Kepemilikan dan Kedudukan Harta dalam Kehidupan Manusia

Bumi dan langit dengan segala sesuatu yang ada diantara keduanya, demikian juga apa-apa yang terdapat dalam perut bumi merupakan milik-Nya. Firman Allah dalam surat asy-Syura:49, sebagai  berikut:

Terjemahnya:

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi”.[1]

Masih banyak lagi keterangan-keterangan yang terdapat di dalam nash-nash Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa segala harta benda, segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, semacam hasil bumi, lautan, matahari dan bulan, semuanya adalah semata-mata milik Allah SWT. Milik tersebut tidak membawa konsekuensi hukum-hukum apa, tetapi hanya untuk merealisasikan kepada dua tujuan pokok:

  1. Agar supaya tidak seorang pun ada yang hatinya tertipu, di kala ia mendapatkan harta yang berlimpah ruah dan jangan pula ia senantiasa hanya hidup untuk mengejar harta saja. Hati yang tertipu akan beranggapan, bahwa harta adalah miliknya sendiri. Itulah yang menjadi pangkal pokok dari keburukan kehidupan dalam masyarakat.
  2. Tiap-tiap orang senantiasa terikat dirinya dengan Undang-undang syariat  yang bersangkutan hak milik serta dapat menyesuaikan segala tindakannya dengan apa yang dikehendaki oleh Yang Maha pemilik Kerajaan seluruhnya, yaitu Allah SWT.[2]

Bertolak dari konteks ayat dan pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah, begitu juga Islam mengakui hak milik perorangan yang didasarkan kepada tenaga dan pekerjaan.

Selain itu, Islam sangat melarang mengambil hak milik seseorang  dengan melalui spekulasi (dirampas, di curi dan sebagainya yang dapat merugikan masyarakat). Harta yang diperoleh tersebut bukanlah menjadi tujuan pokok, tetapi semata-mata harus dijadikan sebagai alat guna mempertukarkan kepentingan dan memenuhi kebutuhan.

Sebaliknya harta milik yang tercela menurut Islam yaitu harta yang dijadikan sebagai tujuan pokok, yakni menjadikan harta sebagai pelindung ataupun yang ditimbun serta disembunyikan, kemudian menahan terhadap orang lain dari pemanfaatan yang seharusnya beredar dari tangan satu kepada tangan yang lain.

Islam juga sangat mengutuk orang-orang yang menghambur-hamburkan hartanya (tidak menggunakan hartanya dengan baik) tanpa guna demi keinginan syahwatnya yang nyata-nyata dilarang oleh syari’at. Orang yang demikian itu wajib di blokir hartanya. Sebab mereka dapat dikategorikan sebagai orang yang kurang akal (safih), keran itu masyarakat berhak pula menentukan jalannya. Sebab harta adalah milik Allah, sedang manusia hanyalah sebagai makhluk  yang diamanati, dititipi yang harus dijalankan dengan sebaik mungkin. Sebagaimana Allah SWT. Telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Hadid: 7 sebagai berikut:

Terjemahnya:

Belanjakan harta yang telah dikuasakan kepadamu oleh Allah untuk mengurusnya.”[3]

Keimanan yang tebal kepada Allah dan Rasul akan terbukti dengan kesudihan menafkahkan harta bendanya yang ada  pada seseorang, dan orang beriman selalu yakin bahwa Allah tidak akan menelantarkan dirinya dalam hidupnya…[4]. Jadi tangan si pemilik adalah tangan yang dikuasakan. Allah menjadikan harta itu sebagai perantara untuk memperoleh kebaikan, karena harta dalam pandangan Islam yang dimiliki oleh seseorang tersebut adalah merupakan tugas kemasyarakatan dan berfungsi untuk kemaslahatan hidup manusia.

Dengan demikian upaya untuk menjadi kaya merupakan fungsi social yang tujuannya menciptakan kebahagiaan masyarakat dan memenuhi segala kepentingan dan kebutuhan-kebutuhannya sekalipun harta tersebut merupakan hak perorangan yang telah diakui.

Islam menunjuk jalan lurus untuk membentuk masyarakat yang ideal; yaitu jalan solidaritas yang dengan itu kehidupan bangsa berjalan wajar dan kekuatan masyarakat menjadi kokoh tak tergoyahkan.

Demi terjaminnya hal tersebut, Islam mengikis habis sifat-sifat buruk melalui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. yang melihat pada fikiran  para pemilik harta, seperti “kebiasaan hidup tanpa tujuan dan kebiasaan hidup yang berlebih-lebihan”[5]

Oleh karena itu, Islam melalui cara menyadarkan orang untuk gemar memberikan pertolongan dengan hartanya, tidak menampilkan kemewahan yang menyolok, tidak melalaikan hak rakyat dan masyarakat dengan mengikatkan martabat mereka  ke tingkat taqwa yang sebenarnya.

Begitu juga Islam bermaksud menciptakan suatu masyarakat yang berlandaskan tauhid (tauhid society), yang menciptakan beberapa hubungan alternatif dengan melakukan pemerataan hak milik sebagai hasil pekerjaan dari usaha perorangan dalam amsyarakat dan dalam batas-batas kewajaran.

Pemerataan dan penggunaan yang telah diakui oleh Islam tersebut harus sejalan dengan hubungan antara Allah dan masyarakat, sehingga peredaran harta dari hak milik perorangan menuju hak milik masyarakat dapat berjalan sesuai yang diinginkan.


[1] Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: YPPA, 1985),       h. 791

[2] Mustafa Husni Assiba’i, Isytirakiyyatu al-Islamiyah, yang diterjemahkan oleh M. Abdai Ratomy dengan judul Kehidupan Sosial Menurut Islam Tuntutan Hidup Bermasyarakat.(Cet. III; Bandung: CV. Diponegoro, 1988), h. 152

[3] Departemen Agama RI., op. cit., h. 900

[4] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 27-28 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1981), h. 309

[5] John D. Donohue dan John L. Esposito, Islam Intransition, Muslims Perspectives, yang diterjemahkan oleh Makhnun Husein dengan judul Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah, (Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 1984), h. 173

Salam ..