Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama

Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama. Pelaksanaan pemerintahan daerah pada masa pemerintahan orde lama, di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno, sukar untuk diberikan suatu generalisasi tunggal, bahwa apakah pada orde lama pemerintahan daerah dilaksanakan dengan sistem yang tersentralisasi, atau melaksanakan sistem pemerintahan yang desentralisasi (otonomi). Pemikiran tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pada era pemerintahan rezim Soekarno yang kemudian oleh orde baru disebut orde lama (1945-1966), ditandai sebagai era yang penuh gejolak, baik pemberontakan di daerah-daerah  yang menuntut pemisahan diri seperti RMS (Republik Maluku Selatan), Permesta, pemerintahan karena ideologi Republik Indonesia (PRRI) maupun yang memberontak karena ideologi seperti PKI di Madiun, DI/TII Kartusuwiryo di Jawa Barat, yang kemudian meluas ke Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan.

Di lain pihak, era pemeritahan orde lama diwarnai dengan perubahan konstitusi  yang dengan sendirinya juga akan mempengaruhi sistem pemerintahan yang ditetapkan di daerah-daerah. Sebagaimana telah diketahui, bahwa era 1945-1949 bangsa Indonesia masih bergelut melawan Belanda dengan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia melawan Belanda dengan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia. Dilahirkan dua UU yang mengatur pemerintahan daerah, yang pertama yaitu UU No. 1 Tahun 1945 tentang kedudukan peraturan mengenai komite nasional daerah UU ini sangat singkat, yang hanya memuat enam pasal yang ditetapkan ada tanggal 23 November 1945. UU No. 1 Tahun 1945 mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah), sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa awal kemerdekaan setelah proklamasi, bangsa Indonesia belum memiliki perangkat kenegaraan yang memadai, sehingga diaturlah bahwa pada masa awal kemerdekaan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menyelenggarakan semua tugas-tugas lembaga kenegaraan, sampai terbentuknya lembaga negara seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Ketentuan ini dapat dibaca dalam Pasal III aturan  peralihan UUD 1945 yang berbunyi:

“Sebelum majelis permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan dewan pertimbangan agung dibentuk menurut undang-undang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan komite nasional”.

Otonomi Daerah pada Masa Orde Lama

Makalah Otonomi Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 sukar diterima oleh daerah-daerah di luar jawa dan Madura, mengingat situasi saat itu, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunan Surakarta di Solo pun juga tidak diatur secara jelas, mengingat pemerintah pusat pada saat itu masih menghargai keberadaan kedua daerah tersebut, yang tetap diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, walaupun dengan berbagai pembatasan dan intervensi.

Kemudian yang kedua, pada saat pemerintahan republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, pada tanggal 10 Juli tahun 1948, dikeluarkanlah UU No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini langsung dinyatakan berlaku oleh pemerintah Indonesia pada hari itu juga. UU ini tidak mendapatkan pengesahan dari DPR sebagai yang diatur dalam UUD 1945, tetapi oleh BP-KNIP. UU No. 22 Tahun 1948 memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Pemerintah daerah dinyatakan terdiri atas DPRD dan DPD (Pasal 2:1)
  2. Kepala daerah menjabat ketua DPD (Pasal 2:3)
  3. Anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota DPRD. Apabila anggota DPD berhenti dari keanggotaannya sebagai DPRD, maka dengan sendirinya yang bersangkutan juga berhenti dari keanggotaan DPD atau sebaliknya.
  4. DPRD yang membuat pedoman untuk DPD guna mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya, yang sebelum diberlakukan harus mendapatkan persetujuan Presiden (pasal 15)
  5. DPRD mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU Pembentukan bagi tiap-tiap daerah (Pasal 23)
  6. Sekretaris Daerah tidak dikenal, yang ada adalah sekretaris DPRD, yang merangkap sekretaris DPD, yang diangkat dan diberhentikan oleh DPRD, atas usul DPD (pasal 20).

Dari enam poin tersebut di atas, dapat dicermati bahwa dalam UU No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah, kewenangan DPRD sangat besar, dan dengan mudah dapat kita tarik kesimpulan, bahwa UU No. 22 tahun 1948 dibuat dengan sistem parlementer. Sebab kewenangan kepala daerah sangat minimal, bila dibandingkan dengan kewenangan kepala daerah dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.

Selain itu, dalam UU No. 22 tahun 1948, juga diatur dengan tegas dalam pasal 26, bahwa DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya dihadapan pemerintah dan DPR. Dengan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa pemerintah pusat saat itu sangat menghargai keberadaan daerah. Padahal anggota-anggota DPR juga merupakan wakil rakyat yang juga dipilih dari daerah-daerah. Selain itu dalam pasal 27 UU No. 22 tahun 1948, juga mengatur bahwa daerah-daerah dapat mengadakan kerjasama.

UU Otonomi Daerah

Dengan demikian yang dapat ditarik dari UU ini adalah:

  1. Sangat menghargai keberadaan daerah-daerah sebagai satu kesatuan masyarakat yang berbudaya dan memiliki karakteristik sendiri-sendiri
  2. Kekuasaan kepala daerah diminimalkan  yang dikedepankan adalah kekuasaan DPRD
  3. Memiliki nuansa parlementer. Dengan demikian sebenarnya tidak sejalan dengan UUD 1945 yang mengantu asas Presidensil. Walaupun demikian penyimpangan ini mungkin karena masih dalam masa awal kemerdekaan.

Walaupun demikian UU No. 22 tahun 1948 tetap berlaku sampai keluarnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, meskipun pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda dengan pihak Indonesia yang diwakili oleh Drs. Moh. Hatta telah mengambil kesepakatan tentang pembentukan negara Indonesia serikat (RIS) dengan pemerintahan Belanda. Dan Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RIS kecuali Irian Jaya yang akan diserahkan kemudian, sikap mempertahankan Irian dan sikap mengalahnya pemerintah Indonesia atas kesepakatan menyangkut Irian Jaya inilah yang kemudian menjadi kemelut yang hingga kini tetap menjadi problem diantara sebagian masyarakat Irian Jaya dengan pemerintah Indonesia.

Sejak tanggal 27 Desember 1949 dengan sendiirnya Indonesia berbentuk negara serikat, walaupun baru diumumkan lembaran negara oleh pemerintah RI pada tanggal 6 Februari 1950. Pengaturan tentang pemerintahan daerah, diatur berdasarkan keberadaan negara-negara bagian yang untuk lebih jelasnya dapat dicermati dalam pasal 2 Konsultasi Republik Indonesia Serikat sebagai berikut:

Republik Indonesia serikat menuju seluruh daerah Indonesia, yaitu daerah bersama

1. Negara RI dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetujuan Renville tanggal 17 Januari tahun 1948:

  • Negara Indonesia Timur
  • Negara Pasundan, termasuk distrik Federal Jakarta;
  • Negara Jawa Timur
  • Negara Madura
  • Negara Sumatera Timur dengan pengertian bahwa status quo asahan selatan dan labuhan batu berhubungan dengan negara Sumatera Timur tetap berlaku, negara Sumatera Selatan.

2. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri

Jawa Tengah

  • Bangka
  • Belitung
  • Riau
  • Kalimantan Barat (Daerah istimewa)
  • Dayak Besar
  • Daerah Banjar
  • Kalimantan Tenggara dan
  • Kalimantan Timur

3. Daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian

Menyangkut pemerintahan daerah, dalam kurun waktu 1950-1959, pemerintah tidak mengeluarkan satu UU yang mengatur tentang pemerintahhan daerah, hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 131, 132 dan pasal 133 UUDS 1950. Dalam ketiga pasal tersebut ditegaskan antara lain:

  1. Peraturan perundangan yang ada di daerah-daerah sebelumnya tetap berlaku sampai ada penggantinya
  2. Pemerintah akan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah
  3. Mempertegas kedudukan daerah-daerah Swapraja (bekas kerajaan yang pemerintahannya memiliki kekhususan).

Dengan demikian UU No. 22 Tahun 1948 yang hanya berlaku di wilayah republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku, demikian pula UU No. 44 tahun 1950 yang berlaku di wilayah Indonesia timur juga tetap berlaku  serta peraturan-peraturan peninggalan Belanda yang ada di daerah-daerah lainnya. UU No. 32 tahun 1956 tentang pertimbangan keuangan antara negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1956. Dalam dictum mengingatnya UU No. 32 tahun 1956 ini, tercantum antara lain UU No. 22 tahun 1948, dan UU No. 44 tahun 1950. Dengan demikian sampai tahun 1956, pengaturan pemerintahan daerah masih berjalan sendiri-sendiri sesuai keadaan sebelumnya. Sampai dengan keluarnya UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah.

UU No. 1 tahun 1957 yang diundangkan pada tanggal 18 Januari tahun 1957 dengan tegas mencabut UU No. 22 tahun 1948, dan UU No. 44 tahun 1950. Walaupun demikian apabila dicermati UU No. 1 tahun 1957 tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan UU No. 22 tahun 1948, dalam banyak hal seperti yang menyangkut pemerintahan daerah tetap sama, kecuali aturan mengenai tingkatan daerah, kalau dalam UU No. 22 tahun 1948 daerah dibagi atas daerah propinsi, daerah kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil). Dalam UU No. 1 tahun 1957, pembagiannya dipertegas dengan sebutan daerah propinsi (Dati I), daerah kabupaten (Dati II), dan daerah tingkat ke III.

Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada orde  lama, agak sukar untuk mengadakan penilaian secara umum, akan tetapi melihat beberapa muatan UU yang pernah berlaku, maka dapat disimpulkan bahwa pada masa orde lama utamanya pada saat UU No. 1 tahun 1945, dan UU No. 22 tahun 1948 dan UU No. 1 tahun 1957 daerah-daerah masih diberi keleluasaan yang besar untuk berotonomi, akan tetapi pasca Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 pemerintahan daerah telah bernuansa sangat sentralisasi.