejala yang ada dewasa ini dan terutama dalam menyampaikan usul-usul menghadapi gejala-gejala tersebut. Pada dasarnya, kita sebagai bangsa yang pernah dijajah perlu membuktikan diri bahwa kita bisa menyejajarkan diri dengan bangsa yang bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan dunia. Wacana pascakolonial walaupun bisa menimbulkan bayangan antagonisme yaitu antara bekas bangsa penjajah dan bekas bangsa yang dijajahnya, tidak dimaksudkan demikian. Tetapi juga, bukan berarti wacana ini sama sekali tidak menghiraukan kolonialisme dengan segala akibat buruknya. Kolonialisme malah dimengerti tidak sebatas fenomena fisik saja. Jika penjajah secara fisik sudah lewat, bukan berarti kolonialisme sudah lewat juga. Pascakolonilisme tidak hanya merespon kolonialisme fisik pada zaman prakemerdekaan dulu, tetapi juga dan terutama merespon gejala kolonialisme pada zaman sekarang ini. Pascakolonialisme ingin merespon kolonialisme dengan cara mengajak mereka yang dijajah untuk bangkit dan menunjukkan kualitas kita yang tidak kalah dari kualitas penjajah. Namun, menunjukkan kualitas kita tidak perlu membuat kita memisahkan diri dari apa saja yang sudah kita kenal dari penjajah kita.
Globalisasi sekarang tidak lain dari hibridasi. Hibdirasi yang ditimbulkan oleh perjumpaan antarbudaya, antarfilsafat, antarideologi, antaretnis, antarkomunitas, antarilmu, juga antara agama. Mentalitas yang perlu ada di sini adalah mentalitas orang yang percaya diri. Sedangkan mentalitas orang yang kurang percaya diri justru menjadi ciri khas dari zaman orang yang kurang percaya diri justru menjadi ciri khas dari zaman kolonialisme. Banyak bangsa yang dijajah akhirnya memilih dua sikap yang eksterm. Pertama, mengikuti budaya sang tuan. Kedua, melawan apa saja yang dianggap datang dari sang tuan. Kedua sikap itu sama saja. Keduanya datang dari rasa percaya diri yang kurang. Menunjukkan kualitas diri sendiri tidak harus berarti melawan apa saja yang datang dari luar diri sendiri. Sebaliknya, mengambil alih apa-apa yang datang dari luar diri sendiri tidak harus datang dari perasaan rendah diri. Saya sering heran, mengapa kita disatu pihak sering menunjukkan sikap sinis terhadap Belanda, di pihak lain hormat kita kepada Londo jauh lebih tinggi dari pada hormat kita terhadap bangsa sendiri. Selain itu, yang tak kalah mengherankan adalah orang Belanda yang menjajah kita itu justru menyimpan berbagai dokumen penting tentang budaya kita, mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan bahkan bisa mengajari kita tentang budaya kita sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah ini bukan bukti bahwa kita memang sering percaya diri? Jika memang demikian, bukankah lebih baik jika kita mencoba mengatasinya sendiri dan tidak justru malah meneruskan rasa tidak senang terhadap Londo (entah Londo Belanda atau Londo Inggris atau Londo Amerika, pokoknya semua Londo alias orang barat), apalagi membangun sebuah harapan bahwa kita bisa membuat suatu dunia yang bersih dari unsur-unsur barat. Perdebatan antara sains dan agama yang kita lakukan selama ini kiranya jangan sampai bergeser pada sikap-sikap pemisahan diri yang sulit untuk dipraktikkan, kecuali jika kita mampu memformat ulang dunia kita sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Capra, Fritjof & David Steindl-Rast. Belonging to the Universe. Harper San Francisco. New York. 1991.
Feigl, Herbert, The Orthodox View of Theories: Remarks in Defense as well as Critique, dalam R. Radner & S. Winokur (eds): Analysis of Theories and Methods of Physics and Psychology” Minnesota Studies in the Phylosophy of Science. Jil. 4. University of Minnesota Press. Minneapolis. 1970.
Hafaele, Wolf. Hypotheticallity and the New Chalanges. The Pathifinder Role of Nuclear Energy” dalam John Francis dan Paul Albrecht (eds). Facing up to Nuclear Power. The Westminster Press, Philadelphia. 1976.
Hawkins, David, Considerations of Environmental Protection Criteria for Radioactive Waste” US-EPA, Washington, DC. Februari 1978.
Koen, Billy Vaughn. Definition of the Enginering Methods. American Society for Engineering Education, Washington, DC. 1987.
Purwanto, Yuliman. Solar Power Satelite (SPS) Alternatif Baru Sumber Energi Listrik untuk Masa Depan. Elektro Indonesia, No. 10. Tahun II. April / Mei 1996.