Konsep Ijtihad menurut NU

Konsep Ijtihad menurut NU. Setelah membahas tentang pengertian bahsul masail, ahlus sunnah wal jamaah serta sejarah berdirinya NU kali ini kita akan kembali melihat konsep ijtihad menurut NU. 

Sebelum membahas lebih lanjut, tentang konsep ijtihad perspektif NU, kiranya perlu dikemukakan konsep-konsep ijtihad menurut pandangan ulama pada umumnya:

Konsep Ijtihad menurut NU

Di antara pengertian ijtihad yang sering dikemukakan adalah para ulama fikih / ushul fikih adalah definisi al-Gazali, yaitu:

Pengerahan kemampuan secara maksimal seorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.

Dari definisi tersebut setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad yaitu:

  1. Pengerahan segenap kemampuan yang berijtihad merupakan usaha jasmani rohani, tenaga fikiran, waktu maupun biaya dan bukan upaya ala kadarnya.
  2. Seorang mujtahid mengandung arti bahwa ijtihad hanya menggunakan dan boleh dilakukan oleh seseorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai level mujtahid dan bukan sembarang orang.
  3. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengandung arti bahwa capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah manusia dalam kaitannya dengan pengalaman ajaran agama.

Sementara al-‘Amidi (551-631 H/1156-1233 M) mendefinisikan sebagai berikut:

Mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zanni, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ijtihad dalam bidang hukum Islam adalah pengerahan kemampuan intelektual secara optimal untuk mendapatkan hukum suatu permasalahan pada tingkat zanni.

Al-Syaukani mendefinisikan ijtihad bahwa:

Mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode istinbat.

Dari defenisi al-Syaukani ada satu penekanan mengenai cara berijtihad, yaitu dengan cara istinbat yang pengertiannya mendalami, mengkaji suatu lafaz untuk dikeluarkan atau ditetapkan hukumnya. Hal ini berarti bahwa menetapkan hukum dari suatu nash yang secara jelas telah menunjuk suatu hukum tidak bisa dinamakan suatu ijtihad. Jadi intinya adalah lapangan ijtihad adalah masalah yang tidak jelas penunjukan hukumnya.

Dari ketiga definisi tersebut, dapat dirangkum dalam beberapa komponen:

  1. Ijtihad adalah suatu usaha maksimal
  2. Ijtihad harus (dan hanya dapat) dilakukan oleh orang yang ahli
  3. Lapangan ijtihad adalah hukum syara’
  4. Ijtihad harus ditempuh melalui cara istinbat
  5. Status hukum dari hasil ijtihad adalah zanni

Motivasi berijtihad telah ada sejak pada masa nabi, hal ini terbukti dengan adanya beberapa riwayat tentang bolehnya berijtihad sebagai contoh:

Diriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘As bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah saw., bersabda: apabila seorang hakim hendak memutuskan (suatu perkara) lalu berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara lalu berijtihad, kemudian ijtihadnya itu salah, maka dia masih mendapatkan suat pahala (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Dari Hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwa nilai motivasi yang diberikan oleh Rasulullah saw., agar umatnya mau dan terdorong untuk berijtihad cukup jelas dan eksplisit (tersurat) dalam hadis. Karena orang yang benar ijtihadnya mendapat dua pahala kebenaran yang dicapainya. Sementara yang ijtihadnya salah, ternyata tidak berdosa bahkan mendapat satu pahala. Konsep Ijtihad menurut NU