Konsep Dasar Strategi Dakwah

A. Konsep Dasar Strategi Dakwah

Dakwah pada dasarnya adalah suatu proses yang berkesinambungan yang merupakan aktivitas dinamis yang mengarah kepada kebaikan, pembinaan dan pembentukan masyarakat yang bahagia dunia dan akhirat melalui ajakan yang kontinyu kepada kebaikan serta mencegah mereka dari hal-hal yang mungkar. Oleh sebab itulah, maka kegiatan dakwah merupakan kewajiban bagi umat Islam secara keseluruhan, baik secara individu sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing maupun secara berkelompok atau kelembagaan yang diorganisir secara rapi dan modern, dikemas secara apik dan profesional serta dikembangkan secara terus menerus mengikuti irama dan dinamika perubahan zaman dan masyarakat.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan untuk mencapai keberhasilan dakwah, maka efektifitas dan efisiensi dalam menyelenggarakan dakwah merupakan suatu hal yang harus mendapat perhatian dengan diproses melalui strategi dakwah yang mapan. Untuk memperoleh batasan terhadap pengertian strategi dakwah, maka terlebih dahulu kita berikan terhadap kata strategi dan lafadz dakwah secara terpisah, sebagai berikut:

  1. 1. Pengertian Strategi

Perkataan strategi pada mulanya dihubungkan dengan operasi militer dalam skala besar-besaran. Oleh sebab itu, strategi dapat berarti “ilmu tentang perencanaan dan pengarahan operasi militer secara besar-besaran”.[1] Di samping itu dapat pula berarti “kemampuan yang terampil dalam menangani dan merencanakan sesuatu”.[2] Sedangkan tujuan suatu strategi ialah untuk merebut kemenangan atau meraih suatu hasil yang diinginkan.

  1. 2. Pengertian Dakwah
  2. Dakwah Menurut Bahasa

Kata dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk masdar dari kata kerja  artinya ??? ? ???? ? ???? “ajakan, seruan, panggilan, undangan atau mengajak, memanggil atau menyeru”.[3]

Menurut ahli bahasa, kata dakwah di ambil dari perkataan “ ?????? ??? ?? ”   yang artinya menyeru (mengajak kepada sesuatu). (Salahuddin Sanusi, 1994).

Dakwah dengan arti seperti itu dapat dijumpai dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Di antaranya surah an-Nahl ayat 125:

í÷?$# 4?n<Î) È@?Î6y? y7În/u? ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï?»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }?Ïd ß`|¡ômr& 4…

Terjemahnya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. 16: 125).[4]

  1. Dakwah Menurut Istilah

Dakwah menurut istilah adalah:

Segala sesuatu dan kegiatan yang disengaja dan berencana dalam wujud sikap, ucapan dan perbuatan yang mengandung ajakan dan seruan, baik langsung atau tidak langsung ditujukan kepada orang perorangan, masyarakat atau golongan supaya tergugah jiwanya, terpanggil hatinya kepada ajaran Islam untuk selanjutnya mempelajari dan menghayati serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.[5]

Adapun dakwah menurut para ahli adalah sebagai berikut:

Al-Bahi Khuli (1979) menyatakan bahwa dakwah adalah memindahkan suatu situasi manusia kepada situasi yang lebih baik.[6]

Syekh Muhammad Abduh dan Mochtar Husein (1986), dakwah adalah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir untuk memeluk Islam.[7]

Syekh Ali Mahfudz (1970), memberi batasan mengenai:

Dakwah adalah mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan kemungkaran agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[8]

Prof. Toha Yahya Omar, MA (1971) menyatakan bahwa dakwah menurut Islam adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar, sesuai dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.[9]

Salahuddin Sanusi (1964) menyatakan bahwa:

Dakwah ialah mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan menuruti petunjuk menyuruh mereka berbuat kebajikan, dan melarang mereka dari perbuatan mungkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[10]

Hafidz Abdurrahman memberikan pengertian dakwah adalah:

Seruan kepada orang lain agar melakukan kemakrufan dan mencegah daripada kemungkaran. Atau dapat juga didefinisikan dengan usaha untuk merubah keadaan yang tidak islami, menjadi baik sesuai Islam.[11]

Prof. A. Hasyimi mendefinisikan bahwa dakwah yaitu mengajak orang lain untuk meyakini dan mengamalkan aqidah dan syariah Islam yang terlebih dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah (Dai) sendiri.[12]

Dari sekian banyak pengertian dakwah yang dikemukakan oleh para ahli dakwah, maka dapat disimpulkan bahwa:

Dakwah pada hakekatnya adalah suatu kegiatan usaha atau aktivtias yang mengandung jakan, seruan, dorongan dan panggilan kepada seluruh umat manusia untuk berbuat baik dan mengikuti petunjuk (kebenaran) dari Allah dan Rasul-Nya, amar ma’ruf nahi munkar untuk mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.[13]

  1. 3. Tujuan Dakwah

Tujuan dakwah Islam adalah “merubah keadaan yang tidak islami menjadi islami agar dapat mendekatkan diri kepada Allah swt”.[14]

Adapun secara rinci tujuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Menyeru orang kafir agar masuk Islam
  2. Menyeru kepada orang Islam agar melaksanakan hukum Islam secara total.
  3. Menegakkan kema’rufan dan mencegah kemunkaran, yang meliputi semua bentuk kema’rufan dan semua bentuk kemunkaran. Baik kemungkaran yang dilakukan oleh pribadi, kelompok, maupun masyarakat serta negara. Juga meliputi kema’rufan yang diserukan kepada pribadi, kelompok, maupun negara.[15]

Inilah yang digambarkan dan dimaksudkan oleh Allah swt. di dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran Ayat 104 yang berbunyi:

`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããô?t? ?n<Î) Î?ös?ø:$# tbrããBù’t?ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Zt?ur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9’ré&ur ãNèd ?cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ

Terjemahnya:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.[16]

Adapun nilai yang ingin diwujudkan ketika melaksanakan aktivitas dakwah Islam adalah nilai spiritual, yaitu meningkatnya hubungan seorang pengemban dakwah dengan Allah swt. dengan jalan merubah orang, kelompok atau negara yang rusak menjadi baik, sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Yang dengan begitu, hubungan orang tersebut menjadi dekat dengan-Nya.

B. Subyek, Obyek dan Materi Dakwah

1. Subyek Dakwah

Orang yang melaksanakan dakwah Islam adalah orang yang terkena taklif syar’i dakwah Islam, yaitu orang Islam, baligh dan berakal. Apakah laki-laki, ataukah perempuan, semuanya sama saja, semua wajib memikul kewajiban dakwah. Akan tetapi untuk memudahkan pembagian tersebut, dapat pula dibagi menjadi:

  1. Pribadi
  2. Kelompok (jamaah)
  3. Negara

Pembagian ini untuk memudahkan pembagian bentuk aktifitas dakwah yang wajib dipikul oleh masing-masing kelompok. Sebab, hukum syara telah menetapkan perbedaan yang wajib dipikul oleh masing-masing kelompok tersebut.[17]

  1. 2. Obyek Dakwah

Obyek dakwah ialah sasaran, penerima, khalayak, jamaah, pembaca, pendengar, pemirsa, audience, decorder atau komunikan yang menerima dakwah (Islam).[18]

Adapun sasaran dakwah yang dimaksudkan adalah:

  1. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi sosiologis, misalnya masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat di daerah.
  2. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi struktur kelembagaan berupa masyarakat, pemerintah, dan keluarga.
  3. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat dilihat dari segi sosial kultural, seperti golongan priyayi, abangan dan santri, khususnya pada masyarakat Jawa.
  4. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat usia, seperti golongan anak-anak, remaja dan orang tua.
  5. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat dilihat dari segi profesi atau pekerjaan, seperti golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri dan lain-lain.
  6. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat dilihat dari segi tingkat hidup sosial ekonomi seperti golongan orang kaya, menengah dan miskin.
  7. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat dilihat dari segi jenis kelamin seperti laki-laki dan perempuan.
  8. Sasaran yang berhubungan dengan golongan dilihat dari segi khusus, seperti golongan masyarakat tuna susila, tuna wisma, tuna karya, narapidana dan sebagainya.

Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad (1980) menerangkan delapan macam-macam dakwah (golongan manusia), yakni :

Pertama       : Golongan para ulama

Kedua          : Golongan ahli Zuhud dan Ibadah

Ketiga          : Golongan penguasa dan pemerintah

Keempat      : Golongan kaum pedagang dan pegawai

Kelima         : Golongan kaum lemah dan fakir miskin

Keenam       : Golongan keluarga dan para hamba

Ketujuh       : Golongan ahli taat dan durhaka dari orang-orang yang biasa

Kedelapan : Golongan orang yang tak mau menerima dakwah Allah dan Rasulullah, dan tak mau beriman kepada Allah dan Rasulullah .[19]

  1. 3. Materi Dakwah

Materi dakwah adalah pesan-pesan atau segala sesuatu yang harus disampaikan oleh subyek kepada obyek dakwah, keseluruhan ajaran Islam, yang ada di dalam Kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya, yang pada pokoknya mengandung tiga prinsip, yaitu:

  1. Aqidah, yang menyangkut sistem keimanan/kepercayaan terhadap Allah swt. dan ini menjadi landasan yang fundamental dalam keseluruhan aktifitas seorang muslim, baik yang menyangkut sikap mental maupun sikap lakunya dan sifat-sifat yang dimiliki.
  2. Syariat, yaitu rangkaian ajaran yang menyangkut aktivitas manusia muslim di dalam semua aspek hidup dan kehidupannya, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh, mana yang halal dan haram, mana yang mubah dan sebagainya. Dan ini juga menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minallah dan hablun minannas).
  3. Akhlaq, yaitu menyangkut tata cara berhubungan baik secara vertikal dengan Allah swt. maupun secara horizontal dengan sesama manusia dan seluruh makhluk-makhluk Allah.[20]
  1. C. Azas-Azas yang Menentukan Strategi Dakwah

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa strategi dakwah adalah merupakan metode, siasat, taktik atau manuver yang dipergunakan dalam aktivitas atau kegiatan dakwah, yang peranannya sangat menentukan sekali dalam proses pencapaian tujuan dakwah.

Guna optimalisasi strategi dakwah dalam memenuhi target dan tujuan, maka operasionalisasi dakwah harus memperhatikan beberapa azas dakwah antara lain:

  1. Azas Filosofis

Azas ini terutama membicarakan masalah yang erat hubungannya dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam proses atau dalam aktivitas dakwah.

  1. Azas kemampuan dan keahlian dai (achievement and professional)

Azas ini membahas mengenai kepribadian seorang da’i yang pada dasarnya mencakup masalah sifat, sikap dan kemampuan diri pribadi da’i yang ketiganya sudah dapat mencakup keseluruhan kepribadian yang harus dimilikinya. Sebab, jaya atau suksesnya suatu dakwah sangat tergantung pada kepribadian dari pembawa dakwah itu sendiri.

  1. Azas Sosiologis

Azas ini membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi dan kondisi sasaran dakwah. Misalnya politik pemerintah setempat, mayoritas agama di daerah setempat, filosofis sasasaran dakwah. Sosio kultural sasaran dakwah dan sebagainya.

  1. Azas Psychologis

Azas ini membahas masalah-masalah yang erat hubungannya dengan kejiwaan manusia. Seorang da’i adalah manusia, begitupun sasaran dakwahnya yang memiliki karakteristik (kejiwaan) yang unik yakni berbeda satu sama lainnya. Apalagi masalah agama, yang merupakan masalah idiologi atau kepercayaan (rohaniah) tak luput dari masalah-masalah psychology sebagai azas (dasar) dakwahnya.

  1. Azas Efektifitas dan Efisiensi

Azas ini maksudnya adalah di dalam aktivitas dakwah harus berusaha menyeimbangkan antara biaya, waktu maupun tenaga yang dikeluarkan dengan pencapaian hasilnya, bahkan kalau bisa waktu, biaya dan tenaga sedikit dapat mencapai hasil yang semaksimal mungkin atau setidak-tidaknya seimbang antara keduanya.[21]

  1. D. Konsep Pembinaan Mental

Penekanan utama bangsa Indonesia dalam pembangunan adalah diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia yang diharapkan di samping menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) juga harus memiliki mental (akhlak) yang benar demi terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya. Untuk itulah diperlukan upaya pembinaan moral terutama pada kalangan remaja. Mangunhardjana mengemukakan bahwa: “Pembinaan dimengerti sebagai terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu training yang berarti latihan, pendidikan, pembinaan. Pembinaan lebih menekankan perkembangan manusia pada segi praktis berupa pengembangan sikap mental, pengetahuan dan kecakapan.[22]

Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa: “Pembinaan mental adalah pengembangan kepribadian (personality development training) atau pembinaan sikap (Attitude training)”. Jadi, pembinaan mental adalah suatu kegiatan untuk membantu seseorang (peserta) agar mengenal dan mengembangkan diri menurut gambaran dan cita-cita hidup yang sehat dan benar.

Muslimin Nurdin mengatakan bahwa: “Pembinaan berarti mengembangkan fitrah anak agar kebaikan yang masih berupa potensi dapat terpelihara dan ditingkatkan melalui pengetahuan dan penghayatan sehingga melahirkan keyakinan dan diimplimentasikan dalam perbuatan sehari-hari”.[23]

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Zamaluddin Bukhari bahwa:

“Pembinaan mental merupakan pembinaan kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai masyarakat), yang timbul dari hati yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan atau tindakan tersebut. Melalui tindakan inilah yang tercermin hasil terbinanya mental seseorang”.[24] Dengan kata lain upaya pembinaan mental diarahkan pada tercapainya tingkah laku atau perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat.

Selanjutnya, beliau mengungkapkan bahwa: “Pembinaan mental adalah pembinaan jiwa. Ketenangan jiwa dapat diupayakan melalui kegiatan bimbingan dan binaan, didikan dan arahan. Ketenangan jiwa dapat pula dilakukan dengan beragama sungguh-sungguh, karena agama itu sendiri merupakan psikoterapi”.

Sementara itu, menurut Zakiah Darajat, bahwa: pembinaan mental adalah terkait erat dengan pembinaan keyakinan, karena menjadi bagian dari kepribadian seseorang. Pembinaan mental yang paling baik sebenarnya terdapat dalam ajaran agama, karena nilai-nilai mental dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri, datangnya dari keyakinan beragama.

Wahyuanto dan Taslim Suyitno menyatakan bahwa: “Pembinaan mental adalah pemberian pemahaman dan penghayatan dalam jiwa seseorang termasuk pikiran, emosi, sikap dan perasaan. Dengan upaya pembinaan mental ini diharapkan tertanam prilaku yang baik serta pengamalan perilaku-perilaku yang baik tersebut dalam kehidupannya”.[25] Hal ini berarti bahwa pembinaan mental merupakan upaya untuk memberikan bekal pengetahuan dan pemahaman yang kemudian dihayati serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembinaan mental meliputi berbagai unsur di antaranya adalah sikap, perasaan emosi dan kesadaran yang menggabung dalam kepribadian seseorang, sehingga selayaknya sejak kecil seseorang dilatih dibimbing dan dibina mentalnya. Dengan demikian pembinaan mental yang dimaksudkan adalah upaya pemberian bimbingan, pendidikan dan latihan mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kepribadian dan mental atau jiwa seseorang yang hasilnya dapat berwujud dalam perilaku-perilaku yang baik dan terpuji.

E. Bentuk Pembinaan Mental

Pembinaan mental diwujudkan dalam rangka menggali potensi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, dalam rangka pembinaan mental remaja diterapkan dalam berbagai bentuk pembinaan mental. Sebagaimana dikemukakan oleh Jusuf Suit dan Almasdi, bahwa secara garis besar pembinaan sikap mental dapat dibagi dalam beberapa hal, yaitu:

(a) Membiasakan diri belajar dan bekerja, (b) membiasakan diri menghargai dan memanfaatkan waktu, (c) membiasakan diri berlaku jujur, (d) membiasakan diri berjuang dan menghadapi tantangan, (e) membiasakan diri bersikap sungguh-sungguh, (f) membiasakan diri memberikan rasa kepedulian, (g) membiasakan diri bertanggung jawab, (h) membiasakan diri memelihara kesehatan, (i) membiasakan mengendalikan atau menahan diri dan berhemat, (j) membiasakan diri menjauhkan rasa benci atau dendam, (k) membiasakan diri berperilaku tertib dan sopan, dan (l) membiasakan diri menghargai hak dan pendapat orang lain.[26]

Pendapat di atas memberi gambaran bahwa bentuk pembinaan mental lebih ditekankan pada upaya membiasakan berperilaku yang baik dalam kehidupan, sehingga perlu diperhatikan hal-hal berupa contoh yang baik serta pembentukan tingkah laku yang baik pula.

Bagi umat Islam bentuk pembinaan anak dan remaja dapat dilakukan dengan memberi contoh dan membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahjudin yang mengatakan bahwa:

Menanamkan nilai-nilai akhlak/moral kepada anak remaja dapat dilakukan dalam bentuk: (1) mengarahkan dan mengajak untuk selalu mengerjakan ibadah, karena ibadah dapat meluhurkan perbuatan manusia, (2) mengarahkan agar rajin mengikuti pengajian-pengajian, ceramah-ceramah agama dan kegiatan keagamaan lainnya, karena dalam kegiatan-kegiatan itu terkandung ajakan untuk selalu berbuat baik.[27]

Pendapat di atas memberi gambaran bahwa bentuk-bentuk pembinaan mental lebih ditekankan pada pemberian arahan dan bimbingan dalam membentuk ajaran-ajaran agama, misalnya ibadah, pengajian-pengajian, ceramah agama maupun kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Selanjutnya Anwar Masy’ari mengatakan bahwa:

Bentuk-bentuk pembinaan mental keislaman bagi remaja-remaja Islam dapat ditempuh melalui pengajian Al-Qur’an yang dapat dilakukan setiap saat guna menumbuhkembangkan kegemaran remaja membaca Al-Qur’an dan belajar (ceramah) dan diskusi tentang keislaman serta kegiatan-kegiatan sosial seperti peringatan hari-hari besar Islam dan mengarahkan remaja untuk terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan yang bercirikan Islam[28]

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk membina mental remaja pada umumnya, dapat ditempuh melalui beberapa bentuk pembinaan seperti melalui pengajian-pengajian, ceramah agama, diskusi-diskusi serta melalui kegiatan sosial keagamaan yang memperkokoh keimanan dan memperluas pemahamannya tentang kehidupan bermasyarakat dan beragama.

F. Hambatan Pembinaan Mental

Dalam upaya pembinaan mental generasi muda, tentu tidak selamanya berjalan lancar, atau dengan kata lain pembinaan mental tersebut belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terjadi karena masih ditemukan adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Menurut B. Simanjuntak mengemukakan bahwa:

Secara umum hambatan dalam membina generasi muda, antara lain adalah: (1) kekurangserasian hubungan antara lingkungan sosial, orang tua dengan remaja (pemuda), (2) tidak seimbangnya jumlah remaja (pemuda) dengan fasilitas (sarana/prasarana) pembinaan, (3) belum adanya aturan perundang-undangan yang secara jelas mengatur tentang pembinaan remaja (generasi muda).[29]

Pendapat di atas memberi gambaran bahwa upaya pembinaan generasi muda masih terhambat dengan kurangnya sarana dan prasarana penunjang dan kurangnya acuan yang jelas tentang pembinaan serta belum adanya hubungan atau kerjasama yang baik antara orang tua, masyarakat termasuk pemerintah.

Sejalan dengan itu, Anwar Masy’ari mengemukakan bahwa: ada beberapa hambatan dalam pembinaan pada lembaga-lembaga Islam, yakni: (1) adanya kegiatan lain yang diikuti oleh pihak Pembina, (2) kurangnya kerjasama/perhatian orang tua, dan (3) kurangnya sarana dan prasarana penunjang”.[30]

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa hambatan-hambatan dalam upaya pembinaan mental generasi muda, yaitu belum profesionalnya tenaga pembina, adanya kegiatan lain yang diikuti, kurangnya kerjasama orang tua, masyarakat dan pemerintah, kurang sarana dan prasarana penunjang, serta kurang aktifnya tenaga pembina.


[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. I; Jakarta: Balai Pustaka, 1991), h. 964.

[2]Ibid., h. 964.

[3]Zulkifli Musthan, Ilmu Dakwah, Jilid I; (Makassar: Yayasan Fatiya, 2002), h. 1.

[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha, 1989), h. 421.

[5]Zulkifli Musthan, op.cit., h. 3.

[6]Ibid.

[7]Ibid.

[8]Ibid.

[9]Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah (Cet. I; Jakarta: Widjaya, 1967), h. 1.

[10]Zulkifli Musthan, op.cit., h. 4.

[11]Hafidz Abdurrahman, Islam Politik dan Spiritual (Cet. I; Singapura: Lisan al-Haq, 1998), h. 231.

[12]M. Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 10.

[13]Zulkifli Musthan, op.cit., h. 5.

[14]Hafidz Abdurrahman, op.cit, h. 233.

[15]Zulkifli Musthan, loc.cit.

[16]Departemen Agama RI, op.cit., h. 93.

[17]Hafidz Abdurrahman, op.cit, h. 233-234.

[18]Zulkifli Musthan, op.cit., h. 113.

[19]Ibid., h. 124.

[20]M. Hafi Anshari, op.cit., h. 146.

[21]Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 32.

[22]Mangunhardjana, Pembinaan, Arti dan Metodenya (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 11.

[23]Muslimin Nurdin, Moral dan Kognisi Islam (Jakarta: CV. Rajawali, 1995), h. 13.

[24]Zamaluddin Bukhari, Kedudukan Agama dalam Keluarga Masa Depan (Jakarta: Sinar Harapan, 1990), h. 76.

[25]Wahyuanto dan Taslim Suyitno, Pentingnya Pembinaan Moral Generasi Muda dalam Pembangunan Bangsa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 13.

[26]Jusuf Suit dan Almasdi, Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Ghalilea Indonesia, 1996), h. 55.

[27]Mahjuddin, Membina Anak-anak (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 75.

[28]Anwar Masy’ari, Membentuk Pribadi Muslim (Jakarta: Al-Maarif, 1995), h. 76.

[29]B. Simanjuntak, Membina dan Mengembangkan Generasi Muda (Bandung: Tarsito, 1980), h. 74.

[30]Anwar Masy’ari, op.cit., h. 97.