Lembaga Peradilan Islam adalah lembaga peradilan yang dibangun berdasarkan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-qur’an dan Al-Hadits serta ijtihad dan para mujtahid, dalam arti kata bahwa peradilan islam adalah berdasarkan syari’at. Ia sah karena diperintahkan dalam syari’at dan dipraktekkan oleh pembawa syari’at, yaitu Nabi Muhammad saw. Dan penerus beliau.
Sebagai suatu lembaga (institusi), peradilan bertujuan menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, berdasarkan asas keadilan, persamaan dan lain sebagainya. Sehingga hasil keputusan yang dihasilkan tidak terlepas dari proses beracara dalam penyelesaian perkara (persidangan).
Oleh karena itu, ulama fiqh menyatakan bahwa lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga independen yang tidak membedakan pihak-pihak yang bersengketa dihadapan majelis hakim. Lembaga peradilan merupakan salah satu lembaga yang tidak terpisahkan dari tugas-tugas pemerintahan (al-wilayah al-ammah).
Kekuasaan kehakiman (al-sulthah al-qadha’iyah) sebagai salah satu tugas pemerintahan dalam praktek peradilan, dijalankan oleh para hakim yang ditunjuk oleh Rasulullah saw, sendiri dan para khalifah. Proses beracara sampai pada kitab pedoman yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara pada setiap masa berbeda, sesuai dengan kondisi, situasi, tempat dan waktu. Hal ini sejalan dengan semakin meluasnya wilayah islam dan etnis umat islam pun sudah beragam dengan membawa budaya masing-masing.
Pada masa Rasulullah saw, kitab pedoman yang digunakan adalah al-Qur’an dan Sunnah, pada masa sahabat disamping al-Qur’an dan sunnah, ijtihad para mujtahid juga dijadikan sebagai rujukan hukum. Setelah itu pada masa Tabi’in, sejalan dengan perkembangan fiqh islam dan melemahnya ijtihad dikalangan umat islam, serta pertentangan mazhab mulai menajam, maka masing-masing hakim di lembaga pengadilan menggunakan mazhab fiqh yang mereka anut.
Berbeda dengan masa Turki Usmani, untuk keseragaman maka kodifikasi dan para hakim wajib menerapkan maateri hukumnya. Menyusul kemudian negara-negara lain pasca Turki Usmani, dimana telah terjadi adopsi besar-besaran terhadap hukum Barat, tidak hanya hukum keluarga tetapi juga menyangkut hukum perdata pada umumnya dan hukum pidana.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang kitab pedoman penegak hukum proses peradilan dari masa kemasa, maka makalah ini akan membahas hal-hal yang berkaitan.
Menelusuri Kitab Pedoman Penegak Hukum Dalam Proses Peradilan pada Masa Rasulullah dan al-Khulafa al-Rasyidun
Pada masa Rasulullah, permasalahan yang dihadapi oleh islam umumnya bersifat sederhana, dan masih dapat diselesaikan oleh Nabi sendiri. Sehingga pada masa itu ada dua sumber hukum yang dijadikan pedoman oleh Rasulullah saw dalam menetapkan hukum, yaitu wahyu Ilahi (al-Qur’an) dan Ijtihad Rasulullah saw. Sendiri (al-sunnah). Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum, Rasulullah menetapkannya berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh swt. Wahyu inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib diikuti oleh masyarakat. Jika suatu masalah belum ada hukumnya yang ditetapkan oleh Allah swt, maka Rasulullah berijtihad untuk menetapkan hukum dalam suatu masalah yang dihadapinya. Hasil ijtihad Rasulullah saw. Salah, biasanya Allah swt. langsung memberi petunjuk agar hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijtihad itu supaya diperbaiki.
Dalam memutus suatu perkara, khalifah Abu Bakar mengambil hukum dari al-Qur’an, jika dala al-Qur’an tidak terdapat hukum yang akan diterapkan, maka Abu Bakar memperhatikan sunnah Rasulullah atau keputusan-keputusan yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah dalam memutus suatu perkara. Jika dalam sunnah Rasulullah dan Yurisprudensi tidak ada, maka Abu Bakar bertanya kepada para sahabat atau para ahli ilmu. Jika para sahabat dan ahli ilmu tidak ada yang mengambil hukum terhadap kasus yang diminta, maka Abu Bakar mengumpulkan para pemimpin negara dan ahli ilmu pengetahuan untuk berembuk guna guna mencari hukum yang tepat dalam kasus tersebut. Hukum yang telah disepakati oleh para pemimpin negara dan para ahli ilmu pengetahuan itulah yang dujadikan dasar untuk memutus suatu perkara dan menetapkan suatu hukum. Pada masa khalifah Umar bin Khattab, luasnya daerah kekuasaan Islam membuat Umar merasa perlu membenahi dan menyempurnakan sistem pemerintahan yana telah dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar sebelumnya.Umar mengadakan pembaruan signifikan dalam bidang administrasi negara. Umar mulai memisahkan tugas-tugas kehakiman dengan tugas-tusa pemerintahan umum, banyak instruksi yang dibuatnya untuk pegangan para hakim. Diantaranya adalah instruksi yang dibuatnya untuk pegangan para hakim. Diantaranya adalah instruksi Umar bin Khattab kepada Abu musa al-Asy’ari, hakim di kufah yang isinya mengandung pokok-pokok penyelesaian perkara dimuka sidang dan pokok-pokok hukun yang harus dipegang oleh hakim dalam menyelesaikan perkara, yang sekarang dikenal dengan hukum acara.
Ada beberapa ijtihad Umar yang kontroversial dan menimbilkan polemik dikalangan sahabat, karena sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw. maupun Abu Bakar. Umar pernah tidak memotong tangan pencuri karena alasan terpaksa. Umar juga tidak membagi-bagi harta rampasan perang berupa tanah Sawad di Irak dan syria kepada tentara yang berperang, tetapi membiarkannya tetap digarap pemiliknya. Selain itu, Umar juga tidak memberi bagian zakat kepada muallaf. Banyak sahabat yang mengeritik kebijakan Umar terhadap masalah-masalah tersebut, namun yang patut digarisbawahi adalah tradisi musyawarah yang tidak pernah ditinggalkan Umar dalam memecahkan masalah-masalah tersebut.
Pada masa kekhalifaan selanjutnya, yaitu masa Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, kebijakan dalam bidang kekuasaan yudikatif meneruskan kebijakan yang telah diterapkan oleh Khalifah Umar. Pada masa ini ini (al-khufa’ al-Rasyidun), sunber hukum yang dipedomani sebagai acuan dalam menetapkan hukum oleh para kadi dipengadilan adalah al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nashnya dalam al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam hadits, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah di antara para sahabat. Inilah bentuk ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal.
Baca juga Pola Ijtihad yang dibutuhkan pada masa kini.