Manfaat Aktivitas Bermain Terhadap Perkembangan Psikologis Anak Usia Dini

Sebelum kita membahas bagaimana manfaat aktivitas bermain terhadap perkembangan psikologis anak, maka terlebih dahulu kita memberikan pengertian dari psikologi itu sendiri. Drs. M. Dimyati Mahmud dalam penjelasannya mengatakan bahwa:

Istilah psikologi berasal dari perkataan Psychologie (bahasa Belanda, dibaca psikholokhi) atau psychology (bahasa Inggris, dibaca saikologi). Istilah psikologi, psychologi, yaitu psyche dan logos. Psyche berarti jiwa, sedangkan logos berarti ilmu. Dari pengertian ini orang selalu dengan mudah mendefinisikan psikologi itu sebagai ilmu jiwa.[1]

Untuk memperjelas uraian-uraian di atas, Dr. Singgih D. Gunarsa merumuskan pengertian psikologi, yaitu:

Secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Tetapi dalam sejarahperkembangannya kemudian arti psikologi menjadi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Ini disebabkan karena jiwa yang mengandung arti yang abstrak itu sukar dipelajari secara obyektif. Kecuali itu keadaan jiwa seseorang melatar belakangi timbulnya hampir seluruh tingkah laku.[2]

Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan perkembangan psikologis anak adalah perkembangan psikis atau kejiwaan anak. Namun untuk mengadakan atau pengukuran langsung terhadap kepastian psikis dasar anak, rasanya sangat sulit karena psikis atau jiwa mengandung arti yang abstrak sehingga sukar dipelajari secara obyektif. Oleh sebab itu, yang akan kita bahas adalah tingkah laku yang sangat diamati pada anak usia dini dalam hubungannya dengan aktivitas anak dalam bermain.

Seperti yang kita ketahui, pada usia dini (umur 6-12 tahun)  anak sudah memasuki bangku sekolah. Masa ini oleh para pendidik disebut dengan usia sekolah dasar karena pada umur ini anak mulai masuk dan mengikuti pendidikan di sekolah dasar. Oleh orang tua, masa ini disebut dengan masa menyulitkan karena anak-anak tidak mau lagi menurut perintah dan lebih banyak dipengaruhi oleh teman-temannya.

Sedangkan para psikolog menyebut dengan masa berkelompokm karena perhatian utama hidup anak masa ini tertuju kepada keinginan untuk diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota kelompok. Anak-anak yang tidak diterima oleh anggota kelompok akan merasa tersisih dan terisolasi.

Lebih lanjut tentang permainan anak. Drs.  Nels Mulder mengatakan bahwa anak-anak harus mengisi waktunya (memuaskan kebutuha-kebutuhan emosional dan kepastian psikologisnya) dengan memainkan benda.[3] Hal ini sejalan dengan pendapat Herbert Spencer, yaitu:

Dalam diri manusia itu terdapat kelebihan tenaga. Kelebihan tenaga tersebut perlu mendapat jalan penyaluran. Dan ini dapat disalurkan lewat bermain. Selanjutnya kegiatan sehari-hari yang melelahkan dan menjemukan mendorong orang untuk mencari jalan mengurangi atau menghilangkan. Dengan bermain kelahan otot, urat, maupun kelelahan jiwa dapat dikurangi ataupun dihilangkan.[4]

Dengan demikian, melalui aktivitas bermain anak dapat menyalurkan enersinya yang tertumpuk. Daya kekuatan yang menumpuk biasanya disalurkan melalui keisengan dan dapat mengganggu siapa saja yang ada di sekitarnya. Dalam permainan, anak akan dapat menyalurkan kelebihan enersinya dan hal itu akan menenangkan anak. Anak yang bandel atau nakal karena terlalu besar dinamika sebaliknya tidak terlalu dikekang atau dihukum di ruangan tertutup. Dengan mengunci anak di kamar kecil misalnya, anak hanya diberi kesempatan merencanakan perbuatan-perbuatan yang lebih “hebat”. Mungkin pula bagi anak yang sudah lebih besar, perasaan dendam akan menumbuhi perancangan pembahasan. Jadi dalam hal ini permainan merupakan “kutup pengaman” bagi kelebihan enersinya. Makin banyak tugas yang harus dilakukan dengan gerakannya, makin tenang mereka dapat mengikuti pelajaran di sekolahnya.

Di samping penyaluran enersi yang berlebihan dalam permainan mereka dapat menyalurkan perasaan-perasaan yang terpendam. Perasaan terpendam dapat merupakan perasaan yang memang sulit disalurkan         karena tidak ada obyeknya. Misalnya seorang anak tidak memenuhi adik    untuk diajak bermain, maka dalam permainan dengan boneka atau alat-alat lain dapat mengalihkan perasaannya. Sebaliknya anak yang mempounyai perasaan terpendam, yang disadarinya sebagai suatu perasaan yang tidak dendam dan agresivitasnya. Misalnya anak merasa kesal terhadap ayahnya ia tahu bahwa     ia tidak boleh menyatakan kekesalannya terhadap ayah. Kekesalannya    mungkin disalurkan ke adik. Hal ini tentunya tidak membawa penyelesaian karena nanti ia akan dimarahi lagi. Melalui permainan, kekesalan ataupun agresivitasnya anak serta perasaan-perasaan terpendam lainnya dapat disalur-kan.

Permainan yang menyertakan dan melibatkan anak bersama teman-temannya juga mengandung segi-segi positif. Dalam hal ini Henry N. Siahaan mengemukakan bahwa:

Seorang anak membutuhkan teman bermain, karena teman itu dapat menolong, teman dapat memberikan apa yang mungkin diperoleh dari kedua orang tuanya yang mungkin sibuk. Seorang anak butuh teman bermain untuk saling mengenal, saling membagi hati, dan siap menjadi sepenanggungan, serta saling mengisi kekosongan masiong-masing.[5]

Dengan bermain bersama teman-teman, anak bisa berbagi dan berbicara dari hati ke hati tentang segala kesulitan, hal-hal yang ditakuti, kecemasan dan tentang segala harapan, demikian juga cita-citanya di masa yang akan datang. Di samping itu anak akan mengetahui dan mengenal kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya dan mungkin juga yang dimiliki oleh temannya sehingga mereka bisa saling mengisi kekosongan dan kekurangan masing-masing. Dengan menghargai dan mengindahkan hak-hak orang lain, menghargai keunggulan orang lain, dan pada waktu yang sama seorang anak belajar menyesuaikan diri dengan teman-temannya terutama pada awal pertama anak memasuki bangku sekolah. Secara psikologis, hal ini akan membantu anak mengatasi phobia sekolah, yaitu dunia asing yang dimasukinya setelah keluar dari lingkungan keluarganya. Sedang pada anak sekolah yang harmonis yaitu sekitar 8-10 tahun, hal tersebut membuat anak merasa tenang dalam menerima dan mencerna pelajaran yang diberikan.

Untuk lebih  jelasnya tentang permainan yang dilakukan oleh anak usia

dini (6-12 tahun0, dapat kita lihat pendapat Suhartini Citrobroto, bahwa:

1.  Umur 6 tahun, anak senang  bermain loncat-loncatan dengan tali, main kucing-kucingan dengan teman-temannya, berlomba lari, atau naik sepeda roda tiga, lemparan-lemparan bola dan main sekolah-sekolahan.

2.  Pada umur 7 tahun, anak senang mengumpulkan benda-benda kecil, dan  pada masa ini anak sudah mulai menunjukkan sifatnya masing-masing.    Anak laki-laki senang bermain perang-perangan atau berperang cowboy seperti apa yang pernah dilihatnya dalam film. Anak perempuan senang bermain boneka dan dengan boneka itu ia mulai senang membuat pakaian. Baik anak laki-laki mauopun anak perempuan senang main sekolah-sekolahan, ada jadi guru dan ada yang jadi muridnya dan kesenangan membaca buku mulai saat ini.

3.  Umur 8-10 tahun, sudah ada unsur kerjasama anak dalam bermain, misalnya main kartu. Sebelum itu sifat ingin menang sendiri masih menonjol. Rencana untuk bermain mulai timbul. Kesenangan membaca, mendengar radio, menonton film dan keluar rumah bersama teman sebayanya tampak pada periode ini.

4.  Pada umur 11-12 tahun, anak laki-laki senang dengan hal-hal seperti membongkar sepeda ataupun membuat mobil-mobilan sendiri. Sedang anak perempuan   senang  menjahit,   menyulam  dan  memasak.  Musik  dan tarian

mulai pula disenangi pada masa ini.[6]

Dari setiap fase atau tahap perkembangan anak, terdapat permainan yang secara umum menonjol dan sering dilakukan serta disenangi oleh anak.  Umur 6-7 tahun misalnya: anak senang bermain sekolah-sekolahan bersama teman-temannya yabng lain.  Ada yang berperan sebagai seorang guru dan yang lainnya sebagai murid. Hal ini dapat membantu anak mengembangkan daya imajinasi dan fantasinya. Anak memainkan fantasinya bagaimana seorang guru mengajar di depan kelas, bagaimana seorang guru menghukum murid yang bandel atau yang suka mengganggu teman-temannya, dan sebagainya. Dan pada saat anak usia 8-10 tahun, sudah ada unsur kerjasama dengan teman-temannya, seperti bermain kartu. Hal tersebut membuat anak-anak belajar menghargai keunggulan orang lain dan belajar menyesuaikan diri dengan teman-temannya. Kemudian pada umur 11-12 tahun, sudah tampak bermain yang dilakukan oleh anak berdasarkan alat kelaminnya. Anak laki-laki senang membongkar sepeda, membuat mobil-mobilan dan menyukai alat-alat pertukangan. Sedang anak perempuan lebih menyukai memasak, menjahit dan menyulam. Ini akan membantu anak  melaksanakan perannya  sebagai seorang laki-laki dan seorang

wanita di masa yang akan datang.

Bersama dengan perkembangan dan pertambahan usianya, cara bermain anak-anak pun menjadi berbeda-beda. Hal ini mencerminkan tingkat kompetensi mereka. Anak-anak memang perlu mengalami berbagai jenis-jenis aktivitas bermain agar dapat berkembang secaera moral. Aktivitas bermain menjadi semakin kompleks seiring dengan pertambahan usia anak, karena inteleknya berkembang serta pengalaman sosial dan emosionalnya bertambah luas pengalaman sosial dan emosionalnya bertambah luas sebab ia berinteraksi dengan semakin banyak mempelajari kebiasaan masyarakat mereka sendiri dengan cara mengobservasi orang-orang di sekitarnya, kemudian mempraktek- kannya dalam aktivitas bermain. Anak perlu ditimulasi agar dapat bermain sesuai dengan tahap perkembangannya.

Untuk menghindarkan anak dari kejenuhan bersekolah, dan dari tugas-tugas rutin yang lain, maka dengan pendapat Imam alGhazali akan pentingnya permainan anak, bahwa:

Seyogyanyalah anak-anak itu sudah keluar dari sekolah untuk memperbolehkan bermain-main dengan permainan yang baik, di mana ia bisa beristirahat dari payahnya bersekolah. Sehingga dengan adanya permainan itu, mereka tidak merasa adanya kepayahan, maka jikalau anak-anak itu dilarang bermain dan memaksa untuk belajar, bisa menyebabkan hatinya mati merusak kecerdasannya dan mengeruhkan hidupnya sehingga ia berusaha melepaskan diri daripadanya.[7]

Pendapat al-Ghazali ini menekankan akan pentingnya bermain dan bersenang-senang bagi anak setelah jam pelajaran atau pekerjaan anak telah selesai. Memaksa anak untuk belajar terus, mengurungnya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah atau pekerjaan rumah lainnya tanpa memberikan kesempatan pada anak untuk bermain bersama teman-temannya, hanya akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasan pikirannya serta membuatnya jemu dan bosan terhadap pelajaran. Hal ini disebabkan karena anak tidak diberi kesempatan untuk menyalurkan enersinya yang berlebihan dan perasaan-perasaannya yang terpendam.

Dengan demikian, bermain sangatlah bermanfaat untuk menghilangkan kepayahan dan kejenuhan anak daklam belajar, memperbaharui semangat dan kejernihan otaknya, mengasah kemampuan intelektualnya serta merangsang perkembangan psikisnya. Namun dalam bermain, menurut Abdullah Nashih Ulwan hendaknya diperhatikan hal-hal berikut:

Bermain hendaknya tidak menyebabkan kecapaian yang berlebihan dan kesulitan yang menyakitkan, sebab dalam hal seperti itu terdapat bahaya bagi fisik dan melemahkan jasmani. Bermain juga hendaknya tidak merupakan kewajiban lain hingga tidak mengerjakannya. Sebab yang demikian itu merupakan pembuangan waktu dan membunuh kesempatan.[8]

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa permainan yang dilakukan oleh anak pada usia dini 96-12 tahun) sangat bermanfaat untuk perkembangan psikologisnya dan membantu dan untuk melepaskan diri dari kejenuhan dan kekayaan mereka terlalu banyak belajar. Namun hendaknya permainan itu sendiri jangan sampai membuat anak terlalu lelah sehingga membuat ia melupakan tugas-tugas dan kewajibannya yang lain.


[1]M. Dimyati Mahmud, Psikologi Pendidikan (Cet. I; Yogyakarta: BPFE, 1990), h. 1.

[2]Singgih D. Gunarsa, Pengantar Psikologi (Jakarta: Mutiara, t.th.), h. 9.

[3]Alex Sobur, Anak Masa Depan (Cet. II; Bandung: Angkasa, 1991), h. 247.

[4]Kartini Kartono, Peranan Keluarga Memandu Anak (Cet. I; Jakarta: CV. Rajawali, 19850, h. 12.

[5]Henry N. Siahaan, Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak (Cet. I; Bandung: Angkasa, 1986), h. 87.

[6]Disadur dari R.I. Suhertin Citrobroto, Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986), h. 265.

[7]Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Diterjemahkan oleh Drs. H. Mohammad Zuhri, H. Muqaffin Muchtar. Lc.. H. Muqarrabin Misban (Cet. I; Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1994),  h. 190.

[8]Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah I’aulad fi l-Islam, Diterjemahkan oleh Drs. Saifullah Kamalie, Lc., Drs. Hery Noer Ali dengan judul “Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam” (Cet. II; Bandung: Asy-Syifa’. 1980), h. 438.