Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru

Otonomi Daerah di Masa Orde Baru. Pemerintah orde baru pada awalnya hadir sebagai koreksi atas kegagalan pemerintah orde lama. Koreksi tersebut sebagaimana disampaikan oleh Jenderal Soeharto, tokoh supersemar yang kemudian menjadi presiden paling lama ini adalah sebagaimana  disampaikan pada pembukaan Kongres Luar Biasa Kesatuan dan keutuhan partai nasional Indonesia, Soeharto (dalam LP3ES, 1988:134) menyatakan sebagai berikut: Ketiga penyelewengan dimaksud adalah;

  1. Radikalisme PKI
  2. Terjadinya oportunisme politik yang didorong oleh ambisi pribadi
  3. Terjadinya penyelewengan ekonomi

Keadaan ekonomi pada era orde lama di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno memang masih morat marit, keadaan tersebut di samping karena kondisi bangsa Indonesia yang  baru merdeka, juga karena kebijakan pemerintahan rezim Soekarno yang dinilai terlalu memperhatikan masalah politik, tetapi mengesampingkan masalah ekonomi. Di dalam negeri, pemerintah sangat memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya  bagi politisi sipil untuk tampil, sedangkan dipanggung politik internasional, Indonesia juga sangat aktif, sampai keluarnya Indonesia dari PBB.

Politik Ir. Soekarno yang hendak membangun kesatuan antara tiga golongan politik utama Indonesia (PNI, PKI, Agama) yang dikenal dengan istilah NASAKOM, yang berakhir pada meletusnya tragedi G 30 S PKI tahun 1965.

Sejarah Otonomi Daerah pada Masa Orde Baru

Krisis politik yang mengiringi meletusnya G30SPKI tahun 1965 dengan sendirinya juga menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Keadaan ekonomi Indonesia pada saat itu sangat terpuruk, rupiah mengalami apresiasi yang sangat tajam terhadap Dollar Amerika, inflasi pada akhir pemerintahan orde lama dan awal orde baru adalah 600%. Akibat krisis politik dan keterpurukan ekonomi yang ada, menyebabkan jenderal Soeharto yang didukung oleh kalangan teknokrat menyusun strategi pembangunan ekonomi, dan mengesampingkan pembangunan politik. Akan tetapi walaupun demikian pemerintah orde baru harus mempertahankan kekuasaannya melalui pemilihan umum.

Dengan demikian untuk mempertahankan kekuasaannya pemerintah orde baru harus mendekati dua partai besar tersebut (PNI dan NU). Akan tetapi kedua partai ini memiliki persoalan yang sama terhadap orde baru, PNI dipandang sebagai partainya Soekarno, malah dalam pemilu 1971 PNI telah mengidentifikasikan diri dengan Ir. Soekarno. Sedangkan untuk mendikte NU juga bukan merupakan pilihan yang tepat bagi orde baru, sebab orde baru yang pancasilais tidak akan sejalan dengan NU yang merupakan partai agama yang masih mencita-citakan pendirian negara islam. Dengan demikian pilihan terbaik orde baru adalah membesarkan golongan karya untuk dijadikan sebagai kendaraan politik pemerintahan orde baru. Sejak saat itulah berbagai manipulasi politik dilakukan oleh pemerintahan rezim orde baru, dengan mesin utama militer dan birokrasi, upaya pemenangan golongan karya ini kemudian dikenal dengan istilah politik masa mengambang, yaitu kebijakan untuk membuat masa rakyat tidak memiliki kedekatan emosional dengan partainya.

Kehadiran UU No. 5 Tahun 1974 tenang pemerintahan daerah diyakini akan mampu menciptakan stabilitas daerah, dengan demikian eksekutif diberi kewenangan yang sangat besar sebagai penguasa tunggal di daerah. Walupun demikian UU tersebut dinyatakan bahwa pemerintah daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD, akan tetapi tidak ada balances sama sekali, sebab sebagaimana di pusat, di daerah DPRD juga hanya merupakan tukang stempel untuk kepentingan eksekutif.

Pemilihan kepala daerah yang dilakukan DPRD adalah retorika belaka, sebab siapa yang harus jadi telah ditetapkan sebelumnya termasuk siapa mendapatkan berapa suara. Apabila skenario tidak berhasil, dan calon yang diunggulkan ternyata tidak terpilih, maka pemerintah pusat akan dengan mudah memilih/mengangkat kembali orang yang telah diproritaskan tersebut, sebab hasil pemilihan DPRD kemudian diajukan kepada pusat, and pusat bebas menentukan siapa yang akan dilantik dari hasil usulan/hasil pemilihan tersebut (Pasal 15 UU No. 5 tahun 1974).

Jadi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 5 Tahun 1974 dalam pasal 11 hanya merupakan retorika belaka, sebab sampai UU No. 5 tahun 1974 dicabut, tidak pernah ada peraturan pelaksanaannya. Pemerintah orde baru memang pernah mengadakan otonomi percontohan atau lebih tepatnya  uji coba penerapan otonomi daerah yang dilaksanakan pada satu daerah kabupaten/kota pada masing-masing propinsi. Program tersebut gagal total, karena memang semangat orde baru bukan untuk mengadakan otonomi daerah, tetapi strategi yang matang agar ada alasan kuat untuk tetap menerapkan sentralisasi kekuasaan atau pemerintahan daerah. Kegagalan otonomi percontohan ala orde baru tersebut disinyalir karena pemerintah pusat hanya memberikan kewenangan yang sebesar-besarnya tetapi tidak memberikan uang, alat dan aparat. Istilah yang berkembang saat itu adalah ‘kepala dilepas akan tetapi ekor ditahan’.

Pemerintah order baru tidak akan mau memberikan otonomi daerah, sebab memberikan otonomi berarti membagi kekuasaan sedangkan pembagian kekuasaan akan menyebabkan kekuasaan akan berkurang dan berkurangnya kekuasaan akan menyebabkan berkurangnya wibawa pemerintahan pusat yang kemudian akan menyebabkan terjadinya pembangkangan pemerintah daerah yang jauh dari kekuasaan pemerintah pusat.

Padahal apabila kita cermati, maka strategi pemerintah orde baru dalam menjalankan UUD 1945 yang katanya akan konsekuen telah mulai tampak, sebab dengan penyeragaman pemerintah daerah maka dengan sendirinya pemeritah orde baru telah melanggar pasal 18 UUD 1945 yang mengatur bahwa daerah-daerah dibentuk atas daerah besar dan kecil dengan memandang dan mengingat dasar-dasar permusyawaratan dan hak-hak asal usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa. Pemerintah orde baru tanpa ada persetujuan dari masyarakat di daerah-daerah mengadakan penyeragaman dengan menghapus keistimewaan daerah-daerah yang pada masa orde lama di akui sebagai daerah-daerah swapraja yang dalam pengaturannya tetap mengindahkan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat sebelumnya.

Setelah pemilihan Umum 1971 yang telah memberikan kemenangan yang besar bagi GOLKAR sebagai partai politik  rezim orde baru (walupun orba tetap tidak ingin menyebut GOLKAR sebagai parpol) maka ketetapan MPRS No. XXI/ 1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya dicabut dengan ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan MPRS RI. Dengan alasan bahwa muatan Tap No  XXI/I/MPRS / 1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya tersebut telah ditampung dalam garis-garis besar haluan Negara. Dengan demikian semakin nampak kalau rezim Orba berupaya agar daerah-daerah harus tunduk di bawah rezim orde baru tanpa syarat.

Otonomi Daerah

Kemungkinan besar Rezim Orba di bawah komando Pak Harto ini, ingin membangun pemerintahan Indonesia seperti pada zaman kejayaan mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung. Pada masa kepemimpinan kesultanan Mataram, menganut asas keagungbinataraan yang bermaksud bahwa kekausaan harus terpusat pada satu tangan, dan tidak boleh ada yang menyaingi. Kalau ada saingan, maka saingan tersebut  harus diperangi, atau dibunuh agar kekuasaan tetap tunggal adanya. Maka kita lihat, betapa jelas rezim orde baru melemahkan semua lembaga tinggi negara. DPR, DPA, BPK, dan MA adalah perpanjangan tangan presiden malah MPR yang seharusnya pemegang kedaulatan tertinggi di negara RI malah dijadikan tukang stempel kebijakan orde baru otonomi daerah.