A. Pengertian dan Dasar Hukum Bank
Istilah “Bank” berasal dari bahasa Italia “Banco” yang berarti “kepingan papan tempat buku sejenis meja”.[1] Kata ini kemudian mengalami perluasan dalam hal penggunaannya, yakni menunjukkan “meja” tempat penukaran uang yang digunakan oleh para pemberi pinjaman dan para pedagang valuta asing di Eropa pada abad pertengahan.
Sedangkan dalam istilah kamus Inggris kata bank diartikan sebagai kantor uang.[2] Secara defenisi, tidak ada kata yang tepat untuk diberikan kepada arti bank. Menurut Fockema Andreae sebagaimana dikutip oleh Zainal Asikin, bahwa bank adalah suatu lembaga atau orang pribadi yang menjalankan perusahaan dalam menerima dan memberi uang dari dan kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan adanya cek serta sekaitan dengan surat-surat berharga lainnya.[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia lebih spesifik memberi arti bank, yakni sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayarannya dan peredaran uang.[4] Jadi, pada intinya bahwa penulis dapat menyimpulkan dari beberapa pengertian di atas, yakni bank adalah sebuah lembaga keuangan, baik swasta maupun milik pemerintah yang usaha pokonya adalah memberikan kredit dan jasa-jasa lainnya kepada masyarakat, menarik uang dari masyarakat kemudian menyalurkannya kepada masyarakat pula.
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa usaha perbankan pada dasarnya adalah usaha simpan pinjam demi dan untuk kepentingan pihak ketiga tanpa harus memperhatikan bentuk subyek, apakah perorangan atau badan hukum. Pengertian seperti tergambar di atas nampaknya terus dipakai dalam dunia perbankan di Indonesia sampai dikeluarkannya UU Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan yang memberikan pengertian bank sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit kepada masyarakat dalam bentuk jasa dalam lintas pembayaran dan peredaran uang.
Jika melihat defenisi di atas, maka akan memberi kesan bahwa bank tersebut dapat berbentuk usaha perorangan atau badan usaha. Namun sejak diundangkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (pengganti UU No. 14 tahun 1967) barulah diberikan defenisi secara tegas tentang defenisi bank, yakni badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.[5]
Melihat ketetuan pasal di atas, maka usaha perbankan haruslah didirikan oleh sebuah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan tidak boleh didirikan oleh atau secara perorangan. Penegasan tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 1992 yang menentukan beberapa bentuk badan hukum yang dapat mendirikan bank, yaitu Persero, Perusahaan Daerah, Koperasi, dan Perseroan Terbatas (PT).[6] Hal ini berarti bahwa mulai dari tahun 1992 sampai sekarang ini hanya badan usaha yang berbadan hukum saja yang dapat mendirikan sebuah bank.
Lain halnya dengan koperasi, perikatan ini didirikan sesuai dengan arti dari kata tersebut. Dalam bahasa Inggris, koperasi berarti “Cooperate” ialah bekerja bersama-sama.[7] Namun dalam kamus bahasa Indonesia koperasi diartikan sebagai perserikatan yang bertujuan memenuhi keperluan kebendaan para anggotanya dengan cara menjual barang-barang kebutuhan harga murah (tidak bermaksud untuk mencari untung).[8] Hanya saja dalam perkembangannya sebuah koperasi tidak hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggotanya, juga berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Dalam hal ini, banyak jenis dan bentuk koperasi yang berkembang di Indonesia terutama koperasi simpan pinjam atau disebut dengan istilah KSP.
Adapun dasar hukum dari bank, baik dalam hal pendirian maupun dalam aplikasi program manajemennya adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Perbankan. Hal inilah yang menjadikan Perbankan Nasional Indonesia mampu bersaing dengan bank-bank terkenal di dunia, sebab sudah dilengkapi dengan undang-undang perbankan. Sedangkan dasar hukum koperasi adalah pasal 33 UUD 1945, yaitu ayat (1) ; “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.[9]
Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum dasar demokrasi ekonomi, kemakmuran rakyat lebih diutamakan. Sebab perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan. Bentuk usaha yang sesuai dengan konsep perekonomian Pancasila adalah koperasi. Secara lebih spesifik, koperasi telah diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan itulah dasar hukum koperasi.
B. Asas, Fungsi dan Tujuan
Sesuai dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 yang telah direvisi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dijelaskan bahwa perbankan di Indonesia haruslah berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.
Berangkat dari konsepsi di atas, maka di bawah ini diuraikan beberapa asas yang dipakai dalam dunia perbankan dan perkoperasian. Asas-asas tersebut adalah :
Pertama, dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi adalah soko guru perekonomian.
Kedua, perekonomian Pancasila digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral.
Ketiga, perekonomian Pancasila ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam perekonomian Pancasila terdapat solidaritas sosial.
Keempat, perekonomian Pancasila berkaitan dengan persatuan Indonesia, yang berarti nasionalisme menjiwai setiap kebijakan ekonomi.
Kelima, sistem perekonomian tegas dan jelas serta mempunyai keseimbangan antara perencanaan sentral dan perekonomian pada desentralisasi didalam pelaksanaan kegiatan ekonomi.[10]
Selanjutnya fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dana masyarakat serta menyalurkan kembali kepadanya. Hal ini sesuai dengan fungsi perbankan sebagaimana yang dirumuskan UU No. 7 Tahun 1992 pasal 3, yakni ‘Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dana penyalur dana masyarakat’.[11]
Hal ini berarti bahwa perbankan dituntut peranan yang lebih aktif dalam menggali dana dari masyarakat dalam rangka pembangunan nasional. Secara lebih terinci, fungsi bank dijelaskan oleh Muslehuddin sebagai berikut :
1. Menyelesaikan berbagai urusan uang, pengiriman uang dan surat berharga dan sekaligus memperjualbelikan surat-surat berharga tersebut.
2. Menerima deposito.
3. Mengurus masalah diskonto, dan surat-surat berharga.
4. Memberi pinjaman dengan menggunakan jaminan atau dengan cara overdraf, mengurus bidang pegadaian dan membeli saham perusahan-perusahaan industri.
5. Mengurus kepentingan nota bank.
6. Mengurus pertukaran valuta asing.
7. Melaksanakan fungsi agensi bagi para nasaba.[12]
Fungsi utama bank adalah memenuhi kehendak ekonomi masyarakat yang muncul bersamaan dengan perkembangan peradaban. Oleh karena itu, bank tidak berfungsi bagi masyarakat yang hanya menggantungkan hidupnya pada umbi-umbian dan buah-buahan hutan.
Adapun tujuan dari pendirian bank adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.[13] Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian itu, maka diharapkan perbankan Indonesia dalam melaksanakan usaha-usahanya akan melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana serta mampu menunjang kegiatan ekonomi serta mampu menciptakan stabilitas nasional dalam arti yang seluas-luasnya.
Sedangkan tujuan koperasi adalah mengurus kepentingan anggota-anggotanya terutama terhadap kepentingan kebutuhan yang bersifat kebendaan.[14]
C. Jenis dan Usaha Bank serta Koperasi
Bank biasanya diklasifikasikan berdasarkan pelayanan yang dilaksanakannya. Dalam hal ini, bank terbagi ke dalam banyak jenis. Di seluruh dunia, kita dapati bank perdagangan, bank tabungan, bank yang bergerak di bidang pegadaian surat-surat perjanjian, bank investasi, bank pertanian dan berbagai bentuk bank lainnya dengan klasifikasi usaha yang berbeda.
Sebelum berlakunya UU No. 7 tahun 1992 dikenal berbagai jenis bank, yakni sebagai berikut :
1. Bank sentral ialah Bank Indonesia sebagimana dimaksudkan dalam UUD 1945, yang selanjutnya diatur dalam UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral.
2. Bank Tabungan ialah Bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk giro, deposito dan tabungan, terutama dalam memberikan kredit jangka pendek dan membungakan dananya dalam bentuk surat berharga.
3. Bank Pembangunan ialah bank dalam pengumpulan dananya, menerima simpanan dalam bentuk deposito dan atau mengeluarkan kertas atau surat berharga jangka menengah dan jangka panjang dan dalam usahanya memberikan kredit untuk menunjang pembangunan.
4. Bank-bank lainnya yang ditetapkan dengan Undang-Undang.[15]
Untuk memenuhi maksud pasal 23 UUD 1945, maka pemerintah melalui pasal 3 ayat 3 UU No. 14 tahun 1967 mendirikan beberapa bank, yaitu :
– Bank Pembangunan Indonesia dengan UU No. 21 Tahun 1960.
– Bank Pembangunan Daerah dengan UU No. 13 Tahun 1962.
– Bank Dagang Negara dengan UU No. 17 Tahun 1968.
– Bank Bumi Daya dengan UU No. 19 Tahun 1968.
– Bank Tabungan Negara dengan UU No. 20 Tahun 1968.
– Bank Rakyat Indonesia dengan UU No. 21 Tahun 1968.
– Bank Eksport Import dengan UU No. 22 Tahun 1968.[16]
Maksud dari pemerintah menetapkan jenis-jenis bank tersebut (sesuai dengan namanya) agar bank-bank tersebut dapat melaksanakan fungsinya secara lebih spesifik dan terkosentrasi pada bidang-bidang tertentu. Akan tetapi dalam pelaksanaannya prinsip itu tidak terlaksana, dalam arti bahwa masing-masing melaksanakan tugasnya secara serabutan sehingga pembagian jenis bank sesuai dengan nama dan kegiatannya tersebut tidak relevan lagi dengan tujuan pendirian bank oleh pemerintah. Oleh karena itu, dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jenis-jenis bank seagaimana diuraikan di atas telah dihapus.
Dengan dihapuskannya pembagian jenis bank seperti tersebut di atas, maka dalam pembagian selanjutnya jenis bank dibedakan kepada 2 (dua) jenis saja, yakni :
1. Bank Umum yaitu bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ialah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.[17]
Dari pembagian di atas jelaslah bahwa Bank sentral tidak termasuk dalam jenis bank karena fungsi, tugas dan peranan bank sentral adalah sebagai otoritas moneter yang bertugas menjaga kestabilan moneter, serta melakukan pengawasan dan pembinaan bank. Oleh sebab itu bank sentral bukan merupakan jenis bank yang diatur dalam undang-undang perbankan sekarang ini. Tetapi bank sentral justru merupakan lembaga negara yang ikut bertanggung jawab atas dilaksanakannya undang-undang ini.
Sedangkan pembagian usaha bank dapat dilihat dalam undang-undang perbankan sebagaimana penulis kutip di bawah ini. Pasal 6 UU No. 7 Tahun 1992 menjelaskan bahwa :
Usaha Bank Umum meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
b. Memberikan kredit.
c. Menerbitkan surat pengakuan hutang.
d. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya, antara lain dalam bentuk :
1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama dari pada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud.
2. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud.
3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
4. Setifikat Bank Indonesia (SBI).
5. Obligasi.
6. Surat dagang berjangka waktu sampai 1 (satu) tahun.
7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun.
e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
f. Menempatkan dana pada, meminjam dari atau meminjamkan dan kepada bank lain baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
g. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang atau surat berharga.
i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
k. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
l. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
m. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.
n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjan tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[18]
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, maka menurut pasal 7 UU No. 7 Tahun 1992 bahwa bank juga dapat melakukan beberapa hal, yakni :
1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank antara perusahaan yang lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.[19]
Di atas telah dijelaskan tentang usaha-usaha bank umum, maka di bawah ini diuraikan mengenai usaha-usaha Bank Perkreditan Rakyat, yaitu :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa :
– deposito berjangka
– tabungan
b. Memberi kredit
c. Bagi hasil dengan nasabah
d. Menempatkan dananya dalam bentuk :
– SBI
– Deposito berjangka
– Setifikat deposito
– Tabungan pada bank lain.[20]
Di samping bank, koperasi juga mempunyai jenis dan bentuk usaha yang tersendiri, dimana jenis dan bentuk usaha tersebut ada yang sama dengan bank, tetapi banyak pula yang berbeda. Koperasi dapat dibedakan kedalam 3 (tiga) jenis, yakni :
1. Koperasi produksi yaitu koperasi yang mengurus pembuatan barang-barang dengan bahan-bahan yang dihasilkan oleh anggota-anggotanya.
2. Koperasi konsumsi adalah koperasi yang mengurus pembelian barang buat anggota-anggotanya.
3. Koperasi kredit ialah koperasi yang memberikan kredit kepada para anggotanya yang membutuhkan modal.[21]
Dari ketiga jenis koperasi di atas, maka yang berkaitan langsung dengan pemahasan ini adalah jenis koperasi ketiga, yakni koperasi kredit. Dalam hal ini, koperasi kredit memberikan kredit modal kepada para anggotanya yaitu anggota tidak tetap (anggota yang terdaftar begitu akan memulai akad kredit).
Disamping terdapat jenis koperasi sebagaimana dijelaskan di atas, koperasi pun mempunyai berbagai macam jenis usaha yang dikelolanya, dimana usaha koperasi tersebut disesuaikan dengan koperasinya. Jika koperasi produksi mempunyai usaha pokok memproduksi barang-barang untuk dipasarkan dari anggota-anggotanya, maka koperasi konsumsi mempunyai usaha-usaha antara lain usaha swalayan, unit bahan bakar, dan lain sebagainya sehingga semua anggotanya dan bahkan masyarakat umumpun dapat berbelanja di tempat/koperasi tersebut. Hanya saja khusus untuk anggota biasa dapat mengambil dahulu barang keperluan sehari-hari atau barang yang dibutuhkan kemudian di akhir bulan atau diawal bulan baru dibayar.
Sedangkan koperasi kredit mempunyai usaha-usaha antara lain :
- Pemberian kredit kepada anggota.
- Menampung uang nasabah dalam bentuk tabungan.
- Menjadi mitra kerjasama dengan pedagang kaki lima.[22]
Dalam usaha pemberian kredit kepada para anggota, koperasi menetapkan persyaratan yang tidak sama dengan kredit pada bank. Koperasi mengajukan persyaratan yang relatif lebih ringan dibanding dengan persyaratan kredit pada bank. Misalnya dalam hal agunan (jaminan), koperasi biasanya mempergunakan jaminan tabungan, yaitu orang yang mengambil kredit diharuskan membuka rekening dahulu dalam koperasi tersebut dalam bentuk tabungan, baru diberikan kredit yang diinginkan. Sedangkan dalam sistem perbankan, agunan yang dijadikan jaminan berupa SK, sertifikat tanah dan surat berharga lainnya yang nilainya tidak melebihi dari kredit yang diminta.
Dalam memerikan kredit, koperasi biasa juga bermitra dengan bank sebagai pemasok modal utama. KUT (Kredit Usaha Tani) adalah contoh dari kemitraan bank dan koperasi. Sebagaimana diketahui bahwa KUT adalah kredit modal yang dierikan oleh bank melalui koperasi sebagai pelaksana kredit untuk keperluan petani yang tergabung dalam kelompok tani guna membiayai usaha taninya dalam rangka intensifikasi padi, palawija dan hortikultura.[23]
Demikianlah, dalam rangka memberdayakan kekuatan ekonomi masyarakat, pengusaha kecil dan menengah, salah satu upaya yang perlu ditempuh adalah memperkuat struktur permodalannya, yakni dengan berbagai bentuk bantuan dari bank dan koperasi demi meningkatkan produksi dan pendapatanya.
[1]Lihat Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan dalam Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 1.
[2]Kamus Lengkap Inggris Indonesia, (Jakarta: Hasta, 1993), h. 13.
[3]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Bahasa Indonesia (Jkarta: Balai Pustaka, 1989), h. 78.
[4]Lihat Zainal Asikin, Pokok-Pokok Hukum Perbankan di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), h. 4.
[5]UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 Ayat (1) (Jakarta: Akademika Presindo, 1994), h. 2.
[6]Ibid, h. 9.
[7]Kamus Inggris Indonesia, op. cit., h. 32.
[8]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., op. cit., h. 460.
[9]Lihat, UUD Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 33 Ayat (1) (Jakarta: Akademika Presindo, 1984), h. 125.
[10]Zainal Asikin, op. cit., h. 6.
[11]UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 6.
[12]Muhammad Muslehuddin, op. cit., h. 2.
[13] UU No. 7 Tahun 1992, pasal 4, loc. cit.
[14] Lihat Fuad Moch. Fahruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi (Bandung; Al-maarif, 1980), h. 161.
[15]Zainal Asikin, op.cit., h.10.
[16]Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 68.
[17]Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, pasal 1, op.cit., h. 3.
[18]Ibid., h. 6 – 8.
[19]Ibid., h. 8.
[20]Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Perbankani (Jakarta: Erlangga, 1993), h. 24.
[21]Lihat Fuad Moch. Fachruddin, op.cit., h. 161.
[22]Uraian tentang usaha koperasi kredit di atas adalah hasil analisa yang penulis kembangkan sendiri dan hal itu merupakan buah pikiran serta pengalaman penulis.
[23]Departemen Koperasi, Himpunan Ketentuan Skim Kredit Program Koperasi, Ussaha Kecil dan Menengah (Jakarta: Depkop, 1999), h. 1.