Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an | Nasikh Mansukh dalam Hadits

Pengertian Nasakh dan Mansukh. Menurut bahasa Nasakh memiliki 2 macam arti yaitu: “Menghilangkan dan menghapuskan” nasakh juga mengandung pengertian “Memindahkan sesuatu dari tempat ketempat yang lain”.

Menurut istilah, nasakh berarti mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau kitab Allah yang datang kemudian oleh hukum yang datang dari padanya.

Sedangkan Al-Mansukh ialah hukum yang di angkatkan oleh hukum yang datang kemudian.

Pola-pola Nasakh

Ulama lama menyusun pola-pola nasakh dalam Al-Qur’an sesuai dengan konsep-konsep yang berbeda dengan nasakh. Apa bila di perhatikan watak teks yang me-naskh dan yang dinasakh, maka kita berada dalam wilayah membandingkan antara Al-Qur’an dan hadist. Apakah boleh Al-Qur’an dinasakh dengan teks-teks sunnah? Dalam hal ini ulama berselisih pendapat:

Satu pendapat mengatakan bahwa Al-Qur’an hanya dapat di naskh dengan Al-Qur’an sebagaimana firman Allah, :

“Ayat apa saja yang kami naskh atau kami buat terlupakan, akan kami datangkan yang lebih baik darinya atau sebanding dengannya”. Mereka mengatakan; yang sebanding dengan Al-Qur’an hanyalah Al-Qur’an.

Satu pendapat yang juga mengatakan bahwa Al-Qur’an dapat di nasakh dengan hadist/sunnah sebab sunnah juga berasal dari sisi Allah. Allah berfirman “Tidaklah ia (Nabi) mengatakan berdasarkan hawa nafsu”

Sedangkan menurut Asy-Syafi’i mengatakan “Sekiranya terjadi naskh Al-Qur’an dengan sunnah itu berarti di samping sunnah ada Al-Qur’an yang menopangnya dan sekiranya terjadi nasakh sunnah dengan Al-Qur’an, itu berarti bersama dengan Al-Qur’an ada hadist yang menopangnya iniagar kesesuaian antara Al-Qur’an dan sunnah menjadi jelas.

Al-Qur’an dan sunnah merupakan 2 teks keagamaan keduanya berbeda dalam beberapa sisi yang menjadikan ulama fiqh dan ushul meletakkan sunnah ditingkatan berikutnya ditinjau dari siginifikansi bagi Al-Qur’an apa bila sunnah dikesampingkan dalam interkasinya dengan Al-Qur’an, berarti mengabaikan sisi penting dalam memahami teks, sebab mempersamakan Al-Qur’an dan sunnah tidak kalah bahayanya dari bahaya yang ditibulkan oleh sikap mengenyampingkan sunnah secara total.

Memperhatikan persoalan nasakh dan mansukh dari sudut pandang ini. Kita akan temukan para ulama menyusun ayat-ayat yang me-naskh dan di nasakh berkisar pada pola-pola berikut:

  1. Ayat-ayat yang teksnya dinaskh, namun hukumnya tetap berlaku
  2. Ayat-ayat yang hukumnya dinaskh namun teks tetap.
  3. Ayat-ayat yang hukum dan teksnya sekaligus di nasakh

Pola pertama dari ketiga mengandung Dalalah yang berbahaya dan dianggap oleh sebagian para ulama keduanya tidak rasional dan pola yang paling umum dan rasional hanyalah pola kedua karena pada dasarnya terkait dengan definisi dan nasakh dan mansukh tersebut.

Syarat-syarat adanya nasakh

  1. Yang di mansukhkan hendaklah hukum syara
  2. Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan hukum itu ialah dalil syara yang datangnya kemudian
  3. Nasakh terdapat  pada perintah dan larangannya
  4. Nasakh tidak terdapat dalam akhlak dan adab di dorong Islam adanya
  5. Tidak terjadi pada akidah, seperti zat-Nya, sifat-Nya, ktab-Nya, hari akhir.
  6. Tidak pula mengenai khabar shahih (jelas dan nyata) seperti mengenai: Janji baik Allah swt bagi orang bertakwa masuk syurga dan Janji jahat Allah swt bagi orang yang mati kafir, atau musyrik, masuk neraka
  7. Tidak terjadi mengenai iabdat dan mu’amalat, karena semua agama tidak lepas dari dasar-dasar ini

Perbedaan pendapat tentang adanya ayat Al-Qur’an yang mansukh

Nasakh dapat terjadi ditinjau dari segi akal maupun riwayat. Pendapat ini sudah disepakati ulama-ulama ushul.

  1. Menurut Imam Fakhrurazi: nasakh bagi kita dapat terwujud secara akal dan riwayat
  2. Imam Abu Muslim al-Ashafani mengingkari adanya nasakh di dalam Al-Qur’an dengan alasan: berdasarkan Q.S. Fushilat ayat 42 yang artinya: “Tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang maha bijaksana lagi Maha Terpuji”. Menurut Abu Muslim ayat ini, menunjukkan bahwa sesunggguhnya diingkari adanya nasakh karena dalam ayat ini seakan-akan Allah swt berfirman: “Sesungguhnya ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an itu semunaya adalah wajib bagi ummat Islam untuk mengamallkannya tanpa ada rasa ragu-ragu.
  3. Mayoritas ulama Islam, sepakat adanya nasakh. Dengan alasan bahwasannya dalil-dalil yang menunjukkan atas kenabian Muhammad saw tidak dianggap benar kecuali dengan manasakh syariat-syariat nabi sebelumnya sehingga dengan demikian nasakh tetap wajib adanya. Alasan kedua adalah berdasarkan firman Allah:

 “Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Ayat ini menurut Jumhur jelas menunjukkan tentang adanya nasakh dalam Al-Qur’an.

Beberapa contoh ayat nasakh dan mansukh

a. QS. An-Nisa ayat 11

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan “

Ayat ini memansuhkan hukum wasiat dan Ibnu dan bapak kepada anak mereka. Dalam firman Allah:

Q.S. Al-Baqarah ayat

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

b. Allah swt memerintahkan kepada perempuan-perempuan yang ditinggalkan mati suaminya beribadah satu tahun, firman Allah :

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kemudian Iddah yang satu tahun ini dinasakhkan dengan 4 bulan 10 hari. Firman Allah:

c. Pengharaman minuman keras (khamir) berlangsung melalui 4 tahap. Tahap pertama Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an QS. An-Nahl ayat 67. dalam ini Allah menerangkan bahwa dari ke 2 buah kurma dan anggur orang membuat khamr, yaitu minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.

Pada tahap kedua Allah berfirman QS. Al-Baqarah 219 menjelaskan tentang peringatan  untuk memalingkan orang secara langsung karena mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya pada tahap ketiga Allah telah mengharamkan khamr secara parsial ini tertuang dalam QS an-Nisa ayat 43. dalam ayat ini Allah mengharamkan khamr pada waktu shalat saja.

Pada tahap ke 4 Allah mengharamkan khamr secara total dengan ayat

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Menurut saya, naskh itu sangat penting karena dengan adanya nasakh itu kita bisa mempunyai pegangan, yang mungkin pada zaman dahulu di larang tapi sekarang tidak lagi karena adanya nasakh itu karena di setiap perubahan zaman pasti ada yang berbeda seperti, “Pada awalnya nabi melarang wanita mengantar jenazah kekuburan karena pada saat itu wanita-wanitanya meratap sangat berlebihan dan di kemudian hari nabi membolehkan karena wanita-wanitanya sudah bisa mengendalikan dirinya”. Walaupun ada juga yang menolak adanya nasakh karena mereka menganggap Allah tidak konsisten dengan firmannya tapi itu hanyalah orang-orang yahudi yang tidak mengharapkan adanya nasakh.

Secara pribadi, menurut kami nasakh dalam Al-Qur’an itu sangat diperlukan, karena sebenarnya nasakh memberikan gambaran yang positif bahwa Al-Qur’an itu memberlakukan suatu hukum pada setiap keadaan ummat. Sehingga ummat merasa kehilangan pegangan, walaupun bagi mereka yang menolak adanya nasakh menganggap bahwa Allah tidak konsisten dalam firmannya namun pada dasarnya ini adalah pendapat Yahudi yang sama sekali menolak adanya nasakh, namun bagi ummat Islam sendiri, dengan nasakh ini mereka mendapat kemudahan dan sama sekali tidak merugikan  mereka, dimana ayat yang sudah tidak berlaku lagi hukumnya masih dianggap ibadah dan berepahala bagi yang membacanya dan ini memberikan kesan tersendiri bahwa Al-Qur’an itu tidak pernah berubah dan berlaku di sepanjang zaman.