Hak Kewarisan dalam Perkawinan Beda Agama

Untuk menyatukan hati, maka terlebih dahulu harus ada penyesuaian terhadap keadaan jiwa dan arah yang akan dituju dalam mengarungi kehidupan perkawinan. Agama adalah sesuatu yang sangat dalam dan universal dalam memenuhi kehidupan jiwa secara hakiki, mempengaruhi dan mengarahkan perasaannya yang membentuk tabiat emosi dan menentukan jalan kehidupan baginya. Sekalipun demikian banyak orang yang telah tertipu oleh keyakinan semu atau keterbatasan pemahaman tentang aqidah, sehingga mereka beranggapan aqidah hanyalah perasaan selintas yang mungkin bisa ditukar dengan falsafah pemikiran atau teori sosial.[1]

Perkawinan beda agama merupakan problem yang pelik dalam hukum perkawinan dan hukum Islam Indonesia, mulai pelaksanaan perkawinan, perjalanan perkawinan (berumah tangga) hingga sampai pada akibat-akibat perkawinan. Itu dikarenakan setiap agama-agama yang disahkan di Indonesia mempunyai ketatapan syari’i tersendiri dalam prosesi pelaksanaan perkawinan.

Dalam ketentuan hukum Islam, sebab-sebab seseorang mendapatkan warisan itu ada tiga, 1) karena hubungan nasab, 2) karena hubungan perkawinan dan, 3) karena hubungan wala’ (memerdekaan budak).[2] Namun poin pertama dan kedua tersebut akan menjadi mentah kembali (tidak menerima bagian warisan) apabila suami dan atau  salah satu isteri menganut agama lain (berlainan agama).

Isteri atau suami mempunyai hak waris dari suami atau isterinya, yang menghubungkan hak suami atau isteri adalah karena hubungan perkawinan. Dasarnya adalah firman Allah swt dalam QS. An-Nisa (4) 11 dan 12.

Namun isteri atau suami tidak akan mendapatkan warisan bila suami atau isteri beragama lain (non muslim). Misalnya suami meninggal dunia dan ahli waris terdiri dari isteri (janda), dua anak perempuan. Isteri (janda) tidak menerima hak waris dari suami (muwaris), hal ini disebabkan karena antara si mayit dan isteri tersebut berlainan agama.

Anak yang lahir dari perkawinan beada agama akan menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaan hak kewarisannya. Apabila anak yang lahir dari perkawinan beda agama menganut agama salah satu orang tua yang beragama non muslim sebagai pilihan kepercayaannya, maka anak tersebut tidak mendapat warisan dari muwarris yang beragama Islam. Dikarenakan antara anak dan muwarris berlainan agama, atau ayah-ibu (muwarris) beragama Islam sementara anak (ahli waris) beragama non muslim.

Ulama empat Mazhab sepakat bahwa, non muslim tidak boleh mewarisi muslim. Ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, berbunyi :

Artinya :

Dari Usamah bin Zaid, bahwasannya nabi saw telah bersabda: muslim tidak mewarisi kafir, dan kafir tidak mewarisi muslim”[3]

Dalam riwayat lain, Ashab al-Sunan (penulis kitab-kitab sunan), yaitu Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majjah, sebagai berikut:

Artinya :

Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda-beda”.

Hal ini diperkuat dengan petunjuk umum QS. An-Nisa (4) ayat 141, berbunyi :

Terjemahnya:

“… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.[4]

Nabi Muhammad sendiri mempraktekkan pembagian  warisan, dimana perbedaan agama dijadikan sebagai penghalang mewarisi. Ketika pamannya Abu Thalib (orang yang cukup berjasa dalam perjuangan nabi) meninggal sebelum masuk Islam, harta warisannya hanya dibagikan kepada anak-anaknya yang masih kafir, yaitu ‘Uqail dan Thalib. Sementara anak-anaknya yang telah masuk Islam, yaitu ‘Ali dan Ja’far oleh nabi tidak diberi bagian warisan.

Di sebagian kalangan intelektual Indonesia telah ada wacana hak saling waris-mewarisi bagi pelaku perkawinan beda agama (Islam dan non Islam) yang bertujuan untuk mempererat hubungan internal keluarga (alasan toleransi) sebagai akibat kebolehan kawin beda agama. Namun menurut penulis, walaupun dibolehkannya perkawinan beda agama namun pelaksanaan pembagian harta peninggalan (sebagai akibat perkawinan beda agama) akan terganjal pada aturan agama masing-masing pihak, dalam arti hukum waris apa yang akan dipakai dalam pembagian warisan tersebut. Apabila memakai hukum waris Islam, bagaimana dengan ahli waris yang beragama non Islam, begitu pula sebaliknya. Jadi sesungguhnya implikasi dari perkawinan beda agama dalam hukum perkawinan Islam Indonesia mengakibatkan sulitnya pelaksanaan aspek-aspek hukum yang lainnya.


[1]Abdul Muta’al M.Al-Jabaru, Jariemat Az-Zawaj Bighoiri al-Muslimat diterjemahkan oleh M. Azhari Hatim dengan judul Perkawinan Antar Agama: Tinjauan Islam (Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 11.

[2]Lihat Ali Parman, Kewarisan dalam Al-Qur’an; Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 61.

[3]Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulughul Maraam, Jilid II, diterjemahkan oleh A. Hasan dengan judul Bulughul Maraam; Berikut Keterangan dan Penejelasannya (Cet. I; Bangil: CV. Diponegoro Bandung, 1985), h. 76.

[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lubuk Agung Bandung, 1989), h. 146.