Otonomi Daerah pada Masa Reformasi

Otonomi Daerah di Masa Reformasi. Setelah tiga puluh dua tahun Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan, tuntutan perubahan yang ditandai dengan gerakan reformasi, yang menuntut perbaikan pada kehidupan politik dan demokratisasi, di samping kehidupan ekonomi yang baru saja terpuruk. Pada era ini, pemerintahan rezim orde baru yang pada awalnya baik, khususnya apabila dilihat dari segi peningkatan kesejahteraan rakyat, ditandai  dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada dekade 1980-an sampai awal 1990-an. Akhirnya mengalami krisis moneter yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997.

Namun keberhasilan pemerintahan orde baru dalam bidang ekonomi, banyak dipuji oleh dunia internasional, dan disebut sebagai suatu keajaiban (miracle) Indonesia disebut sebagai satu di antara lima macan asia, yang terdiri dari RRC, Korsel, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Keberhasilan ekonomi ini tidak urung menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mendapatkan tempat yang terhormat dalam pergaulan bangsa-bangsa. Penghargaan dari negara-negara lain tersebut diakui oleh presiden Megawati Soekarnoputri, sebagaimana yang dilansir kompas pada edisi Senin 26 Oktober 2001. Pengakuan tersebut disampaikan oleh Megawati Soekarnoputri pada saat memberikan pengarahan kepada jajaran Diplomat Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:

Dari dekat saya juga menyimak dengan penuh keprihatinan betapa menurunnya pandangan dan citra negara dan bangsa kita di luar negeri. ..

Kita merasakan betapa telah tiadanya lagi rasa kagum dan berkurangnya sikap hormat  yang pernah hingga ketika Indonesia disebut sebagai satu diantara beberapa negara dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan selama dasawarsa 80-an dan awal 90-an.

Otonomi Daerah pada Masa Reformasi

Krisis moneter yang  melanda asia kemudian menjadi momentum untuk menggusur pemerintahan orde baru. Harus diakui bahwa terlepas dari keberhasilannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah orde baru telah gagal menciptakan sistem politik dan kehidupan bernegara yang demokratis.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, rezim orba dinilai tidak adil oleh daerah-daerah yang memiliki nilai lebih dalam arti memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Ketidak adilan tersebut ditandai dengan pengaturan sistem pemerintahan darah yang sentralistis, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah UU No. 5 tahun 1974 dibuat dengan asumsi bahwa dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya daerah akan menjadi tidak respek terhadap pemerintah pusat yang pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi. Otonomi Daerah.

Krisis moneter menjadi momentum melemahnya Rezim Soeharto, para intelektual politik dan mahasiswa kemudian menurut perbaikan ekonomi. Tuntutan akhirnya mengkristal menjadi perlawanan terhadap rezim orba, rakyat yang selama tiga puluh dua tahun terpasung hak-hak politiknya, kemudian menuntut turunnya presiden Soeharto. ABRI yang selama ini menjadi andalan rezim orde baru, tidak bisa berbuat banyak untuk melindungi kekuasaan orde baru. Polri malah dimusuhi oleh masa rakyat, pos-pos polisi banyak yang dihancurkan masa. Hanya marinir yang mendapat penerimaan simpatik dari masa.

Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Lemahnya pemerintahan rezim orba, kemudian diikuti oleh gejolak di daerah-daerah. Riau menuntut merdeka, kalimantan, makassar juga tidak ketinggalan menurut negara Indonesia timur malah Sulawesi merdeka. Papua dan Aceh telah lebih dulu bergolak dan telah menjadi pekerjaan rutin militer untuk memadamkannya, sementara di Maluku dan Kalimantan Barat kemudian meluas ke poso Sulawesi Tengah, terjadi kerusuhan yang melibatkan RASA.

Lengsernya Soeharto tanggal 21 Mei 1999, kemudian diikuti dengan tampilnya Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie sebagai presiden yang juga banyak diperdebatkan, tetapi aturan yang tertulis dalam pasal 7 UUD 1945, jelas menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis waktunya.

Penolakan terhadap berbagai manipulasi politik orde baru tersebut mendapatkan momentumnya pada  saat krisis multidimensi yang kemudian merontokan mitos Indonesia sebagai negara yang mempunyai julukan ajaib. Indonesia pasca orde baru adalah negara yang baru menata demokrasi dan mengalami keterpurukan ekonomi.

Dalam bidang pemerintahan daerah, Habibie menjawab tuntutan daerah kaya, dengan mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang pertimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kedua UU tersebut secara subtansial sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan daerah. Dalam beberapa hal UU No. 22 tahun 1999 dianggap telah menganut asas-asas federalism, sering dengan semakin sedikitnya kewenangan yang dimiliki pemerintah pusat di daerah. Dalam pasal 7 UU No. 22 tahun 1999, yang menegaskan bahwa kewenangan pemerintah pusat di daerah hanya meliputi:

  1. Bidang pertahanan
  2. Bidang moneter dan fiskal
  3. Bidang politik  luar negeri
  4. Bidang peradilan
  5. Agama

Berakhirnya kekuasaan Habibi sebagai akibat kebijaksanaan yang kontroversial  yang mengizinkan Timor Timur mengadakan referendum, yang kemudian menyebabkan lepasnya Tim-Tim dari Indonesia. Persoalan tersebut menjadi sandungan utama  Habibie untuk masa jabatan kedua pasca pemilu 1999, sebab pertanggung jawabannya ditolak oleh MPR-RI. Walaupun secara realistis kebijakan-kebijakan Habibie sebenarnya logis, tetapi realitas politik menyatakan bahwa Habibie harus turun dari kursi kepresidenan.

Abdurrahman Wahid yang semakin banyak dipersoalkan oleh kalangan politisi senanyan, akhirnya harus turun dari kursi kepresidenan seiring dengan hasil temuan pansus Bulogate/Brunei Gate yang memberikan kesimpulan patut diduga kalau Abdurrahman Wahid terlibat kasus tersebut. Abdurrahman Wahid akhirnya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI. Megawati Soekarno Putri yang rasionalis telah banyak diprediksi sebelumnya, bahwa pemerintahannya tidak akan sungguh-sungguh menangani pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 dalam banyak hal kedua UU tersebut mengandung banyak persoalan. Di era Megawati Soekarnoputri dengan Mendagrinya Hari Sabarno, timbul upaya-upaya untuk merevisi UU No. 22 Tahun 1999, padahal UU tersebut belum sepenuhnya dijalankan, berhubung masih banyaknya aturan pelaksanaan kedua UU tersebut yang belum dikeluarkan oleh pemerintah.