Undang-Undang tentang Peradilan Agama

Didasarkan pada sejarah peradilan agama di Indonesia, yang dimaksud peradilan agama adalah peradilan agama Islam. Dalam Undang-Undang Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989), hal tersebut ditegaskan kembali bahwa peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam, mengenai perkara-perkara tertentu, yaitu: perkara perkawinan, perkara kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan perkara wakaf dan shadaqah.

Peradilan agama – dalam bentuknya yang sederhana – telah ada sejak masuknya Islam ke Indonesia, dan kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda diakui dan dimantapkan kedudukannya. Pada tahun 1820, melalui Stbl. Nomor 22 pasal 13, dinyatakan bahwa para bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang jawa, seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka, dan yang sejenis dengan itu. Dari istilah “Bupati” yang digunakan dalam instruksi pemerintah Hindia Belanda pada bulan September 1801 dan Stbl. Nomor 22 tahun 1820 tersebut, dapat diduga telah ada peradilan agama, paling tidak di seluruh Pulau Jawa. Pada tahun 1823, dengan resolusi Gubernur Jendral Hindia Belanda Nomor 12 tanggal 3 Juni 1823, diresmikan Pengadilan Agama di Kota Palembang yang diketuai oleh Pangeran Penghulu, sedangkan banding dapat dimintakan kepada Sultan. Wewenang Pengadilan Agama di Palembang itu meliputi:

  1. Perkawinan
  2. Perceraian,
  3. Pembagian harta,
  4. Kepada siapa anak diserahkan apabila orang tua bercerai,
  5. Apakah hak tiap-tiap orang tua yang bercerai itu terhadap anak mereka,
  6. Pusaka dan wasiat,
  7. Perwalian, dan
  8. Perkara-perkara lain yang menyangkut agama.

Perkara yang menjadi kewenangan peradilan agama meliputi bidang hukum kekeluargaan Islam.

Pemerintah kolonial Belanda mengakui dan memantapkan kedudukan peradilan agama di Jawa dan Madura pada tahun 1882. Akan tetapi, dalam memutuskan perkara para hakim peradilan agama belum mempunyai dasar pijakan yang seragam karena hukum Islam yang berlaku belum menjadi hukum tertulis dan masih tersebar di berbagai kitab kuning sehingga untuk kasus yang sama, kadang-kadang diputuskan secara berbeda. Menurut Masykuri Abdillah, Undang-Undang Peradilan Agama menurut konsiderannya dimaksudkan untuk standardisasi berbagai ketentuan hukum di peradilan agama.

Menurut Busthanul Arifin, kebijakan pemerintah kolonial terhadap peradilan agama adalah: “Mula-mula peraturan tersebut sekadar memberi petunjuk supaya jangan ‘mengganggu’ peradilan agama yang ada, lama-lama mengaturnya dan mengarahkannya ke sudut ‘netral’ (tidak membahayakan politik hukum kolonial) dan kemudian dengan Stb. 1931: … yang untuk sebagian mulai berlaku 1937, memberikan pukulan ‘KO’ pada peradilan agama. Jadilah sejak itu peradilan agama sebagai kuasi pengadilan namanya pengadilan, tetapi hakikatnya bukan pengadilan sama sekali, hanya sekadar badan administrasi mengenai NTR, yang tidak memiliki kekuasaan untuk melaksanakan keputusan sendiri.

Peradilan agama telah ada dan diakui sejak masa penjajahan Belanda itu tetap dipertahankan setelah Indonesia merdeka. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, peradilan agama masih tetap diakui sebagai salah satu lingkungan peradilan tata usaha negara. Namun, kenyataan yang demikian tidak membuat surut upaya pihak-pihak tertentu yang tidak menghendaki peradilan agama.

Menurut Busthanul Arifin, untuk mengurangi resistensi dari pihak-pihak yang tidak menghendaki atau tidak menyetujui pengaturan peradilan agama dengan undang-undang, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama sengaja tidak disusun dan diajukan oleh Menteri Agama, tetapi diminta Menteri Kehakiman yang menyusun dan mengajukannya agar kecurigaan kalangan lain bisa dikurangi. Akan tetapi, ternyata Ismail Saleh, sebagai Menteri Kehakiman, menunda RUU tersebut untuk diajukan, malah mendahulukan mengajukan RUU lain. padahal, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama lebih dulu siap. Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama, Keputusan Menteri Kehakiman membebankan biayanya kepada Departemen Agama dan ini adalah satu-satunya Keputusan Menteri yang membebankan biaya ke Departemen lain.

Rancangan Undang-Undang tentang peradilan agama disampaikan oleh Presiden dengan Surat Nomor R.06/PU/XII/1988 tanggal 3 Desember 1988. selanjutnya, Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama diberitahukan kepada anggota DPR dalam Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 17 Desember 1988. pemerintah dalam keterangannya pada Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tanggal 28 Januari 1989 menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama dibuat sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; Peradilan agama telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum pemerintah kolonial menginjakkan kakinya di nusantara. Peradilan agama telah berdiri karena adanya kebutuhan hukum masyarakat Muslim. Stb. 1882-152 sekadar meresmikan lembaga peradilan agama yang telah ada. Lembaga peradilan agama yang telah ada itu tidak mungkin terus dibiarkan berjalan sendiri tanpa diatur secara resmi; Apalagi, berdasarkan peraturan perundang-undang warisan pemerintah kolonial Belanda itu ada kelemahan mendasar, yaitu bahwa peradilan agama adalah peradilan semu karena tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri (dalam Rancangan Undang-Undang diaturnya juru sita pada peradilan agama. Dengan demikian, peradilan agama dapat melaksanakan sendiri putusannya). Kehadiran peradilan agama dilatarbelakangi oleh kebutuhan hukum umat Islam di Indonesia sebagaimana halnya di negara yang ada penganut Islamnya, seperti Singapura, Filipina, Srilanka, Brunai Darussalam, dan Malaysia; Oleh karena itu, kehadiran peradilan agama hendaklah diterima dengan lapang dada oleh penganut agama lain dan kehadirannya semata-mata karena kehendak sejarah yang tidak akan mengganggu kepentingan penganut agama lainnya.

Usaha menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama telah dimulai sejak tahun 1971 dan dimulai kembali pada tahun 1982. Semula pemerintah merencanakan mempersiapkan dua RUU, yaitu satu Rancangan Undang-Undang tentang Susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama dan satu lagi Rancangan Undang-Undang tentang Acara Peradilan Agama. Namun, karena Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara sekaligus mengatur hukum acaranya dan hukum acara perdata pada peradilan umum yang dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 70 masih disusun, maka kedua RUU itu digabungkan menjadi satu. Dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama menjadi undang-undang diharapkan berakhirlah keanekaragaman pengaturan tentang peradilan agama sebagai akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda.

Dalam jawaban pemerintah atas tanggapan fraksi-fraksi, pemerintah mengungkapkan agak panjang lebar sejarah peradilan agama dalam rangka meluruskan latar belakang sejarah dan memberikan gambaran bahwa penyiapan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama bukan merupakan hal yang baru biasa sehingga tidak perlu disalahtafsirkan seolah-olah akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Tujuan penyiapan RUU ini adalah untuk lebih menyempurnakan pengaturan hukum peradilan agama.

Mengenai posisi Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama dalam pembinaan hukum nasional, dalam jawabannya atas Pemandangan Umum fraksi-fraksi pemerintah (dhi Menteri Agama) mengutip jawaban pemerintah (Menteri Kehakiman, Prof. Oemar Senoadji) dalam jawaban pemerintah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi DPR-RI atas Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman  tanggal 31 Oktober 1968, bahwa prinsip equality before the law merupakan salah satu hak asasi manusia. Namun demikian, tidak mungkin serta tidak adil jika prinsip ini diterapkan kepada semua warga negara tanpa pembedaan dan dalam semua perundang-undangan, karena tanpa memperkecil arti prinsip ini diterapkan kepada semua warga negara tanpa pembedaan dan dalam semua perundang-undangan, karena tanpa memperkecil arti prinsip equality before the law itu, perbedaan-perbedaan yang asasi yang ada di antara warga negara dapat dan seharusnya mendapatkan peraturan-peraturan yang berlainan dalam hukum. Legal distinction tidak harus dipandang sebagai inequality before the law. Sebaliknya, tidak dapat dikatakan bahwa asas equality before the law hanya dianggap sah apabila factual condition sama secara keseluruhan. Atas dasar itu, selalu dapat dipikirkan pengaturan hukum mengenai suatu golongan. Prinsip equality before the law mengandung nilai esensial yang meletakkan kewajiban pembuat undang-undang untuk menjauhkan diri dari tindakan diskriminatif. Pemerintah berpendapat, persyaratan beragama Islam untuk para hakim dan para pejabat di lingkungan peradilan agama adalah karena bagi para pencari keadilan yang beragama Islam akan merasa mantap kalau hakim dan para pejabat di lingkungan peradilan agama beragama Islam. Akan tetapi, pembela/penasihat hukum di lingkungan peradilan agama tidak mesti beragama Islam, asal menguasai hukum Islam.

Perundang-undangan khusus yang melayani kepentingan  golongan-golongan agama tidak dimaksudkan sebagai suatu pengaturan materi yang diskriminatif dan sewenang-wenang. Adanya ciri-ciri dan karakteristik pada golongan agama menimbulkan legal distinction bukan suatu diskriminasi yang sewenang-wenang sehingga tidak dapat dipandang sebagai suatu inequality before the law. Menurut pemerintah, hukum nasional harus diartikan satu sistem hukum nasional, yang di dalamnya terdapat berbagai subsistem hukum nasional sehingga kalimat “satu kesatuan hukum” tidak boleh diartikan terlalu sempit. Oleh karena itu, pemerintah mengimbau, “hendaknya kehadiran Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama ini kita terima dengan lapang dada. Kehadiran Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama ini semata-mata kehendak sejarah dan tidak akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.”

Dalam jawaban pemerintah atas tanggapan fraksi-fraksi, pemerintah banyak menanggapi fraksi PDI. Pemerintah dalam jawabannya menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama ”pada dasarnya telah diterima dengan beberapa usul penyempurnaan oleh Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi Persatuan Pembangunan, serta yang tampaknya tidak ditolak oleh Fraksi PDI”. Kalimat ini mengsyaratkan pemetaan pemerintah atas aspirasi fraksi-fraksi mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama.

Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang diajukan oleh pemerintah mendapat tanggapan luas dari berbagai kalangan. Peta aspirasi kekuatan politik di DPR mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut.

Fraksi ABRI dalam Pemandangan Umumnya menyambut gembira masuknya Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama. Fraksi ABRI menolak pendapat yang menganggap Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama tidak sejalan dengan arah pembangunan hukum nasional. Menurut Fraksi ABRI, dalam mengartikan kalimat “satu hukum nasional yang mengabdi pada kepentingan nasional” hendaknya titik berat tidak diletakkan hanya pada kesatuan hukum dalam arti satu hukum yang berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia karena penerapan hal demikian akan menyebabkan terjadinya pemaksaan hukum kepada golongan tertentu yang pasti akan menimbulkan ketidakadilan. Hendaklah disadari bahwa hukum harus berorientasi pada kepentingan bangsa mencerminkan cita-cita bangsa dan mengabdi pada kepentingan bangsa dengan tetap menyadari keragaman bangsa itu sendiri. Tegasnya, menurut Fraksi ABRI, pembangunan hukum hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan hukum yang khusus dari golongan rakyat tertentu di dalam masyarakat.

Undang-Undang tentang Peradilan Agama Islam, menurut Fraksi ABRI, hanya merupakan pengesahan terhadap hukum perdata Islam terbatas yang sudah berlaku berabad-abad. Fraksi ABRI mengimbau:

Hendaklah kita semua menyadari bahwa yang hendak ditegakkan melalui peradilan agama ini hanyalah sebagian dari hukum perdata Islam (dan tidak termasuk pidana materiil) itu pun terbatas dengan yang menyangkut hal perkawinan, wakaf, shodaqah (Pasal 49 ayat (1) a dan (1) c), sedangkan yang menyangkut kewarisan, wasiat, dan hibah (Pasal 49 ayat (1) b) hanya dapat diberlakukan bagi para pencari keadilan umat Islam yang bersangkutan dalam hal menggunakan hukum Islam, sedangkan bagi yang tidak menggunakan hukum Islam, dapat memilih mengajukan perkaranya melalui peradilan umum (rechtskeuze).

Fraksi ABRI menyoroti perkara yang menjadi kompetensi peradilan agama. Fraksi ABRI menyatakan, hampir semua tanggapan dan pendapat mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama mempermasalahkan materi Pasal 49 RUU: adanya badan peradilan tersendiri untuk suatu golongan tertentu (Islam) dengan menggunakan dan untuk menegakkan hukum yang bersumber pada agama (Islam). Persoalan lainnya tidak banyak dipermasalahkan. Menurut Fraksi ABRI, kekhawatiran akan hapusnya hukum adat tidak perlu ada karena Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama memungkinkan adanya pilihan hukum.

Mengenai materi Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Fraksi ABRI dalam Pemandangan Umumnya juga menyoroti syarat harus beragama Islam bagi pejabat di lingkungan peradilan agama. Menurut Fraksi ABRI, syarat tersebut bukan suatu bentuk diskriminasi, justru akan memberi dampak positif bagi para pencari keadilan dan secara psikologis akan memberi kemantapan terhadap putusan peradilan agama. Namun, Fraksi ABRI mempertanyakan: apakah tidak sebaiknya persyaratan tersebut hanya ditentukan bagi para hakim dan tidak bagi pejabat yang bukan hakim. Akan tetapi, dalam Pendapat Akhirnya, Fraksi ABRI menyatakan bisa menerima penjelasan pemerintah bahwa pencantuman persyaratan beragama Islam itu “bukanlah cerminan dari sikap diskriminatif terhadap warga negara yang bukan beragama Islam, melainkan semata-mata demi terpenuhinya kemantapan psikologi para pencari keadilan”.

Berkaitan dengan teknik perundang-undangan, semula Fraksi ABRI mengusulkan agar Pasal 29 Undang-Undang Dasar dicantumkan dalam konsideran mengingat, tetapi akhirnya Fraksi ABRI tidak berkeberatan menerima rumusan dalam RUU aslinya, tanpa mencantumkan Pasal 29 Undang-Undang dasar 1945 karena, antara lain: pencantuman pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 dalam konsideran mengingat “selain dapat menimbulkan kesan seolah-olah negara mencampuri kehidupan beragama warganya, juga dapat menimbulkan anggapan seolah-olah Undang-Undang tentang Peradilan Agama akan memberi corak keagamaan terhadap suatu lembaga negara.”

Mengenai adanya sinyalemen yang menganggap Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama sebagai langkah menuju penerapan Piagam Jakarta, yang mewarnai wacana pro-kontra mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, Fraksi ABRI dalam Pemandangan Umumnya berpendapat, adanya usaha pengamanan berlapis dan ketat dalam Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama dapat menjamin tidak akan menjurus ke arah akan diberlakukannya Piagam Jakarta. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pendapat Akhir Fraksi ABRI. Dengan kalimat yang tegas, Fraksi ABRI dalam Pemandangan Umumnya menyatakan: “Apabila memang terbukti ada usaha untuk mengubah negara berdasarkan Pancasila, ABRI-lah yang pertama-tama akan menghadapinya.

Fraksi Karya Pembangunan (FKP) dalam Pemandangan Umumnya menyambut baik diajukannya Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama. Karena peradilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang harus diatur dengan undang-undang. Namun, setelah delapan belas tahun lebih Undang-Undang Nomor 14 Tahun  1970 diundangkan, hanya eksisitensi peradilan agama saja yang belum diatur dengan undang-undang

Mengenai materi Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama, dalam Pemandangan Umumnya, FKP menyoroti persyaratan wakil sekretaris dan juru sita pengganti yang harus beragama Islam. FKP mengharapkan penjelasan pemerintah tentang perlunya persyaratan demikian. FKP memandang perlu adanya prinsip kesukarelaan bagi para pencari keadilan terhadap bidang-bidang yang akan menjadi kompetensi peradilan agama kecuali di bidang perkawinan. FKP juga menyatakan perlu adanya keterbukaan persyaratan pembela/penasihat hukum di lingkungan peradilan agama sepanjang mereka mengenai hukum Islam di samping pengetahuan hukum lainnya.

Dalam pendapat akhirnya, FKP menyatakan setuju persyaratan beragama Islam bagi pejabat dan pegawai peradilan agama, bukan karena ingin memberikan keistimewaan kepada golongan rakyat yang beragama Islam, melainkan semata-mata demi kemantapan rasa keadilan pencari keadilan yang menyelesaikan perkaranya di peradilan agama. FKP berpendapat bahwa di antara perkara yang menjadi kompetensi peradilan agama, bidang kewarisan mempunyai keluwesan yang khusus sejalan dengan hakikatnya yang berkaitan pula dengan hukum kebendaan, lagi pula dalam hukum Islam dikenal penyelesaian kewarisan melalui kesepakatan para ahli waris. FKP sependapat dengan prinsip pilihan hukum yang diintroduksi oleh udang-undang ini.

Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) dalam Pemandangan Umumnya menyatakan bahwa pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Keberadaan dan perkembangan peradilan agama, menurut FPP, karena adanya tuntutan kebutuhan hukum masyarakat muslim yang telah ada sebelum penjajahan. Mengenai kebutuhan hukum itu, FPP mencontohkan bahwa sejak Stb. 1937-116 peradilan agama di jawa dan Madura tidak lagi berwenang secara formal atas perkara-perkara kewarisan, namun kenyataannya banyak permohonan yang diajukan sehingga pengadilan agama mengeluarkan fatwa waris yang sesungguhnya tidak ada peraturannya, namun tumbuh dan berkembang dari kebiasaan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang dalam perkembangan fatwa waris yang mula-mula tidak mempunyai bentuk kemudian diberi bentuk tertulis.

Berbeda dengan fraksi-fraksi tersebut di atas, yang menyambut baik Rancangan Undangan-undangan tentang Peradilan Agama,  Fraksi PDI dalam pemandangan umumnya bahkan menyoroti undang-undang Nomor 14 tahun 1970, yang menyebut peradilan agama sebagai salah satu lingkungan peradilan. Dikatakannya, secara akademik, undang-undang tersebut masih melanjutkan diskriminasi yang membagi ragam hukum sesuai dengan agama, suku dan golongan orang, sehingga belum merupakan hukum nasional yang dicita-citakan. Menurut Fraksi PDI, pada hakikatnya undang-undang nomor 14 tahun 1970 belum merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berwawasan nusantara sehingga perlu ditinjau terlebih dahulu. Berikut ini beberapa pertanyaan bernada keberatan yang disampaikan oleh Fraksi PDI dalam menyoroti Rancangan Undang-undang tentang Peradilan Agama:

Rancangan Undang-undang peradilan agama adalah rancangan produk hukum yang akan berlaku dan berlakukan untuk sebagian masyarakat yang beragama Islam. Bagaimanakah kiranya dan upaya apa agar rancangan undang-undang peradilan agama tersebut tidak menimbulkan persepsi pengertian yang salah di antara warga negara republik Indonesia yang bhinneka tunggal ika?

Jika rancangan undang-undang peradilan agama ini menjadi undang-undang yang akan berlaku bagi kelompok warga negara tertentu, bagaimana kedudukannya dengan pasal 27 ayat (1) undang-undang dasar 1945, apakah hal ini sesuai dengan makna jiwa dan semangat pasal 27 ayat (1) undang-undang dasar 1945 dalam kaitannya dengan pembangunan hukum nasional atas dasar Pancasila dan Undang-undang dasar 1945?

Bagaimana perwujudannya dalam usaha mencapai terbinanya hukum nasional yang memperkukuh wawasan nusantara?

Bila rancangan undang-undang peradilan agama telah diterima sebagai undang-undang bagaimanakah pelaksanaan berlakunya hukum adat yang telah berakar dan masih hidup di dalam masyarakat untuk melakukan pilihan hukum?

Kiranya perlu dicatat bahwa setelah diajukannya rancangan undang-undang peradilan agama oleh pemerintah kepada dewan beberapa waktu yang lalu, timbul pertanyaan disementara kalangan masyarakat kemungkinan adanya kecenderungan RUU tersebut dengan piagam Jakarta.

Dalam rapat panitia khusus, Budi Hardjono  (Fraksi PDI) menyatakan: rancangan undang-undang Peradilan Agama menyangkut berbagai masalah yang sangat mendasar yang peka dan rawan, “karena itu FPDI berpendirian bahwa penyelesaian rancangan undang-undang peradilan agama ini tidak harus dibatasi oleh jadwal waktu yang relatif terlalu pendek”. Di samping itu, fraksi PDI juga minta diadakan rapat dengar pendapat antara Pansus dan tokoh-tokoh masyarakat, sementara fraksi-fraksi lainnya menyatakan sudah melakukannya, baik melalui dengar pendapat maupun melalui media massa. Mengenai materi RUU, fraksi PDI mengusulkan tambahan ayat (4) pada pasal 49 dengan rumusan:

“dengan mengingat kesadaran hukum masyarakat, kepada umat Islam diberikan kesempatan untuk melakukan pilihan hukum dalam bidang kewarisan, hibah dan wasiat.

Dengan demikian, Fraksi PDI mengusulkan agar masalah pilihan hukum dicantumkan secara tegas dalam pasal, tidak hanya disimpulkan atau ditafsirkan.

Pembahasan rancangan undang-undang tentang peradilan agama di panitia khusus menghasilkan mufakat bulat. Draf akhir rancangan undang-undang tentang peradilan agama hasil kerja pansus disetujui. Perbandingan RUU asli dengan draf akhir rancangan undang-undang tentang peradilan agama adalah: judul tetap, konsideran menimbang mengalami penyempurnaan redaksi dan penambahan 1 (satu) butir baru; bab dan pasal tetap 7 (tujuh) bab, 108 (seratus delapan), pasal; hanya ada perubahan, baik penambahan ketentuan maupun penyempurnaan uraian, dan ada ketentuan pasal yang diganti dengan ketentuan baru. DPR menyetujui rancangan undang-undang tentang peradilan agama untuk disahkan menjadi undang-undang dalam rapat tanggal 14 Desember 1989.

Apa yang diuraikan di atas adalah pertarungan gagasan di lembaga legislatif. Di luar dewan perwakilan rakyat terjadi pro-kontra yang tak kalah bahkan mungkin lebih seru. Ketika rancangan undang-undang peradilan agama dibahas, ada yang mendukung, dengan alasan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat muslim serta memiliki landasan secara historis ataupun yuridis konsititusional, dan ada juga yang menentang. Menurut Ridwan Saidi, secara kategoris, ada tiga pola reaksi yang menentang terhadap rancangan undang-undang peradilan agama. Pola pertama, menganggap undang-undang peradilan agama tidak diperlukan dengan alasan perlu kesatuan pengadilan dalam rangka unifikasi hukum. Mereka yang berpendapat seperti ini tetap menganggap perlu adanya peradilan agama yang pelaksanaannya diintegrasikan ke dalam peradilan umum. Pola kedua, menganggap undang-undang peradilan agama tidak perlu dan menghendaki pembubaran pengadilan agama, dengan alasan pelaksanaan hukum Islam bergantung sepenuhnya kepada umat Islam sendiri. Pendapat ketiga, menolak rancangan undang-undang peradilan agama, menolak eksistensi peradilan agama, dan pengadilan agama.

Ketiga pendapat tersebut tidak beralasan, bertentangan dengan undang-undang dasar 1945 dan undang-undang nomor 14 tahun 1970. memang, dalam undang-undang dasar 1945 tidak disebutan secara eksplisit tentang peradilan agama (lingkungan peradilan  lainnya juga tidak disebutkan secara eksplisit), tetapi dilihat dari pasal II aturan peralihan undang-undang dasar 1945, peradilan agama sudah ada sejak zaman penjajahan dan keberadaannya diperlukan oleh umat Islam.

Benar bahwa keberadaan peradilan agama bukan jaminan bagi dilaksanakannya hukum Islam, melainkan keberadaan peradilan agama tetap diperlukan. Anggapan hukum Islam semata-mata urusan pribadi umat Islam adalah pemikiran sekular yang tidak memiliki dasar pijakan di dalam Pancasila dan undang-undang dasar 1945, yang dalam prakteknya mungkin akan menimbulkan sikap mendua atau harus memilih satu di antara dua (hukum agama atau hukum negara) jika keduanya mengandung pertentangan. Hazairin pernah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengadilan agama. Ketika pengadilan agama dibentuk di Palembang, ia menolaknya. Penolakan Haizirin terhadap pengadilan agama dan sebaliknya persetujuannya terhadap hukum Islam berdasar pada alasan bahwa pelaksanaan hukum Islam tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengadilan agama. Sikap Haizirin tersebut bersandar pada ketidakberesan administrasi serta prosedur kerja pengadilan agama pada umumnya, bukan pada hukum Islam itu sendiri. Dengan demikian, sikap Hazairin ini tidak dapat ditafsirkan sebagai penolakannya terhadap peradilan agama semata-mata, tetapi sebagai kritik atas berbagai hal yang tidak memuaskan. Hal itu tampak dari pernyataan Hazairin bahwa pembentukan hukum Islam atau pembaruannya berlandaskan Al-Qur’an  dan sunah tidak dapat diharapkan dari hakim-hakim negeri.

Penolakan terhadap rancangan undang-undang peradilan agama pun peradilan agama terutama berasal dari pihak-pihak yang menjadi saingan Islam sejak dahulu, dalam hal ini Nasrani. Franz Magnis Suseno, antara lain menulis:

Apa bila kita melihat-lihat ke arah negara-negara yang menjadikan salah satu agama menjadi agama negara atau dimana salah satu agama sangat berpengaruh, kita menyaksikan satu hal yang jelas, ekstremis atau fundamentalis dalam agama tidak berkurang, melainkan justru bertambah. Diberi telunjuk jari mau memegang seluruh tangan.

Undang-undang yang dimaksudkan untuk mengatur dan dibutuhkan oleh umat Islam diganjal oleh golongan non Islam, khususnya golongan Nasrani, padahal undang-undang peradilan agama tidak sedikit pun mengatur golongan non Islam apalagi merugikan mereka. Seluruh kekuatan pers yang dimiliki oleh golongan Nasrani saat itu dikerahkan untuk menangkal undang-undang peradilan agama. Menurut Hartono Mardjono, meributkan undang-undang  yang berkenaan dengan umat Islam (mayoritas penduduk) adalah suatu keanehan. Kitab undang-undang hukum (pidana) adalah suatu pengadilan militer tidak diributkan, padahal hanya diperuntukkan bagi militer yang jumlahnya hanya 500.000 dari 180.000.000 rakyat Indonesia.

Diberitakan bahwa dalam pembebasan rancangan undang-undang peradilan agama, semua  fraksi Golkar dan Fraksi PDI tidak setuju. Keterangan pers Golkar di DPR setelah tujuh belas halaman menolak rancangan undang-undang peradilan agama. Wakil ketua MPR Suprapto mengirim surat; tidak membenarkan RUU tersebut dan menyatakan seperti Piagam Jakarta. Akhirnya, Golkar menerima rancangan undang-undang peradilan agama dengan revisi, sementara  PDI tetap tidak menerima tetapi tidak berani voting. Menurut Masykuri Abdillah, semula PDI dan kelompok-kelompok non-muslim serta sekular menolak rancangan undang-undang peradilan agama. Mereka menuduh umat Islam cenderung mengimplementasikan piagam Jakarta.

Setelah melalui proses yang diwarnai polemik dan kontroversi, akhirnya Indonesia memiliki undang-undang peradilan agama (undang-undang nomor 7 tahun 1989), yang mengokohkan keberadaan peradilan agama yang telah ada sebelumnya. Menurut Pengurus Pusat Ikatan Hakim peradilan Agama (PP-Ikaha), lahirnya undang-undang nomor 7 tahun 1989 membuktikan kesungguhan umat Islam untuk melaksanakan, menegakkan, dan mengembangkan pelembagaan ajaran agamanya, serta membuktikan tekad dan kesungguhan pemerintah untuk melembagakan sebagian ajaran Islam dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Ali Yafie, lahirnya undang-undang tentang peradilan agama terjadi secara alamiah karena faktor kebutuhan sesuai dengan meningkatnya pemahaman masyarakat pada agama bukan pemaksaan.

Tidak semua tokoh Islam menyambut undang-undang tentang peradilan agama dengan senang hati. Gus Dur berpendapat, seharusnya negara jangan sampai terlalu jauh mencampuri urusan warga negaranya dalam menjalankan ibadah meskipun itu merupakan perintah yang jelas. Pendapat Gus Dur ini berbeda dengan pendapat Hazairin yang menginginkan agar negara ikut “memfasilitasi” ditegakkannya hukum agama. Konsisten dengan pendapatnya itu, Gus Dur mengkritik dilembagakannya peradilan agama dan itu berarti ia menempatkan diri berseberangan dengan orang-orang gerakan Islam yang memperjuangkan dan merasa senang dengan diperkuatnya peradilan agama (dengan diundangkannya undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang sebelumnya hanya diakui sebagai salah satu lingkungan peradilan tanpa ada undang-undang yang mengaturnya). Menurut beliau:

Orang memang puas dengan terlembagakannya peradilan agama namun lupa, masih banyak hal yang belum terselesaikan sebagai masalah susulan.

Adakah hak bagi hakim non muslim untuk mengadili perkara di sebuah pengadilan agama? Kalau tidak, bukankah akan muncul problem konstitusional dalam jangka panjang bahwa justru lembaga peradilannya sendiri tidak adil?

Menurut Andree Fiellard, undang-undang tentang peradilan agama mendapat protes dari kalangan netral agama dan ahli hukum yang mendukung unifikasi hukum. Penolakan terhadap undang-undang tentang peradilan agama karena ia dipandang merupakan jalan buntu bagi penyeragaman hukum di Indonesia dikemudian hari. Padahal, ada beberapa ahli hukum Indonesia yang semula mengharapkan unifikasi hukum yang juga mencakup nilai-nilai Islam. Kerja ke arah itu telah dimulai sebagai upaya terakhir penyatuan bangsa. Pendapat Gus Dur tersebut kontroversial bahkan di kalangan NU sendiri, karena ternyata wakil (tokoh-tokoh) NU di DPR mendukung undang-undang ini meskipun belakangan ada tokoh NU yang mengamini pendapat Gus Dur tersebut. Nur Iskandar Al-Barsany berpendapat, pengadilan bisa satu, hukum materiilnya saja yang dibedakan. Ia setuju pendapat Gus Dur tentang Undang-undang tentang peradilan Agama. Cecep Syarifuddin (PBNU) juga menyetujui pendapat Gus Dur mengenai undang-undang tentang peradilan agama. Menurutnya, undang-undang tersebut lahir melalui undemocratic manner-kehendak penguasa (karena hukum tergantung penguasa).

Salam …