Hukum Perkembangan Konvergensi dalam Psikologi Perkembangan

Pengertian Hukum Perkembangan. Pengertian hukum dalam perkembangan sudah tentu berbeda dengan hukum dalam dunia peradilan atau peraturan konstitusional. Hukum dalam pembahasan ini berarti kaidah atau patokan mengenai terjadinya peristiwa tertentu. Secara spesifik, hukum perkembangan dapat diartikan sebagai “Kaidah atau patokan yang menyatakan kesamaan sifat dan hakikat dalam perkembangan”. Dapat juga dikatakan, hukum perkembangan adalah patokan generalisasi, mengenai sebab dan akibat terjadinya peristiwa perkembangan dalam diri manusia.

Hukum konvergensi dalam Psikologi Perkembangan


Perkembangan manusia pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pembawaan sejak lahir, tetapi juga oleh lingkungan pendidikan. Hal Ini berarti masa depan kehidupan manusia, tak terkecuali para siswa, bergantung pada potensi pembawaan yang mereka warisi dari orangtua pada proses pematangan, dan pada proses pendidikan yang mereka alami. Seberapa jauh perbedaan pengaruh antara pembawaan dengan lingkungan, bergantung pada besar kecilnya efek lingkungan yang dialami siswa.

Apabila pengaruh lingkungan sama besar dan kuatnya dengan pembawaan siswa, maka hasil pendidikan yang didapat siswa itu pun akan seimbang dan baik, dalam arti tidak ada satu faktor pun yang dikorbankan secara sia-sia. Seterusnya, apabila pengaruh lingkungan lebih besar dan lebih kuat daripada pembawaan, hasil pendidikan siswa hanya akan sesuai dengan kehendak lingkungan, dan pembawaan (watak dan bakat) siswa tersebut akan terkorbankan. Sebaliknya, jika pembawaan siswa lebih besar dan lebih kuat pengaruhnya daripada lingkungan, hasil pendidikan siswa tersebut hanya sesuai dengan bakat dan kemampuannya tanpa bisa berkembang lebih jauh, karena ketidakmampuan lingkungan. Oleh karena itu, terlalu kecilnya pengaruh lingkungan pendidikan, misalnya mutu guru dan fasilitas yang rendah akan merugikan para siswa yang membawa potensi dan bakat yang baik.

Hukum Perkembangan dan Pengembangan Diri

Para siswa, seperti juga manusia dan organisme lainnya, memiliki dorongan dan hasrat mempertahankan diri dari hal-hal yang negatif seperti rasa sakit, rasa tidak aman, kematian, dan juga kepunahan d seterusnya. Untuk itulah mereka perlu sandang, pangan, papan, dan pendidikan.

Pada anak balita, wujud pertahanan diri itu dapat berupa tangis ketika lapar, atau teriakan yang disertai pelemparan batu ketika mendapat gangguan hewan atau orang di sekelilingnya. Dari usaha mempertahankan diri ini, berlanjut menjadi usaha untuk mengembangkan diri. Naluri pengembangan diri pada anak, antara lain dimanifestasikan dalam bentuk bermain untuk mengetahui segala sesuatu yang ada di sekitarnya Selanjutnya, pada anak-anak biasanya tampak keingintahuannya terhadap sesuatu itu berkali-kali. Alhasil, manusia berkembang karena adanya insting atau naluri pembawaan sejak lahir yang menuntutnya untuk bertahan dan mengembangkan diri di muka bumi ini.

Hukum Masa Peka


Peka artinya mudah terangsang atau mudah menerima stimulus. Masa peka adalah masa yang tepat yang terdapat pada diri anak untuk mengembangkan fungsi-fungsi tertentu, seperti fungsi mulut untuk berbicara dan membaca, fungsi tangan untuk menulis, dan sebagainya Masa “mudah dirangsang” ini sangat menentukan cepat dan lambatnya siswa dalam menerima pelajaran. Artinya, jika seorang siswa belum sampai pada masa pekanya untuk mempelajari suatu materi pelajaran, materi pelajaran tersebut akan sangat sulit diserap dan diolah oleh sistem memorinya.

Selanjutnya perlu dicatat, masa peka untuk belajar, seperti untuk belajar membaca dan menulis juga belajar berpikir abstrak (seperti belajar matematika), pada umumnya datang pada diri anak tepat pada waktunya. Kedatangan masa peka ini menurut sebagian ahli hanya sekali selam hidup. Sehingga keterlambatan memanfaatkan masa yang sangat berharga tersebut akan menyebabkan kesulitan belajar. Barangkali karena keterlambatan masa peka itulah, orang-orangtua yang buta huruf merasa sulit sekali mengikuti pelajaran membaca, menulis, dan berhitung.

Oleh karena itu, para orangtua dan guru seyogianya memperhatikan secara cermat perkembangan anak-anak didik dalam hubungannya dengan kedatangan masa peka belajar mereka. Apabila para orangtua dan guru lalai dalam memanfaatkan masa peka anak didik untuk mempelajari pelajaran-pelajaran tertentu, kemungkinan besar mereka akan mengalami kesulitan dalam mempelajari pelajaran-pelajaran tersebut. Kesulitan-kesulitan seperti ini memang dapat diatasi dengan upaya relearning (belajar ulang) atau remedial teaching, tetapi akibatnya proses penguasaan atas pelajaran-pelajaran lainnya mungkin akan terganggu.

Antara perkembangan dan belajar terdapat hubungan sangat erat, sehingga hampir semua proses perkembangan memerlukan belajar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap anak biasanya berkembang karena belajar.

Keperluan belajar bagi proses perkembangan, terutama perkembangan fungsi-fungsi psikis tak dapat kita ingkari, meskipun kebanyakan ahli tidak menyebutnya secara eksplisit. Bahkan, kemampuan berjalan yang secara lahiriah dapat diperkirakan akan muncul dengan sendirinya ternyata masih juga memerlukan belajar, meskipun sekadar memfungsikan organ kaki anak yang sebenarnya berpotensi untuk bisa berjalan sendiri itu.

Perkembangan ranah cipta, seperti berpikir dan memecahkan masalah dan perkembangan ranah rasa seperti meyakini kebenaran ajaran agama dan bertenggang rasa terhadap orang lain, tentu tidak timbul atau ada sendiri dalam diri seorang siswa tanpa belajar terlebih dahulu. Alhasil, kegiatan belajar siswa dalam segala bentuk dan manifestasinya sangat diperlukan untuk mendukung proses perkembangannya yang utuh dan menyeluruh.

Proses perkembangan fungsi-fungsi organ jasmaniah tidak terjadi tanpa diiringi proses perkembangan fungsi-fungsi rohaniah. Dengan demikian, suatu tahapan perkembangan tidak terlepas dari tahapan perkembangan lainnya. Jadi, perkembangan pancaindra, misalnya, tidak terlepas dari perkembangan kemampuan mendengar, melihat, berbicara, dan merasa. Selanjutnya kemampuan-kemampuan ini juga tidak terlepas dari perkembangan berpikir, bersikap, dan berperasaan.

Dalam hal perkembangan kognitif misalnya, seorang siswa memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep benda tertentu, umpamanya kursi. Dalam memahami konsep kursi, siswa tersebut tidak akan terpaku pada apa yang pernah ia lihat, tetapi berkembang pada benda-benda lain yang memiliki signifikansi yang sama dengan kursi seperti bangku, sofa, dan seterusnya. Bersamaan dengan pengenalan benda-benda tempat duduk itu, siswa tersebut juga mengalami perkembangan afektif, misalnya perkembangan apresiasi. Dengan berkembangnya apresiasi, ia akan bisa menilai tempat duduk mana yang mengandung nilai seni tinggi. Sofa ukiran Jepara contohnya, tentu akan nilai sebagai tempat duduk yang lebih indah dan nyaman daripada sekedar kursi atau bangku biasa.

Perkembangan kognitif dan afektif juga diiringi dengan perkembangan ranah psikomotor, yaitu pelbagai keterampilan yang selaras dengan pengetahuan dan perasaan yang telah ia miliki. Cara dan intensitas pemanfaatan keterampilan psikomotor itu pun disesuaikan dengan kebutuhan sebagaimana yang ditunjukkan oleh persepsi akalnya diapresiasi ranah rasanya. Contoh: cara mengangkat dan memindahkan sofa ukiran Jepara tentu berbeda dengan cara mengangkat dan memindahkan bangku atau kursi biasa. Begitu juga dengan penempatannya. Sofa ukir Jepara tentu tidak akan ditempatkan di dapur, sementara kursi biasanya ditempatkan di ruang tamu. Alhasil, tahapan-tahapan perkembangan ya terjadi dalam suatu ranah akan berpengaruh terhadap tahapan-tahap perkembangan dalam ranah lainnya. Inilah yang dimaksud dengan hukum kesatuan anggota badan dalam arti yang luas.

Lambat atau cepatnya proses perkembangan seseorang tidak sama dengan orang lain. Dengan kata lain, setiap orang memiliki tempo perkembangan masing-masing. Tempo-tempo perkembangan manusia pada umumnya terbagi dalam kategori: cepat, sedang, dan lambat. Tempo perkembangan yang terlalu cepat atau terlalu lambat biasanya menunjukkan kelainan yang relatif sangat jarang terjadi.

Pada dasarnya tempo cepat, sedang, dan lambat tidak menunjukkan kualitas proses perkembangan seorang anak yang normal. Si A misalnya mungkin berkembang lebih cepat daripada si B, dan si B berkembang lebih cepat daripada si C. Padahal, mereka bertiga berasal dari keluarga yang sama. Dalam hal ini, orangtua dan guru tak perlu merisaukannya. Sebab secara prinsip setiap anak akan mencapai tingkat perkembangan yang sama, hanya waktu pencapaiannya saja yang berbeda. Akan tetapi, bila jarak waktu pencapaian suatu tahap perkembangan yang dilalui seorang anak terlalu jauh, umpamanya waktu antara penguasaan materi pelajaran ke satu dengan materi pelajaran kedua melebihi batas tempo lambat anak lainnya, maka orangtua dan guru perlu waspada dan segera mengambil langkah-langkah yang tepat. Mungkin, anak itu penyandang tunagrahita atau keterbelakangan mental.

Di samping ada tempo, di dalam perkembangan juga dikenal adanya irama atau naik-turunnya proses perkembangan. Artinya, perkembangan manusia itu tidak tetap, terkadang naik terkadang turun. Pada suatu saat seorang anak mengalami perkembangan yang tenang, sedangkan pada saat lain ia mengalami perkembangan yang menggoncangkan.

Menurut pengamatan para ahli psikologi, setiap anak biasanya mengalami dua masa pancaroba atau krisis yang lazim disebut “trotz”. Masa trotz ini terjadi dalam dua periode.

1, Trotz periode ke-1 atau krisis pertama terjadi pada usia 2 sampai 3 tahun dengan ciri utama anak menjadi egois, selalu bersikap dan bertingkah laku mendahulukan kepentingan diri sendiri.

2. Trotz periode ke-2 atau krisis kedua terjadi pada umur antara 14 sampai 17 tahun, dengan ciri utama sering membantah orangtuanya sendiri dalam mencapai identitas peribadi.

Khusus mengenai trotz ke-2 perlu digarisbawahi, bahwa batas umur antara 14-17 tahun bukan “harga mati”. Artinya rentang usia remaja yang mengalami krisis kedua ini di sebuah negara mungkin berbeda dengan remaja di negara lainnya, boleh jadi lebih cepat atau lebih lambat.

Di negara kita sendiri perbedaan rentang usia trozt ke-2 itu, menurut Poerbakawatja dan Harahap (1981), tampak berbeda antara remaja kawasan perkotaan dan remaja kawasan pedesaan khususnya di desa-desa yang belum tersentuh budaya modern. Namun, betapapun nisbinya batasan rentang usia strum und drang (masa gelisah) remaja itu, yang penting bagi para orangtua dan guru adalah bagaimana memberi pengertian yang benar dan baik bahwa kegelisahan tersebut adalah karena kematangan seksual yang normal. Selain itu, adalah tanggung jawab orangtua dan guru untuk menuntun mereka ke jalan yang benar agar mereka terhindar dari godaan penyalahgunaan dorongan seksual yang bukan pada tempat dan saatnya.