Pengertian Dalalah. Secara umum dalalah berarti memahami sesuatu atas sesuatu. Kata ‘sesuatu’ yang disebutkan pertama disebut madlul berarti ‘yang ditunjuk’. Adapun hubungannya dengan hukum, yang disebut madlal adalah hukum itu sendiri. Kata ‘sesuatu’ yang kedua disebut dalil, bermakna ‘yang diberi petunjuk’. Dalam kaitannya dengan hukum, dalil itu disebut ‘dalil hukum’.
Dalam ilmu ushul fikih dapat ditegaskan bahwa dalalah adalah pengertian yang ditunjuk oleh suatu lafadh kepada makna tertentu pembahasan tentang dilalah memiliki peranan penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih. Dalam berfikir dengan pola dilala tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup menggunakan petunjuk dan isyarat yang ada. Pola berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berfikir dilalah.
Macam-macam dalalah
Dalalah atau petunjuk lafaz memiliki beberapa macam, hanya saja dalam pembagiannya tidak ada kesepakatan yang sama dari ulama ushul fikih, sehingga terdapat beberapa pendapat dalam pembagian dilalah tersebut, dan menurut ulama Hanafiyah dalalah dibagi dalam empat bagian.
Dalalah ibarah al-nas
Menurut arti istilah (terminologi) ulama ialah Petunjuk lafaz kepada sesuatu arti atau hukum yang dimaksud untuk arti asli maupun arti tab’i dikatakan demikian karena petunjuk lafaz tersebut ditunjukkan pada arti zhahirnya saja (zahiru al-nas) atau bermakna tekstualnya saja. Sebagaimana dikatakan Badran Abul Aini : dalalah ibarah al-nas ialah petunjuk lafaz pada artinya yang cukup jelas baik dimaksud sebagai arti asli maupun arti tab’i.
Oleh sebab itu ibarat al-nas mencakup semua lafaz-lafaz yang sudah jelas maknanya seperti;
– Al-zhahir
– Al-nas
– Al-muhkam
– Al-mufassar
Karena semua lafaz-lafaz tersebut jelas maknanya dan tidak lagi membutuhkan faktor luar dalam memahami maksud maknanya.
Dengan demikian lafaz dalam dalalah ibarah al-nas bukanlah petunjuk lafaz kepada arti yang tidak jelas dan bukan pula petunjuk lafaz kepada arti yang tersurat. Sehingga dalam memahaminya tidak perlu mencari arti yang tersembunyi pada lafaz tersebut karena telah memiliki kejelasan makna.
Sebagaimana contoh QS. al-Baqarah (2): 275
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Dalalah ibarah al-nas dalam ayat tersebut di atas menunjukkan dua arti, yakni arti asli dan arti tab’i. Adapun yang menjadi arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas dari ayat tersebut di atas yaitu bahwa ‘jual beli tidak sama dengan riba’. Arti ini dikatakan sebagai arti asli, karena mula-mula dimaksudkan dengan susunan lafaz nas adalah untuk menolak asumsi bahwa jual beli sama dengan riba seperti yang disebutkan pada ayat sebelumnya
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.
Sedangkan arti tab’i yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas adalah bahwa hukum jual beli adalah halal dan hukum riba adalah haram. Arti ini disebut dengan arti tab’i. Karena merupakan arti lain dari ayat tersebut yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Menurut Abd. Wahab Khallaf, sighat nas dalam QS. al-Baqarah (2): 275, menunjukkan dengan dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna dikehendaki dari susunan kalimatnya, yaitu pertama, meniadakan persamaan antara jual beli dengan riba, kedua bahwasannya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba diharamkan. Kedua makna itu dipahami dari susunan kalimat nas tersebut dan dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki secara asal dari susunannya, karena ayat tersebut dikemukakan untuk membantah opini orang-orang kafir yang mengatakan bahwasannya jual beli itu adalah seperti riba, sedangkan makna yang kedua dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut, karena sesungguhnya penafian persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua duanya, sehingga dari perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasannya kedua hal tersebut tidaklah sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna yang dikehendaki dari susunan kalimatnya saja secara asal. Niscaya Allah mengatakan, ….padahal jual beli itu tidaklah seperti riba.
Contoh firman QS al-Hasyr (59) 7
Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;
Arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah apa yang diberikan Rasul dari harta rampasan ketika dilakukan pembagian maka terimalah dan yang dilarang bagimu dari harta rampasan itu maka tinggalkanlah. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena susunan lafaz dalam ayat tersebut terkait dengan pembagian harta rampasan perang sebagaimana yang diterangkan sebelumnya.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
Sedangkan arti tab’i yang dapat dipahami dengan dalalah al-nas dari ayat tersebut adalah wajib taat kepada Rasulullah pada setiap yang diperintahkan dan yang dilarang.
Isyarah al-nas
menurut arti istilah (terminology) ulama ushul adalah
Petunjuk lafaz kepada arti atau hukum yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Menurut Abu Zahrah dilalah ibarah al-nas yaitu dengan menyimpulkan satu hukum dari arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas. Contoh ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 236:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah boleh mentalak istri yang belum digauli serta belum ditentukan maharnya. Dari arti tersebut dapat disimpulkan hukum lain bahwa perkawinan tanpa ditentukan maharnya terlebih dahulu adalah sah. Karena talaknya sah maka pernikahannya juga sah karena talak yang sah itu dari pernikahan yang sah. Hukum ini dapat dipahami dari istilah isyarah al-nas karena hukum itu tidak tertera dalam ayat tetapi merupakan suatu kelaziman baik secara akal maupun kebiasaan.
Contoh yang lain firman Allah QS Al-Baqarah (2) : 233
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf
Dipahami dengan dilalah ibarah al-nas dari ayat ini adalah, bahwa kebutuhan nafkah makan dan pakaian anak-anak adalah menjadi kewajiban ayah.
Jika demikian, maka sudah semestinya nafkah anak sepenuhnya menjadi kewajiban ayahnya sendiri. Arti ini dipahami dengan isyarat al-nas karena dipahami dengan jalan mengambil kelaziman dari arti yang asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas yang disebutkan sebelumnya.
Dalalah al-nas
menurut istilah ulama usul adalah Petunjuk lafaz kepada berlakunya suatu hukum yang disebut oleh lafaz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan hukumya oleh suatu lafaz karena ada persamaan makna yang dipahami oleh ahli bahasa bahwa itu adalah illah yang menjadi sebab adanya hukum itu.
Perlu dijelaskan bahwa illah dalalah al-nas adalah jelas dan dapat dipahami dari susunan kalimat atau bahasa dari nas itu sendiri dan bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad.
Atas dasar ini ulama membedakan antar dalalah al-nas dengan qiyas. Ilah dalalah al-nas dapat dipahami dari lafaz atau dari sisi bahasa. Sementara Ilah dalam qiyas tidak bisa dipahami kecuali dengan jalan ijtihad. Namun demikian imam Syafi’i menyamakan antara dalalah al-nas dengan qiyas karena hukum dihasilkan oleh keduanya berdasarkan dengan illah.
Contoh; ketika Allah swt melarang suatu perbuatan, maka bukan sekedar perbuatan itu yang dilarang, tapi yang lebih penting lagi adalah apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu dilakukan atau kesan apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu terjadi, apakah menimbulkan manfaat atau mudarat, mafsadat atau mashlahat dari akibat inilah muncul suatu hukum, wajib, haram dan lain-lain.
Contoh firman Allah swt QS. Al-Isra (17) 23
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”
Maka lafaz ‘ah’ atau al-ta’fif satu ungkapan untuk menyatakan ketidak senangan atau penolakan kita atas perintah orang lain dan ucapan itu dapat menyakiti hati atau perasaan orang lain, sementara dalam pandangan Islam menyakiti perasaan sama hukumnya dengan menyakiti badan, bahkan terkadang dampaknya lebih besar lagi, apalagi kalau yang melakukan itu adalah anak kepada orang tuanya. Ini dipahami dari pemahaman bahasa semata tanpa ada unsur ijtihad di dalamnya.
Demikian pulalah kalimat memukul dari sisi bahasa kata ‘memukul’ adalah kata yang sudah dipahami oleh semua orang baik bentuknya maupun tujuannya, dan tujuannya adalah untuk memberikan rasa sakit seseorang baik fisik maupun perasaan dan lebih menyakitkan lagi jika kalau itu dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya; maka memahami makna dan tujuannya tidak membutuhkan ijtihad, hanya dipahami dari sisi bahasa dan asar yang ditimbulkannya.
Contoh lain firman Allah swt QS. An-Nisa (5) : 10
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Arti ayat yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas adalah haram makan harta anak yatim secara zhalim sedangkan illah larangan yang diambil dari ayat tersebut adalah karena perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap harta anak yatim, yang mana ia tidak mampu melawan tindakan pelanggaran itu dan illah ini sama akibatnya pada perbuatan-perbuatan yang tidak disebut oleh ayat di atas, seperti membakar, menenggelamkan dan seterusnya, karena akibatnya sama yaitu melenyapkan harta anak yatim, maka dengan dalalah al-nas perbuatan perbuatan tersebut juga sebagai perbuatan melanggar hukum.
Dalalah al-Iqtida’a
Petunjuk lafaz terhadap suatu makna yang dipahami dari makna yang ditakdirkan kepada berlakunya suatu hukum sebagaimana yang dimaksudkan oleh al-syari. Kebenaran dan kesahihan makna tersebut sangat tergantung kepada makna yang ditakdirkan itu baik secara syara maupun secara akal.
Contoh sabda Rasulullah saw
Diangkat dari umatku, kesalahan, dan lupa dan apa yang dipaksakan atasnya.
Secara zahir hadis ini menunjukkan bahwa, kesalahan, sifat lupa dan dipaksa, tidak akan menimpa seseorang, tetapi ini bertentangan dengan kenyataan karena manusia bukanlah makhluk yang ma’sum.
Begitupulah ketika manusia melakukan sesuatu karena lupa atau dipaksa, maka sesungguhnya pekerjaan itu tidaklah diangkat atau dihapus karena pekerjaan itu tetap ada.
Oleh sebab itu apa yang dikhabarkan Rasul saw kepada kita menyalahi kenyataan, tetapi Rasulullah tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran, maka dapat dipahami bahwa disitu ada makna yang harus ditakdirkan supaya makna menjadi sempurna.
Baca juga tentang pedoman hukum islam pada zaman Turki Usmani.