Kemarin kita baru saja melihat bagaimana pedoman penegak hukum pada masa Rasulullah dan Masa Bani Umayyah. Sekarang kita akan melanjutkan dengan melihatnya pada masa Turki Usmani dan Masa Pasca Turki Usmani. Silakan diamati.
Kitab Pedoman Penegak Hukum Proses Peradilan pada Masa Turki Usmani. Keadaan lembaga peradilan dizaman Abbasiyah berlanjut sampai pada zaman Tueki Usmani. Namun di zaman ini, kesadaran para ulama fiqh muncul untuk mengkodifikasikan hukum yang akan dijadikan pedoman di lembaga peradilan, sehingga disusunlah kodifikasi hukum Islam pertama dengan nama Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah
(Kodifikasi Hukum Perdata Turki Usmani), yang diberlakukan mulai tahun 1293 H untuk seluruh wilayah di kerajaan Turki Usmani kodifikasi hukum ini diambil dari fiqh mazhab Hanafi.
Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah terdiri atas 16 bab dan memuat 1185 pasal. Bab-bab tersebut adalah jual-beli (buyu’), sewa-menyewa (ijarah), tanggungan (kafalah), pemindahan utang atau piutang (hiwalah), gadai (rahn), titipan (amanah), hibah, rampasan dan pengrusakan (ghazab wa itlaf), pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa (hajr, ukrah, dan syuf’ah), sarikat dagang (syarikat), perwakilan (wakalah), perdamaian dan pembebasan hak (shulhu wa ibra’), pengakuan (iqrar), gugatan (da’wah), pembuktian dan sumpah (bayyinah wa tahlif), peradilan, pemeriksaan di pengadilan.
Di samping Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah, dikeluarkan pula undang-undang keluarga (Qanunul ‘Ailat) yang dikhususkan untuk masalah-masalah perkawinan dan putusnya perkawinan. Banyak ketentuan-ketentuannya yang diambil bukan dari mazhab Hanafi, seperti tidak sahnya perkawinan orang yang dipaksa dan tidak sahnya talak yang dijatuhkannya.
Jika pada masa Abbasiyah sunber hukum yang digunakan dalam menetapkan hukum pada suatu perkara beragam sesuai dengan mazhab yang dianut oleh hakim di pengadilan tersebut, maka pada masa Turki Usmani seluruh hakim berkewajiban untuk menerapkan materi hukum yang telah dikodifikasikan tersebut.
Masa Pasca Turki Usmani
Pasca Turki Usmani bisa dikatakan sebagai proses pembentukan hukum modern, sesungguhnya terdapat sesuatu hubungan logis dan tak terpisahkan antara kemoderenan dan sekuralisme. Sekularisme merupakan gejala mencolok masyarakat modern dan kebudayaan ilmiah yang secara garis besarnya mengacu kepada dua proses yang berbeda namun saling berkaitan. Pertama, sekularisme berarti pemisahan antara negara/politik dan agama. Kedua, dengan keberhasilan rasionalisme yang mencolok dan mapan di berbagai bidang kehidupan beragama pada akhirnya kehilangan pengaruhnya, bahkan dalam kehidupan perorangan.
Pada awal abad ke-20, adopsi besar-besaran terhadap hukum barat dilakukan oleh Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938) setelah ia berhasil menghapus kekhalifahan Usmani (1 November 1922) dan mendirikan Republik Turki sekuler pada tahun 1924. sebelum resmi menjadi negara sekuler Mustafa Kemal telah mulai menghilangkan institusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan. Pada tahun 1924 Biro Syekh al-Islam dihapuskan, begitu pula kementerian syariat. Di zaman kerajaan Usmani kementerian syariat tidak ada dan kementerian ini didirikan oleh pemerintah nasionalis Mustafa Kemal bersamaan dihapusnya pula mahkamah syariat. Hukum syariat dalam soal perkawinan digantikan oleh hukum Swiss. Perkawinan yang dilakukan bukan lagi menurut syariat tetapi menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria. Selanjutnya diadakan hukum baru seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum laut, dan hukum obligasi. Dalam pembentukan hukum bari itu, hukum syariat dan hukum adat ditinggalkan dan berbagai model hukum barat diambil. Dalam perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1954 pemerintah Turki menerbitkan Turkeys Family Law yang mengadministrasikan hukum perkawinan ke badan peradilan negara dan mengurangi sedikit ketemuan yang dianggap tidak begitu penting dalam hukum perkawinan islam.
Ketika Napoleon menduduki Mesir pada tshun 1798 M, hukum yang berlaku dalam masyarakat adalah hukum islam.napoleon berusaha agar hukum-hukum yang berlaku di Prancis supaya dilaksanakan juga di Mesir dan sekaigus memarjinalkan hukum islam dalam tata hukum nasional Mesir. Pada tahun 1875 beberapa Undang-Undang Prancis diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan sekaligus diberlakukan diberbagai pengadilan campuran Mesir. Selanjutnya pada tahun 1883 M undang-undang tersebut dijadikan UU positif diseluruh Mesir. Program ini berakhir dengan menghapus lembaga pengadilan agama pada tahun 1955 M dan memasukkan kewenangannya ke dalam yurisdiksi lembaga pengadilan umum.
Sebelum hukum Mesir terkontaminasi dengan hukum Prancis dan hukum barat lainnya, hukum yang berlaku adalah hukum yang tidak terpisahkan dengan syariat Islam. Setelah kedatangan penjajah barat, hukum yang tertingggal adalah hukum privat yang dikenal dengan hukum-hukum keluarga (al-Ahwal al-Syakhsiyyah) dan itupun dalam bentuk yang tradisional. Setelah mesir menyatakan kemerdekaannya, hukum Islam diusahakan menjadi hukum positif dalam versi yang baru dengan memperhatikan perkembangan hukum modern. Pemerintah Mesir berusaha agar seluruh hukum positif yang berlaku di Mesir bersumber pada al-Qur’an, Hadits dan fiqh para fuqaha. Sementara itu, permasalahan baru yang ridak disinggung oleh undang-undang itu, diselesaikan dengan mengambil pendapat yang kuat dalam mazhab Imam Abu Hanifah.
Hukum keluarge Mesir dalam bentuk baru dikemas ke dalam lima bentuk hukum, yaitu : kekuasaan atas jiwa, kekuasaan atas harta, undang-undang tetang kewarisan, undang-undang tentang wasiat dan undang-undang tentang waeaf. Setiap bagian dari bentuk perundang-undangan ini mempunyai hukum materil dan hukum acara tersendiri. Misalnya hukum kekuasaan atas jiwa, diatur dalam undang-undang Nomor 100 tahun 1985 sebagai perubahan terhadap undang-undang Nomor 20 dan Nomor 25 tahun 1929. Sedangkan hukum acaranya berdasarkan undang-undang Nomor 1 tahun 2000.
Di Asia tenggara, malaysia tercatat sebagai negara pertama yang melakukan pembaruan hukum Islam, terutama hal-hal yang berhubungan dengan hukum-hukum keluarga. Hal ini dapat dilihat dalam Muhammadan Marriage Ordinance Nomor V tahun 1880 yang diperuntukkan bagi daerah pulau Penag, Singapura dan Malaka. Sedangkan untuk daerah Melayu bersatu (Perak, Selagor, Negeri Sembilan, dan Pahang) diberlakukan Regestration of Muhammadan Marriage and Divorces Enactment 1885. Sedangkan untuk daerah negara-negara Melayu tidak bersekutu (Kelantan, Perlis, Trenggono, dan Johor) diberlakukan the Devorces Regulation tahun 1907.
Setelah negara Malaysia memproklamirkan kemerdekaannya, peraturan perundang-undangan yeng menyangkut islam masih berserakan di dalam penetapan negara bagian yang mempunyai hak prerogatif membuat peraturan. Mengingat pluralitas penduduk yang menyangkut ras, etnik, dan agama di Malaysia, maka beragam pula budaya dalam kehidupan warganya. Etnik yang berbeda mengakibatkan berbeda pula budaya kehidupannya, bagi warga negara yang non muslim yang semula diberlakukan Christian Marriage Ordinance 1952 dalam bidang hukum perkawinan diperbaharui dengan Marriage and Divorce Act 1976. Sedangkan bagi yang beragama islam diterbitkan Law Reform (Marriage and Devorces Act 1976) yang banyak masalah baru tentang tata cara putusnya perkawinan dan akibatnya.
Pada tahun 1982 oleh pemerintah negara bagian Malaka, Kelantan dan Negeri Sembilan mengadakan perubahan dalam hukum keluarga yang meliputi berbagai aspek kehidupan, terutama dalam bidang perkawinan, kewarisan dan waqaf serta beberapa aspek hukum Islam yang lain. Usaha ini kemudian ditindak lanjuti oleh negara bagian Malaka dengan mengeluarkan undang-undang keluarga Islam Malaka tahun 1983, negara bagian Kelantan, Negeri Sembilan tahun 1983, wilayah persatuan pada tahun 1984, Perak mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1984, Pulau Penamg tahun 1985, Trenggaru tahun 1985, Pahang mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1987, Selarong mengeluarkan Undang-undang Nomor 2 tahun 1989, Johor tahun 1990, Serawak tahun 1990, Perlis tahun 1992 dan Sabah tahun 1992.
Di Indonesia, merujuk pada surat edaran Departemen Agama Cq. Biro peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari tahun 1958 yang ditujukan kepada seliruh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia agar dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqh sebagai rujukan di dalam memeriksa , mengadili dan memutuskan suatu perkara telah terjadi perselisihan pahan antara hakim peradilan agama terhadap substansi kitab-kitab fiqh tersebut. Dalam rangka penyeragaman hukum dan kepastian hukum maka lahirlah Kompilasi Hukum Islam sebagai rujukan para ahkim dalam memutuskan perkara de Pengadilan Agama.
Hasil ijtihad para mujtahid, baik yang dilaksanakan secara perorangan maupun yang dilaksanakan oleh organisasi Islam telah melahirkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Diantaranya UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria, Jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, UU Nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tehun 1999 yang telah diubah kagi dengan UU Nomor 4 Tahun 2004. UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Bank syariah jo. Peraturan pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil, UU Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan UU Nomor 3 Tahun 2006, UU Nomor 41 Tahun 2005 tentang waqaf dan Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang saat ini sedang digagas untuk ditingkatkan menjadi hukum terapan di kalangan peradilan agama.
Adapun permasalahan hukum yang timbul belum ada pengaturan dalam fiqh, dan belum juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan negara Indonesia, maka terhadap kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan Agama, terpaksa Pengadilan Agama melaksanakan ijtihad. Dengan alasan pasal 22 AB dan pasal 14 UU nomor 14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memutus dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalil bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Selain itu, pasal 229 Kompilasi Hukum Islam menekankan bahwa hakim dalam mengadili dan memutus perkara wajib memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.