Sejarah Filsafat Kuno

Filsafat Yunani

Para sarjana filsafat mengatakan bahwa mempelajari filsafat Yunani berarti menyaksikan kelahiran filsafat.  Karena itu tidak ada pengantar filsafat yang lebih ideal dari pada study perkembangan pemikiran filsafat di negeri Yunani.  Alfred Whitehead mengatakan tentang Plato:  “All Western phylosophy is but a series of footnotes to Plato”.  Pada Plato dan filsafat Yunani umumnya dijumpai problem filsafat yang masih dipersoalkan sampai hari ini.  Tema-tema filsafat Yunani seperti ada, menjadi, substansi, ruang, waktu, kebenaran, jiwa, pengenalan, Allah dan dunia merupakan tema-tema bagi filsafat seluruhnya.

Filsuf- Filsuf Pertama

Ada tiga filsuf dari kota Miletos yaitu Thales, Anaximandros dan Anaximenes.  Ketiganya secara khusus menaruh perhatian pada alam dan kejadian-kejadian alamiah, terutama tertarik pada adanya perubahan yang terus menerus di alam.  Mereka mencari suatu asas atau prinsip yang tetap tinggal sama di belakang perubahan-perubahan yang tak henti-hentinya itu.  Thales mengatakan bahwa prinsip itu adalah air, Anaximandros berpendapat to apeiron atau yang tak terbatas sedangkan Anaximenes menunjuk udara.

Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan. Sementara Anaximenes dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.

Filosof berikutnya yang perlu diperkenalkan adalah Pythagoras. Ajaran-ajarannya yang pokok adalah pertama dikatakan bahwa jiwa tidak dapat mati. Sesudah kematian manusia, jiwa pindah ke dalam hewan, dan setelah hewan itu mati jiwa itu pindah lagi dan seterusnya. Tetapi dengan mensucikan dirinya, jiwa dapat selamat dari reinkarnasi itu.  Kedua dari penemuannya terhadap interval-interval utama dari tangga nada yang diekspresikan dengan perbandingan dengan bilangan-bilangan, Pythagoras menyatakan bahwa suatu gejala fisis dikusai oleh hukum matematis. Bahkan katanya segala-galanya adalah bilangan. Ketiga mengenai kosmos, Pythagoras menyatakan untuk pertama kalinya, bahwa jagat raya bukanlah bumi melainkan Hestia (Api), sebagaimana perapian merupakan pusat dari sebuah rumah.

Pada jaman Pythagoras ada Herakleitos Di kota Ephesos dan menyatakan bahwa api sebagai dasar segala sesuatu. Api adalah lambang perubahan, karena api menyebabkan kayu atau bahan apa saja berubah menjadi abu sementara apinya sendiri tetap menjadi api. Herakleitos juga berpandangan bahwa di dalam dunia alamiah tidak sesuatupun yang tetap. Segala sesuatu yang ada sedang menjadi. Pernyataannya yang masyhur “Pantarhei kai uden menei” yang artinya semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap.

Filosof pertama yang disebut sebagai peletak dasar metafisika adalah Parmenides.  Parmenides berpendapat bahwa yang ada ada, yang tidak ada tidak ada. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah yang ada 1) satu dan tidak terbagi, 2) kekal, tidak mungkin ada perubahan, 3) sempurna, tidak bisa ditambah atau diambil darinya, 4) mengisi segala tempat, akibatnya tidak mungkin ada gerak sebagaimana klaim Herakleitos. Para filsuf tersebut dikenal sebagai filsuf monisme yaitu pendirian bahwa realitas seluruhnya bersifat satu karena terdiri dari satu unsur saja.

Para Filsuf berikut ini dikenal sebagai filsuf pluralis, karena pandangannya yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur.  Empedokles menyatakan bahwa realitas terdiri dari empat rizomata (akar) yaitu api, udara, tanah dan air. Perubahan-perubahan yang terjadi di alam dikendalikan oleh dua prinsip yaitu cinta (Philotes) dan benci (Neikos). Empedokles juga menerangkan bahwa pengenalan (manusia) berdasarkan prinsip yang sama mengenal yang sama. Pruralis yang berikutnya adalah Anaxagoras, yang mengatakan bahwa realitas adalah terdiri dari sejumlah tak terhingga spermata (benih). Berbeda dari Empedokles yang mengatakan bahwa setiap unsur hanya memiliki kualitasnya sendiri seperti api adalah panas dan air adalah basah, Anaxagoras mengatakan bahwa segalanya terdapat dalam segalanya.  Karena itu rambut dan kuku bisa tumbuh dari daging.  Perubahan yang membuat benih-benih menjadi kosmos hanya berupa satu prinsip yaitu Nus yang berarti roh atau rasio.  Nus tidak tercampur dalam  benih-benih dan Nus mengenal serta mengusai segala sesuatu.  Karena itu, Anaxagoras dikatakan sebagai filsuf pertama yang membedakan antara “yang ruhani” dan “yang jasmani”.

Pluralis Leukippos dan Demokritos juga disebut sebagai filsuf atomis.  Atomisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak unsur yang tak dapat dibagi-bagi lagi, karenanya unsur-unsur terakhir ini disebut atomos. Lebih lanjut dikatakan bahwa atom-atom dibedakan melalui tiga cara: (seperti A dan N), urutannya (seperti AN dan NA) dan posisinya (seperti N dan Z). Jumlah atom tidak berhingga dan tidak mempunyai kualitas, sebagaimana pandangan Parmenides atom-atom tidak dijadikan dan kekal. Tetapi Leukippos dan Demokritos menerima ruang kosong sehingga memungkinkan adanya gerak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa realitas seluruhnya terdiri dari dua hal: yang penuh yaitu atom-atom dan yang kosong.

Menurut Demokritos jiwa juga terdiri dari atom-atom. Menurutnya proses pengenalan manusia tidak lain sebagai interaksi antar atom.  Setiap benda mengeluarkan eidola (gambaran-gambaran kecil yang terdiri dari atom-atom dan berbentuk sama seperti benda itu).  Eidola ini masuk ke dalam panca indra dan disalurkan kedalam jiwa yang juga terdiri dari atom-atom eidola. Kualitas-kualitas yang manis, panas, dingin dan sebagainya, semua hanya berkuantitatif belaka. Atom jiwa bersentuhan dengan atom licin menyebabkan rasa manis, persentuhan dengan atom kesat menimbulkan rasa pahit sedangkan sentuhan dengan atom berkecepatan tinggi menyebabkan rasa panas, dan seterusnya.

Kaum Sofis dan Socrates

Filsafat dalam periode ini ditandai oleh ajarannya yang “membumi” dibandingkan ajaran-ajaran filsuf sebelumnya. Seperti dikatakan Cicero –sastrawan Roma–  bahwa Socrates telah memindahkan filsafat dari langit ke atas bumi.  Maksudnya, filsuf pra-Socrates mengkonsentrasikan diri pada persoalan alam semesta sedangkan Socrates mengarahkan obyek penelitiannya pada manusia di atas bumi.  Hal ini juga

diikuti oleh para sofis. Seperti telah disebutkan di depan, sofis (sophistes) mengalami kemerosotan makna. Sophistes digunakan untuk menyebut guru-guru yang berkeliling dari kota ke kota dan memainkan peran penting dalam masyarakat.  Dalam dialog Protagoras, Plato mengatakan bahwa para sofis merupakan pemilik warung yang menjual barang ruhani.

Sofis pertama adalah Protagoras, menurutnya manusia ialah ukuran segala-galanya.  Pandangan ini bisa disebut “relativisme” artinya kebenaran tergantung pada manusia.  Berkaitan dengan relativisme ini maka diperlukan seni berdebat yang memungkinkan orang membuat argumen yang paling lemah menjadi paling kuat. Ajarannya tentang negara mengatakan bahwa setiap negara mempunyai adat kebiasaan sendiri; seorang dewa berkunjung kepada manusia dan memberi anugerah –keinsyafan akan keadilan dan aidos hormat pada orang lain– yang memungkinkan manusia dapat hidup bersama. Filsuf berikutnya adalah Gorgias yang mempertahankan tiga pendiriannya; 1) Tidak ada sesuatupun, 2) Seandainya sesutu tidak ada, maka ia tidak dapat dikenali, 3) Seandainya sesuatu dapat dikenali, maka hal itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain. Sofis Hippias berpandangan bahwa Physis (kodrat) manusia merupakan dasar dari tingkah laku manusia dan susunan masyarakat, bukannya undang-undang (nomos) karena undang-undang sering kali memperkosa kodrat manusia.  Sofis Prodikos mengatakan bahwa agama merupakan penemuan manusia.  Sedangkan Kritias berpendapat bahwa agama ditemukan oleh penguasa-penguasa negara yang licik.

Sebagaimana para sofis, Socrates memulai filsafatnya dengan bertitik tolak dari pengalaman keseharian dan kehidupan kongkret. Perbedaannya terletak pada penolakan Socrates terhadap relatifisme yang pada umumnya dianut para sofis.  Menurut Socrates tidak benar bahwa yang baik itu baik bagi warga negara Athena dan lain lagi bagi warga negara Sparta. Yang baik mempunyai nilai yang sama bagi semua manusia, dan harus dijunjung tinggi oleh semua orang. Pendirinya yang terkenal adalah pandangannya yang menyatakan bahwa keutamaan (arete) adalah pengetahuan, pandangan ini kadang-kadang disebut intelektualisme etis. Dengan demikian Socrates menciptakan suatu etika yang berlaku bagi semua manusia. Sedang ilmu pengetahuan Socrates menemukan metode induksi dan memperkenalkan definisi-definisi umum.

Plato.

Hampir semua karya Plato ditulis dalam bentuk dialog dan Socrates diberi peran yang dominan dalam dialog tersebut. Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa Plato memilih yang begitu.  Pertama, sifat karyanya Socratik  –Socrates berperan sentral– dan diketahui bahwa Socrates tidak mengajar tetapi mengadakan tanya jawab dengan teman-temannya di Athena. Dengan demikian, karya plato dapat dipandang sebagai monumen bagi sang guru yang dikaguminya.  Kedua, berkaitan dengan anggapan plato mengenai filsafat.  Menurutya, filsafat pada intinya tidak lain daripada dialog, dan filsafat seolah-olah drama yang hidup, yang tidak pernah selasai tetapi harus dimulai kembali.

Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal.  Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya pikiran tergantung pada idea-idea tersebut. Idea-idea berhubungan dengan dunia melalui tiga cara; Idea hadir di dalam benda, idea-idea berpartisipasi dalam kongkret, dan idea merupakan model atau contoh (paradigma) bagi benda konkret.  Pembagian dunia ini pada gilirannya juga memberikam dua pengenalan.  Pertama pengenalan tentang idea; inilah pengenalan yang sebenarnya.  Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides.  Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi.

Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi. Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagat raya juga memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia.

Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama “Akademia” yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama Akademos. Mata pelajaran yang paling diperhatikan adalah ilmu pasti. Menurut cerita tradisi, di pintu masuk akademia terdapat tulisan; “yang belum mempelajari matematika janganlah masuk di sini”.

Aristoteles.

Ia berpendapat bahwa seorang tidak dapat mengetahui suatu obyek jika ia tidak dapat mengatakan pengetahuan itu pada orang lain. Barangkali dengan pandangannya yang seperti ini jumlah karyanya sangat banyak bisa dijelaskan. Spektrum pengetahuan yang diminati oleh Aristoteles luas sekali, barangkali seluas lapangan pengetahuan itu sendiri.

Aristoteles berpendapat bahwa logika tidak termasuk ilmu pengetahuan tersendiri, tetapi mendahului ilmu pengetahuan sebagai persiapan berfikir secara ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, logika diuraikan secara sistematis. Tidak dapat dibantah  bahwa logika Aristoteles memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual manusia; tidaklah berlebihan bila Immanuel Kant mengatakan bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju selangkahpun.

Mengenai pengetahuan, Aristoteles mengatakan bahwa pengetahuan dapat dihasilkan melalui jalan induksi dan jalan deduksi, Induksi mengandalkan panca indera yang “lemah”, sedangkan deduksi lepas dari pengetahuan inderawi. Karena itu dalam logikanya Aristoteles sangat banyak memberi tempat pada deduksi yang dipandangnya sebagai jalan sempurna menuju

pengetahuan baru. Salah satu cara Aristoteles mempraktekkan deduksi adalah Syllogismos (silogosme).

a. Fisika

Di dalam fisikanya, Aristoteles mempelajari dan membagi gerak (kinetis) menjadi dua; gerak spontan dan gerak karena kekerasan. Gerak spontan  yang diartikan sebagai perubahan secara umum dikelompokkan menjadi gerak subsitusional yakni sesuatu menjadi sesuatu yang lain seperti seekor anjing mati dan gerak aksidental yakni perubahan yang menyangkut salah satu aspek saja. Gerak aksidental ini berlangsung melalui tiga cara; yaitu gerak lokal seperti meja pindah dari satu tempat ke tempat lain, gerak kualitatif seperti daun hijau menjadi kuning, dan gerak kuantitatif seperti pohon tumbuh membesar. Dalam setiap gerak ada 1) keadaan terdahulu, 2) keadaan baru, dan 3) substratum yang tetap. Sebagai contoh air dingin menjadi panas; dengan dingin sebagai keadaan terlebih dahulu, panas sebagai keadaan baru dan air sebagai substratum.

Analisa gerak ini menuntut kita membedakan antara aktus dan potensi. Dalam fase pertama panas menjadi potensi air dan pada fase kedua panas manjadi aktus. Aristoteles juga mengintrodusir pengertian bentuk (morphe atau eidos) dan materi (hyle) ke dalam analisa geraknya. Dalam contoh air dingin menjadi panas, air sebagai hyle dan dingin serta panas sebagai morphe.

Aristoteles berpendapat behwa setiap kejadian mempunyai empat sebab yang harus disebut. Keempat sebab tersebut adalah penyebab efisien sebagai sumber kejadian, penyebab final sebagai tujuan atau arah kejadian, penyebab material sebagai bahan tempat kejadian tempat berlangsung dan penyebab formal sebagai bentuk menyusun bahan. Keempat kejadian ini berlaku untuk semua kejadian alamiah maupun yang disebabkan oleh manusia.

Aristoteles juga membicarakan phisis sebagai prinsip perkembangan yang terdapat dalam semua benda alamiah. Semua benda mempunyai sumber gerak atau diam dalam dirinya sendiri. Pohon kecil tumbuh besar karena phisisnya, pohon tetap tinggal pohon berkat phisis atau kodratnya. Mengenai alam, Aristoteles berpendirian bahwa dunia ini bergantung pada tujuan (telos) itu. Ia mengatakan “Alam tidak membuat sesuatupun dengan sia-sia dan tidak membuat sesuatu yang berlebihan”, atau katanya lagi:  “Alam berindak  seolah-olah ia mengetahui konsekuensi perbuatannya”. Teologi ini mencakup juga alam yang tidak hidup yang terdiri dari empat anasir api, udara, air dan tanah. Aristoteles mengatakan bahwa setiap anasir menuju ketempat kodratinya (locus naturalis).

Berkaitan dengan jagat raya Aristoteles mengatakan bahwa kosmos terdiri dari dua wilayah yaitu wilayah sublunar (di bawah bulan) dan wilayah yang meliputi bulan, planet-planet dan bintang-bintang. Jagat raya berbentuk bola dan terbatas, tetapi tidak mempunyai permulaan dan kekal. Badan-badan jagat raya diluar bumi semua terdiri dari anasir kelima yaitu ether yang tidak dapat dimusnahkan dan tidak dapat berubah menjadi anasir lain. Gerak kodrati anasir ini adalah melingkar. Berkaitan dengan jagat raya ini Aristoteles mempunyai pandangan yang masyhur mengenai penggerak pertama yang tidak digerakkan.

b. Psikologi

Menurut Aristoteles jiwa dan badan dipandang sebagai dua aspek dari satu substansi. Badan adalah materi dan jiwa dalam bentuk dan masing-masing  berperan sebagai potensi dan aktus. Pada manusia, jiwa dan tumbuh merupakan dua aspek dari substansi yang sama yakni manusia. Anggapan ini mempunyai konsekuensi bahwa jiwa tidak kekal karena jiwa tidak dapat hidup tanpa materi.

Potensi dan aktus juga mempunyai dalam pengenalan inderawi. Kita menerima bentuk tanpa materi. Pengenalan inderawi tidak lain adalah peralihan dari potensi ke aktus suatu organ tubuh dari aktus obyek. Sebagaimana proses pengenalan inderawi dalam pengenalan rasional bentuk tepatnya bentuk intelektual diterima oleh rasio. Bentuk intelektual ialah bentuk hakikat atau esensi suatu benda. Fungsi rasio dibagi menjadi dua macam yaitu rasio pasif (nus pathetikos) yang menerima esensi dan rasio aktif (nus poitikos) yang “membentuk” esensi.

c. Metafisika

Ta meta ta physica berarti hal-hal sesudah hak-hal fisis. Metafisika merupakan pengetahuan yang semata-mata berkaitan dengan tuhan dan fenomena yang terpisah dari alam. Di dalam Metaphysica-nya Aristoteles membahas Penggerak Utama. Gerak utama di jagat raya tidak mempunyai permulaan maupun penghabisan. Karena setiap sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain perlulah menerima satu Penggerak Pertama yang menyebabkan gerak itu, tetapi ia sendiri tidak digerakkan. Penggerak ini sama sekali lepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai meteri mempunyai potensi untuk bergerak. Allah sebagai Penggerak Pertama tidak mempunyai potensi apapun juga dan Allah harus dianggap sebagai aktus murni. Allah bersifat immaterial atau tak badani, Ia harus disamakan

dengan kesadaran atau pemikirannya. Karena itu aktifitas-Nya tidak lain adalah berpikir saja dan Allah merupakan pemikiran yang memandang pemikirannya. Allah sebagai penyebab final dari gerak jagat raya ini; segala sesuatu pengejar penggerak yang sempurna dan Ia menggerakkan karena dicintai.

Ajaran lain dari Aristoteles adalah tentang filsafat praktis yaitu etika dan politika. Lanjut di sini. Dalam filsafat, Aristoteles disebut sebagai tokoh madzhab peripatis (peripatos, berjalan-jalan) yang menyadarkan diri pada deduksi untuk memperoleh kebijaksanaan. Sedangkan gurunya, Plato merupakan tokoh madzhab illuminasionis yang juga mengandalkan jalan hati, asketisme dan penyucian jiwa dalam menyingkap realitas.