Salah satu alat bukti dalam hukum pembuktian adalah saksi. Dalam pemeriksaan saksi berlaku asas umum, bahwa hakim tidak boleh menerima suatu hal sebagai kenyataan yang dikemukakan oleh saksi selama ia belum yakin benar tentang kebenaran yang disampaikan oleh saksi tersebut. Dalam pemeriksaan perkara perdata hakim harus berpegang kepada patokan bahwa sesuatu hal meskipun disaksikan oleh sekian banyak saksi, tetapi perkara yang diperiksa itu belum dianggap terang kalau hakim belum yakin terhadap kebenaran saksi itu terhadap segala hal yang disampaikannya.
Dalam pembuktian dengan saksi pada umumnya dibolehkan dalam segala hal kecuali jika Undang-undang menentukan lain seperti pembuktian persatuan harta kekayaan dalam perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan perjanjian kawin sebagaimana dikemukakan pasal 150 KUH Perdata.[1]
Pembuktian dengan saksi hendaknya digunakan lebih dari seorang saksi, karena seorang saksi, tanpa ada alat bukti lain tidaklah dianggap saksi (Unus Testis Nullus Testis)[2]. Artinya suatu peristiwa dianggap tidak terbukti kalau hanya didasarkan pada keterangan satu orang saksi. Agar keterangan saksi tersebut mempunyai nilai pembuktian, maka keterangan satu orang saksi itu haruslah dilengkapi dengan alat bukti lain seperti surat-surat, pengakuan dan sumpah salah satu pihak.
Suatu kesaksian harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata kepala sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi.[3] Keterangan yang didapatkan atas kesimpulan saksi tidaklah dapat diterima sebagai persaksian yang bernilai pembuktian, demikian juga keterangan yang di dapat dari orang lain bukanlah kesaksian.[4]
Di dalam kompilasi hukum Islam termuat dalam pasal 24 bab IV ayat 1-2 tentang saksi nikah bahwasannya saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Sedangkan pada pasal 25 bab IV dijelaskan tentang syarat-syarat saksi dalam akad nikah yaitu seorang laki-laki muslim, adil, aqil, baliqh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.[5]
Dalam keterangan tersebut di atas adalah merupakan ketentuan yang berlaku di dalam Kompilasi Hukum Islam, terhadap saksi dalam perkawinan atau akad nikah, yang mana keislamannya saksi adalah merupakan syarat utama dalam suatu akad yang membutuhkan seorang laki-laki muslim.
Sedangkan dalam pasal 195, 199 dan 206 bab V tentang wasiat saksi disyaratkan harus dua orang saksi[6]. Di sini menunjukkan bahwa saksi dapat saja beragama lain selama peristiwa tersebut disaksikannya sendiri atau dialami secara pribadi.
Jadi dalam hal ini dapat dikatakan bahwa persaksian dari non muslim dapat dibenarkan selama hal tersebut tidak menyangkut masalah pernikahan, sehingga penulis dapat mengambil suatu garis kesimpulan bahwa dalam praktek pendata kesaksian non muslim dibenarkan oleh Islam dan dapat dipergunakan sebagai pembuktian di pengadilan agama.
Adapun hal-hal atau kasus-kasus yang dapat melibatkan non muslim dalam persidangan menurut hukum Islam yaitu menyangkut masalah keperdataan dan menyangkut masalah Qadhaan.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam arus globalisasi dunia saat ini kehidupan masyarakat menjadi kompleks, dalam segala segi terjadi pembauran, terutama dalam bidang ekonomi, komunikasi dan informasi, ketenagakerjaan dan juga pemukiman. Dalam keadaan seperti ini bukan suatu hal yang mustahil akan terjadi kontak langsung diantara mereka dalam berbagai hal untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Akibat dari kontak langsung ini sering terjadi berbagai masalah yang pada akhirnya harus diselesaikan oleh pengadilan agama.
Dalam pemeriksaan di persidangan Pengadilan Agama sering dijumpai bahwa kasus-kasus tersebut memerlukan bantuan pihak lain, seperti pembuktian yang akan disampaikan oleh saksi yang bukan beragama Islam. Visum dokter yang dibuat oleh dokter yang bukan beragama Islam, atau bukti-bukti lain yang berkaitan langsung dengan orang non muslim.
Kenyataan yang tidak dapat disangkal lagi bahwa banyak pejabat negara Indonesia ini tidak seluruhnya muslim, dari tingkat pusat sampai ke tingkat desa/kelurahan banyak yang non muslim. Apakah hakim peradilan agama akan menolak surat-surat bukti yang dibuat pejabat resmi negara ini yang kebetulan bukan beragama Islam? Demikian juga kehendak salah satu pihak untuk mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan dengan alasan salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun. Bagaimana kalau hakim yang memutuskan perkara pidana terhadap salah satu pihak itu beragama non muslim? Padahal putusan Pengadilan Negeri itu merupakan alat bukti yang disampaikan oleh para pihak kepada majelis hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa perkara tersebut.
Dalam masalah perceraian karena alasan cacat badan yang tidak bisa disembuhkan, adanya penganiayaan, penyakit yang tidak bisa disembuhkan bukan suatu hal yang memberi kesaksian dalam persidangan adalah saksi non muslim. Apakah hakim Pengadilan Agama harus menolak kesaksian tersebut? Demikian pula dengan perkara izin poligami dengan alasan istri tidak dapat melahirkan keturunan, penetapan asal usul anak, perwalian, dan harta bersama yang besar, kemungkinan surat-surat yang dijadikan bukti dalam persidangan majelis hakim pengadilan agama itu dibuat oleh pejabat yang bukan beragama Islam, atau saksi yang diajukan beragama non muslim. Hal demikian, apakah hakim peradilan agama menolak kesaksian yang demikian itu?[7].
Sedangkan dengan hal yang dikemukakan di atas, apabila para hakim tetap berpegang kepada kitab-kitab fiqh tradisional, sudah barang tentu kasus-kasus tersebut akan mengalami hambatan dalam penyelesaiannya. Dan apabila saksi non muslim tidak diterima tentu salah satu diantara mereka ada yang dirugikan.
Dari beberapa contoh kasus di atas, penulis berkesimpulan bahwa saksi non muslim baik berupa keterangan saksi maupun akta otentik dapat diterima di Pengadilan Agama sepanjang penyaksiannya menyangkut peristiwa atau kejadian untuk memperjelas duduknya perkara. Hal-hal yang disaksikan itu adalah hal yang bersifat Qadhaan bukan hal yang bersifat dinyatakan atau hal yang telah diatur oleh aturan agama Islam seperti peristiwa pernikahan.
[1]R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Cet. 35; Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), h. 36.
[2]H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Agama (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2006), h. 372.
[3]Lihat Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Cet. 24; Jakarta: Intermesa, 1992), h. 180.
[4]R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., h. 482.
[5]Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: t.p, 2001), h. 23.
[6]Ibid., h. 89-93
[7]H. Abdul Manan, op. cit., h. 382-383.