Sejarah Perkembangan Koperasi di Inggris dan Perancis

SEJARAH PERKEMBANGAN KOPERASI DI INGGRIS

Pengertian Dasar dan Tujuan Koperasi

Menurut International Cooperative Alliance (ICA), Koperasi adalah kumpulan orang-orang atau badan hukum yang bertujuan untuk perbaikan sosial ekonomi anggotanya dengan memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya dengan jalan berusaha besama dengan saling membantu antara satu dengan lainnya dengan cara membatasi keuntungan, usaha tersebut harus didasarkan prinsip-prinsip koperasi.

Sedangkan menurut UU No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian Indonesia, koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.

Kemudian muncul definisi lebih baku oleh ICA yang mendefinisikan koperasi sebagai assosiasi yang bersifat otonom dengan keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela untuk meningkatkan kebutuhan ekonomi, sosial dan kultur melalui usaha bersama saling membantu dan mengontrol usahanya secara demokratik

Dari penjelasan pengertian diatas diharapkan koperasi bukan hanya menjadi slogan yang menawarkan konsep kebersamaan, gotong royong, kemandirian dan persamaan hak dan kewajiban saja melainkan koperasi mencoba untuk tumbuh dan berkembang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan kemakmuran, kesejahteraan dan kehidupan yang layak secara adil.

Sedangkan tujuan koperasi berdasarkan UU No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian di Indonesia adalah memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Awal Perkembangan Koperasi

Dari sejarah perkembangannya, dimulai dari munculnya revolusi industri di Inggris tahun 1770 yang menggantikan tenaga manusia dengan mesin-mesin industri yang berdampak pada semakin besarnya pengangguran hingga revolusi Perancis tahun 1789 yang awalnya ingin menumbangkan kekuasaan raja yang feodalistik, ternyata memunculkan hegemoni baru oleh kaum kapitalis. Semboyan Liberte-Egalite-Fraternite (kebebasan-persamaan-kebersamaan) yang semasa revolusi didengung-dengungkan untuk mengobarkan semangat perjuang rakyat berubah tanpa sedikitpun memberi dampak perubahan pada kondisi ekonomi rakyat. Manfaat Liberte (kebebasan) hanya menjadi milik mereka yang memiliki kapital untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Semangat Egalite dan Fraternite (persamaan dan persaudaraan) hanya menjadi milik lapisan masyarakat dengan strata sosial tinggi (pemilik modal;kapitalis).

Dalam keadaan serba kritis dan darurat dimana kesenjangan antara rakyat (buruh) dengan pemilik modal semakin besar baik di Inggris maupun di Perancis itulah yang mendorong munculnya cita-cita untuk membangun tatanan masyarakat yang lebih egaliter dimana kekayaan dibagikan secara lebih merata, pembatasan terhadap kepemilikan pribadi dan pembatasan terhadap persaingan yang tidak sehat serta perlunya kerjasama antar kelas sosial.

Berbagai bentuk tatanan kemasyarakatan ditawarkan untuk mengakomodir gejolak ketidakpuasan terhadap kondisi sosial yang ada.

Dari ide seorang industriwan penganut sosialisme Inggris yang bernama Robert Owen (1771-1858), mulailah terbentuk ide community-community sebagai proyek percontohan dari masyarakat sosialis. Dan istilah co-operation mulai diperkenalkan oleh Robert Owen. Dia pun mendirikan pemukiman di Amerika serikat pada tahun 1824 bernama New Harmony untuk kaum buruh. Meski ide dan proyek percontohan koperasi yang dikembangkan oleh Robert Owen mengalami kegagalan, ide untuk membentuk koperasi terus berlanjut dan dikembangkan oleh Dr. William King pada tahun 1882. Akan tetapi, usaha yang dilakukan oleh Dr. William King juga mengalami kegagalan. Usaha untuk membentuk koperasi yang dilakukan oleh kedua pelopor koperasi itu mengalami kegagalan disebabkan karena permasalahan modal dan kurangnya kesadaran dari anggotanya untuk bekerja bersama-sama (swadaya).

Koperasi yang di pandang sukses adalah koperasi yang didirikan di kota Rochdale, Inggris pada tahun 1844. Koperasi yang dipelopori oleh 28 anggota tersebut dapat bertahan dan sukses karena didasari oleh semangat kebersamaan dan kemauan untuk berusaha. Mereka duduk bersama dan menyusun berbagai langkah yang akan dilakukan sebelum membentuk sebuah satuan usaha yang mampu mempersatukan visi dan cita-cita mereka. Mereka mulai menyusun pedoman kerja dan melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mereka susun bersama. Walaupun pada awalnya banyak mengalami hujatan, tetapi toko yang dikelola secara bersama-sama tersebut mampu berkembang secara bertahap.

Dari pedoman koperasi di Rochdale inilah prinsip-prinsip pergerakan koperasi dibentuk. Meskipun masih sangat sederhana tetapi apa yang dilakukan koperasi Rochdale dengan prinsip-prinsipnya telah menjadi tonggak bagi gerakan koperasi di seluruh dunia. Prinsip-prinsip koperasi Rochdale tersebut kemudian dibakukan oleh I.C.A dan disampaikan dalam konggres I.C.A di Paris tahun 1937.

Prinsip Rochdale kemudian dirumuskan menjadi dua prinsip dasar yaitu pertama, prinsip primer yang berlaku untuk seluruh gerakan koperasi yang tergabung dalam keanggotaan I.C.A. dengan menekankan perlunya 1) keanggotaan berdasar sukarela. 2) susunan dan kebijaksanaan pimpinan diatur secara demokratis. 3) laba dibagi atas imbalan jasa (pembelian). 4) pembatasan bunga atas modal. Kemudian kedua, prinsip sekunder yang merupakan dasar moral yang disesuaikan dengan kondisi koperasi di masing-masing negara anggota. 1) netral terhadap agama dan politik. 2) pembelian secara kontan. 3) memajukan pendidikan .

Prinsip ini pulalah yang memberi inspirasi pergerakan koperasi dalam menyusun prinsip-prinsip bagi pergerakan koperasi di Indonesia. Namun sebagai bangsa yang menjunjung tinggi budaya dan kepribadian bangsa, prinsip-prinsip pergerakan koperasi diselaraskan dengan kehidupan bangsa Indonesia sendiri yaitu lebih menekankan pada asas gotong royong dan kekeluargaan.

Sebagai sebuah wadah yang diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat, koperasi mulai tumbuh di negara-negara yang saat itu menganut dan menjalankan sistem kapitalisme. Di Inggris sebagai negara pencetus revolusi industri, koperasi mulai lahir walaupun sempat tenggelam tetapi kembali berkembang sampai akhirnya berhasil membentuk koperasi yang utuh, solid dan mengedepankan aspek humaniora yang mengusahakan kemakmuran dengan jalan bekerja bersama-sama dan memberikan imbalan sesuai dengan jasa yang diberikan oleh anggota itu sendiri.

Kelahiran koperasi yang didasari oleh adanya penindasan dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat kalangan bawah (buruh) di dalam sistem kapitalisme yang berkembang pesat saat itu, ternyata harus berhadapan pula dengan kelemahan dari dalam koperasi sendiri. Kurangnya modal, kesadaran dan pengetahuan yang rendah dari anggota dan pengurus menyebabkan koperasi sulit berkembang secara pesat. Di sisi lain, ideologi sosialisme yang muncul sebagai reaksi dari kekurangan-kekurangan kapitalisme itu ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk merubah keadaan saat itu.

Charles Fourier (1772-1837) seorang sosialis Perancis menganjurkan berdirinya unit-unit produksi “Falansteires” yang mengedepankan semangat kebersamaan baik kepemilikan kapital, mengupayakan kebutuhan sendiri dan kepemilikan terhadap alat-alat produksi secara bersama-sama. Louis Blanc (1811-1882) meskipun terpengaruh oleh cita-cita Charles Fourier tetapi Louis Blanc mencoba lebih realistis dengan menyusun rencana yang lebih konkret. Louis Blanc mengusulkan kepada pemerintah untuk mendirikan tempat-tempat kerja untuk kaum buruh dalam bentuk Atelier Sosiaux (Atelier Sosial) dimana kaum buruh mengorganisir sendiri dengan cara kooperatif dan diawasi oleh pemerintah. Selain mendapatkan upah kerja, kaum buruh juga mendapat bagian dari laba usaha. Saint Simon (1760-1825) berpendapat bahwa masalah sosial dapat diatasi jika masyarakat diatur menjadi “Assosiasi Produktif” yang dipimpin teknokrat dan ahli-ahli industri.

PERKEMBANGAN KOPERASI DI PRANCIS

Unsur kedua yang tersimpan dibalik pendirian dan pengembangan Koperasi Restoran Indonesia, sebatas pemahaman saya, adalah faktor semangat kemandirian, . yang barangkali, jika menggunakan istilah Bung Karno, bisa dikatakan sebagai semangat “berdiri di atas kaki sendiri”[berdikari].

Para pendirinya datang ke Perancis untuk mencari negeri berlindung sebagai suaka politik. Uang di kocek kurang dari pas-pasan. Untuk sewa apartemen dan hidup sehari-hari pun kurang dari pas-pasan. Jika menggunakan cara orang Jawa berkata: “Masih untung kita orang Indonesia biasa hidup dengan uang pas-pasan” atau dengan ungkapan orang Belanda “bangsa yang bisa hidup dari uang sebenggol”. Bisa hidup dari nasi dan garam saja. Tunjangan dari Jawatan Penggangguran yang didapatkan berkat kertas dari OFRA [Organisasi Perancis untuk Pencari Suaka dan Yang Terlempar dari Tanahair] sangat minim dan tidak langgeng. Berbeda dengan dugaan sementara orang di Indonesia yang membayangkan kami nyaman karena makan keju dan roti. Sementara harga singkong 6 cm lebih mahal dari sebungkus keju dan sebotol susu.

Ijazah akademi — bagi yang sempat membawanya — tidak pasti laku dan diseterakan bagi orang kulit berwarna , khusus pencari Indonesia yang dicap komunis.Apalagi kami datang pada saat golongan kanan berkuasa, kecuali bagi sementara teman yang datang kemudian secara “lenggang kangkung” ketika golongan kiri berkuasa [Mei 1981, Mitterrand terpilih jadi presiden menggantikan Giscard d’Estaing], dan sudah ada teman yang mendahului mereka, walau pun  Bung Umar Said dan saya sempat dipanggil pihak  kepolisian sesudah kedatangan teman-teman yang datang secara “lenggang kangkung” ini dengan dugaan melakukan “perdagangan manusia”.

Dalam keadaan begini, dengan semangat dan dipaksa bertarung, kami dipaksa untuk bertarung mencari jalan menjamin kehidupan tanpa tergantung pada bantuan pemerintah Perancis, terutama bagi pekerjaan bagi teman-teman lanjut usia yang datang belakangan dengan syarat lebih gampang. Kami yang datang lebih dahulu, relatif sudah mendapat sandaran ekonomi betapa pun sederhananya.

Untuk mengatasi hal ini, kami berdiskusi mencari jalan keluar dan berkputusan untuk membangun Koperasi Restoran Indonesia. Dengan membangun restoran, kita bisa menyerap banyak tenaga kerja dan cash flownya bersifat segera. Masalah berikutnya: Darimana dan bagaimana mendapat modal sementara kita sendiri sangat tidak mungkin memodalinya. Untuk keperluan ini, maka disusunlah suatu rencana usulan dan rentabilitasnya di mana Bung Umar Said, sebagai orang kedua suaka politik Indonesia di Perancis, menyusunnnya dengan memetik pengalaman Perancis dan bantuan teman-teman Perancis. Ide yang terumuskan dalam proyek usulan inilah yang kemudian dijual ke pemerintah, LSM-LSM internasional dan teman-teman seluruh dunia yang berisimpati terhadap Indonesia serta anti militerisme. Dalam menjual “proposal” ini, yang dijadikan kartu as atau trup adalah kata “suaka poilitik”, mengatasnamai semua teman yang mencari status suaka politik dan sudah mendapat status suaka politik. Tanpa menggunakan “dua kata majik ini, rasanya tidak mungkin lahir yang sekarang dikenam “Koperasi Restoran Indonesia”. Benar bahwa masing-masing individu terkait memberi sumbangan sesuai kemampuan, tapi adalah keliru memandang bahwa lahirnya Koperasi Restoran Indonesia, yang merupakan panji bersifat khusus di Eropa pada masa Orba, sebagai karya dan jasa invidual. Koperasi Restoran Indonesia Paris bisa berlangsung sampai 25 tahun, bukan tergantung pada satu dua individu tapi berkat kebersamaan. Adalah keangkuhan tak tahu diri individualis, manipulator narsis, jika mau jujur, yang menganggap dan merasakannya demikian. Hanya orang rabun yang tak tak tahu apa-apa tentang sejarah dan perkembangan Koperasi ini bisa bertahan dan berkembang jika berpandangan demikian. Dua puluh lima  tahun bersama, memberikan cukup waktu untuk mengenal kekuatan dan kelemahan masing-masing anggota Koperasi. Yang selalu kami usahakan adalah menggunakan unsur positif dari masing-masing. Jika di sini ada “pahlawan”, maka ia adalah kebersamaan dan keterbukaan tanpa tedeng aling-aling. Maka  adalah satu kesalahan dan dusta besar individualis pengejar nama, narsis, jika ada yang menganggap bahwa Koperasi Restoran Indonesia di Paris ini sebagai milik dan jasa pribadinya sampai ia bisa bertahan 25 tahun. Secara teori dan kenyataan, pandangan dan sikap begini tidak bisa dipertanggungjawabkan dan melawan kenyataan. Dengan kata-kata ini, saya hanya ingin menempatkan masalah di tempat sebenarnya, baik secara teori mau pun kenyataan tanpa memasuki rinciannya. Hubungan antara individu dan massa adalah suatu masalah teoritis. Juga yang disebut pahlawan.

Koperasi Restoran Indonesia, yang mestinya bisa berkembang lebih jauh, adalah ujud dari kemandirian kolektif. Benar, bahwa dalam kemandirian kolektif ini , sumbangan individual ada yang besar dan ada yang kecil, tapi seperti kata Chairil Anwar: “semuanya patut dicatat”, “semuanya dapat tempat”, menggunakan kata-kata Ho Chi Minh : “bendera kecil dan besar semua dihitung” [lihat: antologi pusi: “Catatan Harian Di Penjara”].  Pahlawan pun lahir tak lepas dari massa dan tuntutan zaman. Massa, dalam pandanganku, tetap pahlawan sejati. Pahlawan adalah primus inter pares yang dilahirkan massa dan zaman.

Semangat kemandirian melahirkan dan merupakan ujud martabat serta harga diri sebagai anak manusia. Diplomasi dan lobbi pun berfungsi pada saat ada martabat, harga diri dan kekuatan diri sendiri yang mandiri. Tanpa kekuatan diri dan kemandirian, lobbi dan diplomasi hanya menjual abab dan gelembung sabun. Ini juga berlaku dengan lahir dan berkembangnya Koperasi Restoran Indonesia Paris. Sama sekali tak ada hubungannya dengan nama tokoh salah satu partai politik apa pun. Sebagai usaha produktif dan menciptakan kerja untuk diri sendiri sekaligus pusat kebudayaan Indonesia, Koperasi tak berurusan dengan partai dan nama pimpinan politik apa pun. Tak pernah ada poster politik atau LSM internasional dipajangkan kecuali bendera Merah Putih dan Garuda Indonesia.

Jika mau mencari contoh lain tentang hasil kemandirian ini, barangkali bisa dilihat juga pada lahirnya Pulau Buru yang sejak kedatangan para tapol yang dituduh PKI. Buru baru dibangun oleh para tapol dengan dua tangan kosong. Dari contoh ini, barangkali kita bisa mereka dan membayangkan Indonesia yang lain bida dibangun dengan semangat mandiri/berdikari [bukan autakarki] tanpa menjadi bangsa koeli dan budak, entah budak dan koeli dari IMF atau Bank Dunia. Individualisme adalah awal kediktatoran, dan sisa dari paternalisme, sekeluarga dengan feodalisme, militerisme dan orangtuaisme yang sering menggunakan selubung dan jubah “kiri”. Di mulut sering kita menyatakan bahwa kita anti semua ini, tapi dalam praktek kita melakukannya.”Lain di bibir lain di hati”, karena “lidah tak bertulang”, ujar tetua kita menyimpulkan pengalaman.

Bung Umar Said dan saya sendiri, yang sudah mendapat pekerjaan, betapa pun sederhananya,  untuk mendapatkan bantuan pemerintah guna mendirikan koperasi restoran ini, sukarela menganggurkan diri. Karena di sini ada kolusul undang-undang bahwa pemerintah Perancis akan membantu para penganggur yang berprakarsa menciptakan pekerjaan sendiri. Pengangguran diri sukarela ini, dimaksudkan sebagai salah satu cara mencarikan modal awal mendirikan koperasi restroan.

Hal ini terpaksa saya katakan untuk menjawab heroisme individualis sebagai sisa pola pikir, konsepsional, dan mentalitas tak sehat karena keterbatasan pandangan dan ketidaktahuan sehingga sanggup mengabaikan kenyataan, lalu omong asal omong.  Dari segi ini , saya melihat bahwa lahir dan berkembangnya Koperasi Restoran Indonesia, sekaligus sebagai ujud dari ajang pergulatan pikiran, pola pikir, mentalitas, sikap dan tafsir hakiki.

Semangat kemandirian yang lahir dari keadaan dan keinginan menghargai diri sendiri serta menjaga martabat diri, memberikan akal dan prakarsa agar kita menolak menyerah menarungi garangnya hidup. Tegak sebagai tokoh Rukmanda-nya Kalara Akustia.

Sejak hampir tiga puluh tahun, di Pontianak kami menjawab kongkret pertanyaan ini melalui kegiatan-kegiatan Konsursium Pancur Kasih, yang bisa dibilang bergiat  lebih dahulu dari Moh. Yunus, penerima Nobel dari  Bangladesh, dan mendapatkan hasil-hasil nyata yang tidak mengecewa, hanya kurang pemberitaan. Bertolak dari praktek-praktek ini, termasuk dalam praktek mendirikan dan mengembangkan Koperasi Restoran Indonesia Paris, serta apa yang pernah saua rintis ketika bekerja di Indonesia selama beberapa tahun, saya masih mengatakan bahwa Indonesia tetap sebagai suatu negeri di mana kita tetap bisa berharap betapun amburadulnya sekarang. Kemandirian, harga diri dan martabat diri menyusur jalan Republik dan berkeindonesiaan, adalah arah dari suatu pilihan politik penyelenggara Negara. Barangkali! Di Paris, Koperasi Indonesia sudah melakukannnya dan sampai sekarang bisa serta tanggap zaman. Koperasi di tengah sistem kapitalistik atau Negara Kesejahteraan! Di Kalbar dan sekarang mulai menyebar ke seluruh Kalimantan usaha serupa mulai menyebar tanpa menunggu Jakarta.