Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji

Rancangan Undang-Undang  tentang penyelenggaraan ibadah haji merupakan RUU usul inisiatif DPR. Rancangan undang-undang ini diusulkan oleh 36 orang anggota DPR terdiri dari 18 orang FKP, 8 orang FPP, 6 FABRI, dan 4 FPDI. RUU tersebut disampaikan dengan surat nomor 08/LEGNAS/KESRA/XII/1988 tanggal 17 Desember 1998 kepada pemimpin DPR-RI. RUU tersebut diberitahukan/dibagikan kepada anggota DPR dalam rapat paripurna 5 Januari 1999.

Pada tanggal 7 Januari 1999, para pengusul RUU memberikan penjelasan dalam rapat Badan musyawarah. Dalam penjelasan itu dikatakan, antara lain bahwa DPR mengalami krisis citra karena dianggap kurang peka terhadap aspirasi rakyat sehingga muncul, antara lain kritik terhadap tidak adanya RUU usul inisiatif selama hampir 25 tahun terakhir. Salah satu upaya untuk memperbaiki citra DPR adalah mengoptimalkan penggunaan haknya di bidang perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, DPR menyampaikan RUU inisiatif, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang ratifikasi konvensi anti penyiksaan, Rancangan Undang-Undang tentang larangan praktek monopoli, Rancangan Undang-Undang  tentang perlindungan konsumen dan Rancangan Undang-Undang  tentang penyelenggaran ibadah haji. Usulan pengusul RUU didukung oleh kelompok kerja program ligislasi nasional (untuk mewujudkan tekad mengajukan RUU sebagai usul inisiatif DPR, salah satu haknya yang jarang digunakan selama masa orde baru, pimpinan dewan telah membentuk satu kelompok kerja program legislasi nasional dewan perwakilan rakyat republik Indonesia.

Sebelumnya, peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan ibadah haji adalah pilgrims ordonantie 1992, berikut perubahan dan tambahannya, pilgrims verordening 1938, peraturan presiden nomor 3 tahun 1960 tentang penyelenggaraan bidang haji secara interdepartemental, keputusan presiden nomor 6  tahun 1969 tentang penyelenggaraan bidang haji oleh pemerintah, keputusan presiden nomor 63 tahun 1995, tentang penyelenggaraan bidang haji. Sebelum tahun 1960, ibadah haji dilaksanakan secara mandiri tanpa keterlibatan pemerintah. Perjalanan  ibadah haji secara bersama-sama yang dikoordinasikan oleh pemerintah sebagai penanggung jawab mulai dilaksanakan tahun 1960 dengan dikeluarkannya peraturan presiden nomor  3 tahun 1960 tentang penyelenggaran haji dan keputusan presiden nomor 112 tahun 1964 tentang penyelenggaraan bidang haji secara interdepartemental.

Pada tanggal 11 Januari 1999 pengusul RUU memberikan penjelasan pada rapat paripurna DPR-RI. Pada tanggal 4 Februari 1999, fraksi-fraksi memberikan tanggapan atas RUU tersebut pada rapat paripurna DPR.RI.

Terhadap Rancangan Undang-Undang  tentang penyelenggaraan ibadah haji:

Fraksi PDI menyambut baik, karena di satu sisi, jumlah umat Islam yang menunaikan ibadah haji dan umrah meningkat pesat tahun ke tahun disisi lain pelayanan dan perlindungan untuk mereka yang menunaikan ibadah haji maupun umrah belum cukup memadai. Di samping itu, menjadi tugas pemerintah untuk melayani dan melindungi warga negara yang menjalankan ibadah menurut agamanya, dalam undang-undang ini ibadah haji untuk umat Islam.

Fraksi PDI juga menyatakan:

Fraksi PDI meyakini tidak hanya umat Islam yang merasa gembira dan bahagia dengan diajukannya Rancangan Undang-Undang  yang mengatur mengenai pemberian kesempatan, pelayanan dan perlindungan terhadap pelaksanaan haji, namun umat beragama lain pun akan merasakan yang sama. Karena memang demikianlah semestinya tugas dan kewajiban pemerintah untuk pelayanan umat beragama dalam melaksanakan ibadahnya. Fraksi PDI yakin umat beragama lain kiranya akan menjadi lega dan gembira pula, karena apabila Rancangan Undang-Undang usul inisiatif ini disetujui dewan dan pemerintah menjadi undang-undang, maka harus pula menjadi pegangan pemerintah untuk memberlakukan yang sama, yaitu memberikan kesempatan pelayanan dan perlindungan terhadap umat agama yang lain untuk dapat melaksanakan ibadahnya secara aman, lancar, tertib tanpa mendapat gangguan dari mana pun dari siapa pun juga.

Fraksi PDI menyatakan “kita semua sudah sepaham bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional, sehingga setelah mengikuti pembahasan, Fraksi PDI menyatakan dapat menyetujui Rancangan Undang-Undang  tentang penyelenggaraan ibadah haji ditetapkan menjadi undang-undang. Hanya saja, sebelumnya, fraksi PDI mengusulkan perubahan judul menjadi undang-undang tentang pelayanan pelaksanaan ibadah haji, agar ‘dengan demikian akan terhindar kemungkinan kesalahan tafsir bahwa negara mengatur ibadah suatu agama, yang menjadi kompetensi umat pemeluk agama yang bersangkutan.

Fraksi Persatuan Pembangunan menyatakan menyambut gembira RUU yang sarat dengan nilai-nilai religius yang diusulkan oleh beberapa orang anggota dewan yang menunjukkan kepekaan terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat, khususnya umat Islam. Menurut FPP, sejak tahun 1979 FPP telah mengusulkan kepada pemerintah untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji dalam suatu undang-undang, hanya saja keinginan FPP tersebut ibarat kapal membentur tebalnya cadas, selalu kandas karena pemerintah menganggap hal itu bukanlah prioritas. Pada 1995, FPP berhasil merumuskan Rancangan Undang-Undang  tentang penyelenggaraan urusan haji dan kemudian berusaha mengajak fraksi-fraksi lain untuk bersama-sama memprakarsai lahirnya RUU tersebut sebagai usul inisiatif DPR-RI. Akan tetapi, keinginan FPP tinggal menjadi harapan karena fraksi-fraksi lain tidak memberikan tanggapan sebagaimana diharapkan. Titik terang baru tampak dalam sidang istimewa MPR tahun 1998, ketika FPP bersama fraksi-fraksi lain berhasil memperjuangkan perlunya peningkatan penyelenggaraan ibadah haji diatur dengan undang-undang menjadi salah satu agenda dalam Tap MPR nomor X/MPR/1998.

Fraksi ABRI menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang  inisiatif tentang penyelenggaraan ibadah haji:

Sangat aspiratif sebab penyelenggaraan ibadah haji selain mempunyai dimensi yang sangat luas karena menjangkau dan memperjuangkan kepentingan semua lapisan dan golongan masyarakat terutama umat Islam serta bernuansa internasional, juga bermaksud meningkatkan pelayanan serta perlindungan bagi para jamaah haji.

Oleh karena itu, fraksi ABRI dapat menerima usul Rancangan Undang-Undang  tentang penyelenggaraan ibadah haji yang diajukan oleh para pengusul menjadi RUU usul inisiatif DPR-RI untuk selanjutnya di bahas bersama pemerintah.

Fraksi karya pembangunan juga mendukung RUU tersebut dan menyatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan ibadah haji dalam dimensi fikih berhubungan dengan kaidah mala yatimmul wajib illa bihi fahua wajib, yang merupakan mashlahah’ammah.

Dalam tanggapannya atas Rancangan Undang-Undang tentang penyelenggaraan ibadah haji itu pemerintah menyatakan menyambut baik. Menurut pemerintah, peningkatan peraturan perundang-undangan tentang penyelenggaraan ibadah haji menjadi undang-undang diharapkan dapat lebih meningkatkan perlindungan kepada  masyarakat yang melakukan ibadah haji. Berkaitan dengan materi RUU, pemerintah mengusulkan agar bab XI Pasal 24 dan pasal 25 yang mengatur penyelenggaraan  ibadah haji khusus dihapuskan saja untuk menghilangkan diskriminasi antarwarga negara karena adanya prinsip persamaan kedudukan sebagai warga negara. Menurut pemerintah, sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan  sebagai warga negara, tidak perlu memuaskan pengaturan yang bersifat khusus dalam undang-undang. Jika pengaturan yang bersifat khusus itu diperlukan, pengaturannya  dapat dilakukan oleh menteri yang sewaktu-waktu dapat diperbarui. Disamping itu, pemerintah mengusulkan agar judul RUU dilengkapi menjadi undang-undang tentang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.

Dalam jawabannya atas tanggapan pemerintah, komisi VII DPR menyampaikan beberapa hal, antara lain:

  1. Dalam RDPU dengan organisasi Islam (PBNU, Muhammadiyah), komisi VII mendapat masukan antara lain agar anggaran yang diperuntukkan bagi petugas haji seyogianya tidak dibebankan kepada BPIH yang dibayarkan oleh jamaah haji, namun hendaknya disediakan oleh pemerintah
  2. Judul RUU tidak mencantumkan umrah karena titik berat undang-undang adalah mengatur penyelenggaraan ibadah haji sedang umrah bisa dilakukan setiap saat, baik rombongan  maupun perorangan.
  3. DPR sependapat dengan pemerintah untuk menghilangkan diskriminasi berdasarkan prinsip persamaan kedudukan sebagai warga negara, hanya saja ada aspirasi sebagian masyarakat yang membutuhkan pelayanan secara khusus. Itulah sebabnya dalam RUU diatur menyelenggarakan ibadah haji khusus.

Mengenai judul RUU yang oleh pemerintah diusulkan untuk ditambah kata “dan umrah” empat fraksi di DPR menganggap titik beratnya adalah penyelenggaraan ibadah haji. Dalam perkembangannya, disepakati bahwa judul titik beratnya adalah ibadah haji. Pemerintah sepakat tidak mencantumkan kata ‘dan umrah’, dan mengingat kenyataan diperlukannya pelayanan khusus, maka aturan mengenai penyelenggaraan ibadah khusus masih perlu diatur.

DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang penyelenggaraan ibadah haji yang berisi tiga puluh pasal itu untuk disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 15 April 1999. selanjutnya, ia disahkan pada tanggal 3 Mei 1999 dan diundangkan pada tanggal 3 Mei 1999 menjadi undang-undang nomor 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji LN 1999 nomor 53 TLN nomor 3832. Konsideran menimbang huruf a undang-undang 17 tahun 1999 menyatakan;

“Bahwa negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut agamanya masing-masing.”

Dari konsideran ini dapat dipahami bahwa Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan wujud jaminan atas kemerdekaan warga negara Republik Indonesia untuk beribadah menurut agamanya masing-masing, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang mewajibkan seseorang yang menurut ajaran Islam wajib melaksanakan ibadah haji untuk melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, undang-undang ini tidak memaksakan berlakunya hukum Islam mengenai haji, pun terhadap warga negaranya yang beragama Islam. Dengan kata lain, materi undang-undang ini semata-mata mengenai masalah teknis administratif haji.

Salam …