Pertama kali Islam sebelum masuk dalam wilayah kerajaan Bone yang dikenal hingga ke seluruh pelosok nusantara, para ulama Islam lebih awal mengislamkan raja Gowa, para ulama umumnya datang dari Sumatera, khususnya Aceh, seperti misalnya ulama ternama Khatib Tunggal. Ulama ini dikenal sebagai ulama pertama yang datang ke Makassar dan menyebarkan Islam. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1606.[1]
Di bawah pemerintah Raja Bone XII, kerajaan Bone dikenal sebagai kerajaan paling besar di antara kerajaan-kerajaan lainnya dalam wilayah suku Bugis.[2] Raja Gowa yang lebih dahulu masuk Islam dikenal sangat bersemangat dalam memperjuangkan Islam, begitu pula dengan rakyatnya. Sehingga beliau berniat untuk menyampaikan dakwah pada kerajaan-kerajaan yang ada di sekitarnya, termasuk Raja Bone. Kemudian raja Gowa menyampaikan pesan kepada Raja Bone bahwa dia hanya akan dipandang dan dihormati sebagai raja yang setaraf, apabila Raja Bone menganut ajaran agama Islam dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Pada tahun 1910 Bone secara resmi masuk Islam, pada masa pemerintahan Raja Bone XIII yaitu La Madderemueng (1631-644) mulailah Kerajaan Bone berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam ke dalam lembaga tradisi Bone. Selain itu juga mencanangkan pembaharuan keagamaan, serta memerintahkan kawulanya untuk mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.
Daerah Sulawesi yang berpenduduk sekitar enam juta orang terdiri dari empat suku bagi penduduk asli ditambah dengan sejumlah pendatang dari luar. Keempat suku yang menjadi penduduk asli Sulawesi Selatan adalah Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja.[3]
Menurut sejarah, suku Bugis merupakan penduduk asli dan sekaligus suku yang berjumlah paling banyak. Orang-orang Bugis berjumlah kira-kira tiga juta dan mendiami daerah-daerah Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Luwu, Enrekang, Sidrap, Pare-pare, Pinrang, Polewali, Barru, Pangkajene dan Maros. Konon keluarga raja-raja berasal dari suku Bugis dan sekarangpun dalam kenyataan Bugis masih mendapat kedudukan yang penting dalam pemerintahan dan sebagainya.[4]
Bahasa yang digunakan orang Bugis disebut bicara ugi.[5] Sejak berabad-abad yang lalu, orang Bugis telah mengenal tulisan kuno yang berasal dari huruf sansakerta yang disebut aksara lontara. Naskah-naskah kuno yang ditulis di daun lontar tersebut berisikan mitologi, amanat nenek moyang, himpunan undang-undang dan peraturan adat, dongeng dan sebagainya.[6]
Pada masa-masa dahulu ketika kekuasaan Bugis masih berbentuk kerajaan, masyarakat terbagi atas tiga lapisan sosial, yaitu anakarung (lapisan kaum kerabat raja) sebagai lapisan tertinggi, tomaradeka (lapisan orang merdeka) yang merupakan sebagian rakyat besar rakyat Sulawesi Selatan, ata (lapisan orang budak), yaitu golongan orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar utang atau orang yang melanggar pantangan adat. Namun, sejak permulaan abad ke-20, lapisan budak sudah mulai hilang. Bahkan sekarang ini gelar-gelar kebangsawanan tidak lagi kental seperti dulu, walaupun masih sering dipakai. Pembedaan di antara lapisan-lapisan masyarakat juga sudah tidak tampak lagi.[7]
Suku Bugis yang suka merantau sampai keluar negeri banyak yang mendiami negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Saudi Arabia dan negara lainnya. Meski telah menjadi warga negara atau propinsi lain yang didiaminya, mereka masih ketat menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa komunikasi antar mereka sehari-hari. Pada umumnya, orang-orang Bugis memang lebih suka menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa komunikasi antar mereka sehari-hari. Pada umumnya, orang-orang Bugis memang lebih suka menggunakan dan mempertahankan pemakaian bahasa Bugis yang sulit berkomunikasi dengan bahasa nasional, terutama yang berdomisili di pedesaan.[8]
Memahami pola tingkah laku serta budaya Bugis-Makassar hanya mungkin memahami dengan baik konsep tentang Pangngaderreng dan siri’. Pangngaderreng merupakan suatu ikatan utuh sistem nilai yang memberikan kerangka acuan bagi hidup bermasyarakat orang-orang Bugis Makassar. Sedangkan Siri’ merupakan sikap hidup yang sangat mementingkan diri.[9]
Pangngadereng dibangun ole unsur-unsur:
- Ade’, yaitu sistem norma atau seperangkat adat yang menentukan dan mengatur batas-batas, bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah. Misalnya, Ade’ yang khusus mengatur norma-norma perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan etika rumah tangga disebut ade’ akkalabinengeng. Di dalamnya diatur garis keturunan mana yang dibolehkan untuk menjalin tali perkawinan dengan garis keturunan yang lain, kemudian kaidah-kaidah yang mengatur sah atau tidak sahnya perkawinan dan etika pergaulan dalam berumah tangga.
- Bicara, mengatur segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan peradilan, mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam pelaksanaan hukum seperti penggugatan dan pembelaan di pengadilan. Namun bila dilihat materinya, mengarah pada wilayah penerapan hukum adat.
- Rapang, berarti contoh, kiasan atau perumpamaan atau semacam yurisprudensi. Hal ini diberlakukan untuk situasi di mana kaidah atau undang-undang belum ditemukan untuk suatu kasus atau kejadian.
- Wari, berfungsi menata, mengklasifikasi, mengatur urutan dari berbagai hubungan norma atau kaidah terutama dalam hubungannya dengan hal-ikhwal ketatanegaraan serta hukum, seperti tata cara menghadap raja. Di dalamnya juga diatur tentang pelapisan masyarakat atau stratifikasi sosial.
- Sara’ merupakan unsur yang terbaru yang diserap dalam Pangngadereng. Ia mengandung pranata dan hukum dimana kata sara’ itu jelas diambil dari kata syariah. Bahwa sejak raja-raja Bugis dan Makassar pada abad ke-17 mulai masuk Islam, hukum Islam diintegrasikan ke dalam pangngadereng. Keberadaan sara’ memberi warna Islam kepada pangngadereng. Dalam hirarki kerajaan diangkatlah pegawai yang khusus mengurusi rentang sara’ ini yang disebut parewa sara’. Dialah yang bertanggung jawab dalam soal ibadah, zakat, pengurusan masjid, serta pernikahan dan warisan.[10]
Jika budaya Bugis-Makassar ditelusuri ke zamannya yang paling tua, maka zaman itu disebut Galigo. Kebudayaan bugis Makassar yang sebelumnya hanya terdiri dari empat (ade’, bicara, rapang dan wari) merupakan materi perjanjian yang dilakukan antara Tomanurung di satu pihak dan rakyat di lain pihak pada zaman pra Islam.[11]
Setelah selesai zaman pra Islam, mulailah zaman pengaruh Islam yang amat kuat berinternalisasi ke dalam tubuh kebudayaan Bugis-Makassar. Ia memberikan coraknya pada papangaja dan paseng. Kenyataan ini pun menunjukkan betapa kuatnya kedudukan lontara sebagai khazanah kebudayaan Bugis-Makassar yang dihasilkan sebelum Islam, sebab sebagian besar masih tetap terpelihara dalam zaman setelah memeluk agama Islam. Lontara Latoa misalnya memuat sejumlah nasihat sekitar akhlak penyelengaraan masyarakat atau negara yang dikemukakan oleh Kajaoliddo, Toriyolo, Matinro’e ri Tanana, petta Maddanrenge, Arung Bila, Nabi Muhammad Luqman al-Hakim, Petta Matinroe ri Lariangbangngi. Di dalamnya terdapat juga sejumlah pedoman bagi raja (Arung), bagi anak raja (Ana’karung’e), guru (Anre’guru) baik yang laki-laki maupun perempuan.[12]
Materinya yang khusus ada kaitannya dengan masalah gender adalah pembicaraan sekitar keharusan anak raja di dalam rumah tangga istana, keharusan permaisuri, serta keharusan anak gadis. Anak gadis harus dijaga ketat karena diibaratkan kaca, jika sudah retak, bahkan bisa bernasib pecah, tidak berguna lagi. Perempuan juga diibaratkan kayu basah, sedangkan laki-laki ibarat api yang meluap-luap sehingga mudah memakan kayu basah itu.[13]
Peranan dalam islamisasi di Bone Arungpone dibantu oleh seorang qadhi yang bernama Syekh Ismail, beliau adalah qadhi kedua di kerajaan Bone sekaligus merangkap jadi qadhi di Soppeng. Syeikh Ismail menjadi guru di tengah-tengah pemikiran penduduk yang memiliki banyak fungsi, selain fungsi tempat ibadah, termasuk menjadi sarana pendidikan.
Lambat laun ajaran Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam proses islamisasi dikaitkan dengan kegiatan upacara-upacara keislaman dan upacara yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Jadi setiap ada upacara senantiasa ditempatkan sifat islami yang berdampingan dengan budaya masyarakat Bone dalam perkembangan selanjutnya nuansa keagamaan semakin bercorak dan diperkuat dengan masuknya aliran tasawuf dalam prosesi penyiaran Islam.[14]
Dalam sejarah disebutkan bahwa para raja Bone, mulai dari raja pertama sampai raja terakhir yang masuk Islam memberikan kesan bahwa masing-masing berbeda dalam usaha islamisasi dan memahami Islam. Hal ini berkenaan dengan kehadiran dan perkembangan agama Islam di Bone. Hal ini diwujudkan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan, kendatipun demikian, sejak agama Islam dikenal luas oleh masyarakat Bone, hampir semua kebijakan mempunyai muatan-muatan Islam, termasuk dalam aspek pendidikan ajaran agama Islam, pemerintah Bone banyak memberikan dukungan sampai pada masa pemerintahan raja terakhir Haji Andi Mappanyukki.
Pada masa raja yang terakhir ini, kehidupan sosial keagamaan meningkat, komitmen terhadap ajaran Islam diwujudkan dengan kepedulian menerapkan nilai-nilai keagamaan bagi masyarakat Bugis Bone. Selain itu juga dibarengi dengan sikap keteladanan yang ditunjukkan, beliau dikenal sangat taat dalam menjalankan syariat Islam.
Sumbangsih beliau terhadap pelaksanaan syariat Islam ditandai dengan didirikannya tempat-tempat ibadah, demikian juga prosesi Islamisasi di Bone, oleh masyarakat, masyarakat sudah mulai mensinkronisasi ajaran Islam dengan pangadereng.[15]
Perpaduan yang harmonis antara ulama dan umara membawa angin segar bagi penegakan perkembangan syariat Islam di Bone, pemerintah memberikan kemenangan pada ulama, dalam bidang keagamaan, sehingga keduanya mampu berjalan beriringan dengan semboyan: Riappaketenningi Ade’e pattupui ri sara’e) artinya adat tempat berpegang dan sara’ tempat saudaranya.[16]
Sejak masa itu peran ulama tidak hanya tergabung dalam organisasi qadhi, tetapi banyak di antara mereka melakukan aktivitas keagamaan di luar dari kordinasi organisasi formal. Para ulama lebih banyak memberikan pengajaran agama di masyarakat, termasuk yang dilakukan di tempat-tempat ibadah.
Perhatian yang besar dari pemerintah dengan memberikan dukungan atas kegiatan pertemuan oleh para ulama yang dihadiri 26 orang ulama dari segenap daerah di Sulawesi Selatan, yang dipimpin oleh KH. Abdullah Dahlan. Dalam pertemuan tersebut para ulama merekomendasikan beberapa gagasan penting yang diusulkan oleh KH. Muhammad As’ad, antara lain:
- Mengembangkan pendidikan Islam melalui madrasah diniyah di samping melanjutkan usaha para ulama yang masih ada dengan sistem tradisional.
- Madrasah mendapat dana pengembangannya dari sumber-sumber zakat fitrah dan kontribusi dari masyarakat
- Madrasah bebas dari segenap aliran politik, tidak menekankan pada satu aliran mazhab.
- Madrasah yang berkembang dapat membuka cabang-cabangnya dimana saja, atas permintaan masyarakat.
Para ulama menghindari sejauh mungkin persengketaan dalam perkara khilafiyah.
[1]Tim Penyusun, Ensiklopedia, Jilid I h. 216.
[2]Taufiq Abdullah, Islam dan pembentukan Tradisi di Asia Tenggara, Sebuah Perspektif Perbandingan (Cet. I; Jakarta: LP3ES, 1989), h. 80.
[3]Andi Nurhani Sapada, Tata Rias Pengantin dan Tata Cara Adat Perkawinan Bugis-Makassar (Ujung Pandang: Agung Lestari, 1985), h. 8.
[4]Lihat Ibid.
[5]Abu Bakar Surur, lektur agama dalam Aksara Lontara Berbahasa Bugis” dalam Al-Qalam: Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya” No. 12 Tahun VII Juli/Desember 1995 (Ujung Pandang: Balai Penelitian Lektur Keagamaan, 1995), h. 25.
[6]Lihat Timp Penyusun, op.cit., h. 513.
[7]Lihat Ibid.
[8]Lihat Abu Bakar Surur, op.cit., h. 24.
[9]A. Moein Mg, Siri’ Na Pacce dan Relevansinya dengan Budaya Bugis (Ujung Pandang: Yayasan Makassar Press, 1994), h. 53.
[10]Lihat Sajogyo Pudjiwati Sajogyo (Edit), Sosiologi Pedesaan (Cet. XI; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 19-21.
[11]Lihat A. Rahman Rahim, Gender: Konsep Agama dan Dasar dari Etika dan Budaya Masyarakat Sulawesi Selatan, Makalah dalam seminar Internasional Gender dalam Perspektif Islam dan Budaya Melayu oleh Universitas Islam Makassar di Hotel Sedona tanggal, 1-2 Juni 2001.
[12]Lihat Ibid., h. 6
[13]Lihat Ibid.
[14]Lihat Lontara yang Berisi Uraian Tentang Agama, No. VI-23 Museum Pusat Jakarta.
[15]Umar Shihab, Upaya Penyiaran Islam dalam Islamisasi di Indonesia, Edisi Perdana Watampon: Majalah Wawasan STAIN, 1998, h. 8.
[16]M. Tahir Kasnawi, Penyebaran Islam di Tanah Bugis, Majalah Mimbar Ulama, No. 8, 1977, h. 9.