Otonomi Daerah

Otonomi Daerah.  Sebagaimana yang telah diuraikan di depan, bahwa pada erat orde lama, khususnya pada saat berlakunya UU No. 1 tahun 1945 tentang pembentukan komite nasional daerah UU No. 22 Tahun 1948 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Masih sangat menghargai keberadaan daerah-daerah otonom di Indonesia, utamnya daerah-daerah Swapraja yang pada dasarnya adalah daerah-daerah yang dalam pelaksanaan Otonomi Daerah pemerintahannya masih sangat menghargai asal usul dari daerah tersebut. Daerah Swapraja pada dasarnya adalah daerah istimewa.

Daerah yang diberi status Swapraja berarti merupakan daerah bekas kerajaan, yang sampai zaman kemerdekaan tetap eksis. Keberadaan daerah-daerah tersebut dijamin dalam UUD 1945 dalam pasal 18, sedangkan dalam konstitusi RIS yang berlaku dari tanggal 27 Desember 1949 sampai 17Agustus 1950, jelas menganut asas federal, yang berarti jaminan terhadap keberadaan daerah-daerah sesuai asal-usulnya lebih dihormati. Setelah pemerintah negara-negara bagian memilih untuk bergabung dalam bentuk kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950, yang tentunya melalui proses negosiasi antar  mereka Otonomi Daerah. Maka diberlakukanlah UUDS tahun 1950 hanya walupun telah menghilangkan negaar bagian, namun keberadaan peraturan-peraturan dalam pemerintahan daerah tetap dipertahankan.

Otonomi Daerah Indonesia

Keberadaan daerah-daerah istimewa termasuk swapraja baru dihilangkan pada saat UU No. 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Dalam pasal 88 ayat 3 dinyatakan ‘Daerah-daerah swapraja yang defacto/ atau de jure, sampai pada saat berlakunya UU ini ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu daerah, dinyatakan hapus. Akibat-akibat dan kesulitan yang timbul diatur oleh menteri dalam negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya dan apabila dipandnang perlu diatur dengan peraturan pemerintah. Otonomi Daerah Walaupun demikian UU ini masih tetap mengakui keistimewaan Yogyakarta, dan Aceh serta kota Jakarta.

Otonomi Daerah Keistimewaan Yogyakarta

Keberadaan DIY memang memiliki nilai historis yang cukup menentukan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Selain itu DIY adalah wilayah kerajaan yang tidak sepenuhnya diintervensi oleh Belanda. Dengan demikian sebenarnya apabila DIY tidak menyatakan diri mendukung Proklamasi akan tetapi mau merdeka sendiri, maka kemungkinan besar sejarah akan berbeda dengan saat ini. Selain itu keberadaan Sri Sultan Hamengkubowono IX Otonomi Daerah yang merupakan raja Yogyakarta, dalam rangka mendukung  kemerdekaan sangat terasa saat itu.

Walau pun demikian alasan tersebut merupakan alasan yang tidak terlalu mendasar, sebab daerah-daerah lain pun demikian, mereka juga berjuang mati-matian menentang Belanda. Sebagai seorang pahlawan, maka pengorbanan Sri Sultan Hamengkubowono IX merupakan wuud kepahlawanannya.

Apabila Sri Sultan tidak melakukan itu dapat saja beliau dianggap penghianat perjuangan. Pendapat seperti itu mungkin akan muncul dalam pemikiran sebagian generasi muda yang mendalami ilmu pemerintahan dan tidak tinggal di Yogyakarta.

Keistimewaan Aceh

Kalau kita mempelajari perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan, juga sedikit mempelajari sejarah Aceh dalam masa penjajahan Belanda, maka kita akan merasakan betapa Aceh merupakan contoh nyata dari faith accompli para pejabat pemerintah sejak Soekarno sampai Soeharto. Otonomi Daerah Sedikit kita menyinggung sejarah, kalau daerah lain dapat ditundukkan oleh Belanda selama berabad-abad, atau minimal ditaklukkan oleh Belanda maka Aceh adalah kerajaan yang tidak pernah mau tunduk pada Belanda juga Jepang, walaupun Belanda dan Jepang tetap memerintah di sana, mereka tidak bisa aman berada di Aceh, walaupun sudah hampir separoh rakyat Aceh dibantai oleh pasukn Marsose, pasukan khusus Belanda yang sangat ganas. Belanda yang saat itu membunuh dan menyiksa tanpa mengenal HAM, tidak sanggup menundukkan rakyat Aceh.

Perang Aceh dimulai pada tanggal 26 Maret 1873, saat itu Belanda memakluman perang terhadap Kerajaan Aceh. Sejak saat itu Belanda berupaya menundukkan Aceh, tetapi sangat sukar, sampai Belanda mengutus Snouck Hungronye untuk mendalami Agama Islam di Arab, dan diharapkan dengan pengetahuannya akan menundukkan Aceh, tetapi tetap tidak pernah bisa ditundukkan secara total sampai perang dunia kedua. Aceh juga merupakan basis pemerintahan revolusioner republik Indonesia (PDRI), di saat semua wilayah RI dikuasai kembali oleh Belanda, Otonomi Daerah dan Presiden serta wakil presiden ditawan Belanda.

Otonomi Daerah Khusus Untuk Papua

Otonomi Daerah Propinsi Irian Jaya yang kini juga disebut Papua, merupakan wilayah RI yang pengakuan berikut penyerahannya dari Belanda tidak bersamaan dengan wilayah bekas jajahan Hindia Belanda lainnya di Nusantara. Dalam perundingan di Den Hag, disepakati bahwa wilayah Irian Barat akan diserahkan satu tahun kemudian, atau dalam sebagian informasi lainnya akan dibicarakan selanjutnya. Kesepakatan tersebut sebagaimana yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa kesepakatan tersebut akan menjadi persoalan panjang dalam kerangka integrasi dan nasionalisme Indonesia.

Irian Barat Otonomi Daerah sengaja diserahkan kepada Indonesia, banyak anggapan mengapa Belanda tidak menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia, tentunya dengan berbagai versi yang  terkadang bertentangan, tetapi penulis mengikuti alur pemikiran bahwa Belanda sengaja tidak menyerahkan Irian Barat, karena Belanda masih ingin mengeruk keuntungan dari tanah Irian Barat. Pendapat tersebut secara logis dapat dilihat, bahwa daerah-daerah jajahan Eropa lainnya pasca perang dunia II, kembali dapat diduduki oleh penjajah Eropanya, kecuali Belanda atas kepulauan Nusantara. Sehingga Belanda otonomi daerah tetap ingin mengangkangi Irian Barat, agar tetap memiliki daerah perahan.