Kitab Pedoman Penegak Hukum Proses Peradilan pada Masa Bani Umayyah & Bani Abbasiyah

Setelah sebelumnya kita melihat bagaimana kitab pedoman penegak hukum pada masa Rasulullah, kini kita akan melihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Silakan membaca, semoga bermanfaat. 

Kitab Pedoman Penegak Hukum Proses Peradilan pada Masa Bani Umayyah. Pada masa khalifah Bani Umayyah, proses eradilan tidak jauh berbeda dengan masa al-khulafa’ al-Rasyidun. Kitab-kitab pedoman yang digunakan oleh hakim-hakim Bani Umayyah juga kembali pada al-Qur’an dan sunnah serta menurut hasil ijtihad mereka.

Hakim pada umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada hakim yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutuskan perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari al-Qur’an atau sunnah Nabi saw. Atau ijma’ dengan pendapat dan ijtihadnya. Dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia minta bantuan pada ahli-ahli fiqh yang berada di daerah itu dan banyak di antara mereka yang berkonsultasi dengan khalifah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat. Oleh karena itu. Keputusan-keputusan hukum para hakim pada masa itu tidak dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi, sehingga keputusan-keputusan mereka benar-benar berwibawa, meskipun terhadap penguasa itu sendiri.

Kitab Pedoman Penegak Hukum Proses Peradilan pada Masa Bani Abbasiyah

Abad pertama sampai abad ketiga pada masa Abbasiyah, sebagai masa jaya dan kemajuan ijtihad dikalangan ulama fiqh, yang dijadikan sumber hukum dalam penetapan hukum de lembaga pengadilan adalah al-Qur’an, sunnah dan ijtihad para hakim sendiri. Akan tetapi, setelah itu bersumber hukum yang menjadi acuan para hakim sudah berubah, sejalan dengan perkembangan fiqh islam di masa itu. Pada masa itusemangat ijtihad telah mulai melemah, bahkan dikatakan pintu ijtihad telah tertutup. Pertentangan mazhab mulai menajam, sehingga masing-masing hakim dilembaga pengadilan dalam menetapkan hukum sesuai dengan maszb fiqh yang mereka anut

Dalam hal ini misalnya, pengadilan di Irak memutuskan perkara berdasarkan mazhab Abu Hanifah, di Suriah dan Maghrib berdasarkan mazhab Malik, di Mesir berdasarkan mazhab Syafi’i.

Apabila yang berperkara tidak menganut mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang perkara itu. Mazhab empat inilah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai masa itu sampai sekarang ini.

Dan situasi kacau-balau dalam hukum ini, serta tidak adanya ketentuan hukum yang harus dipegangi oleh hakim, sehingga mendorong Ibnu Muqaffa’ (144 H) untuk mengirim surat kepada Khalifah Abu Ja’far al Mansur, agar dipilih di antara pendapat dari Imam-imam mazhab dan fuqaha’, suatu hukum yang akan dipegangi oleh para hakim di seluruh negeri. Dan Khalifah benar-benar telah menyetujui keinginan ini, dan meminta kepada Imam untuk melaksanakan ide ini. Sehingga apabila yang berselisih bermazhab yang ada di tempat ia berselisih, maka ia harus meninggalkan mazhabnya dan perkaranya diselesaikan berdasarkan mazhab di tempat itu.