Ajaran Dasar dan Non Dasar, Faham Rasional dan Pendidikan Harun Nasution

Ajaran Dasar dan Non Dasar, Faham Rasional dan Pendidikan Harun Nasution

Oleh : Sholeh Ahmad

PENDAHULUAN

Sekitar  abad ke XVIII, ketika Dunia Timur ( baca:Islam ) tengah menjalin kontak dengan Dunia Barat ( baca : Eropa ), Dunia Islam sangat terkejut melihat kemajuan pesat yang diperoleh Barat, pada hal sebelumnya Eropa harus belajar dari Dunia Timur atas segala ketertinggalannya.

Inilah yang saat ini menjadi renungan para pemikir Islam untuk menanyakan kembali, mengapa Dunia Islam yang pada zaman klasik ( 650 – 1250 M.) mencapai puncak kejayaan dan kemajuan, yang oleh Harun Nasution disebut-sebut sebagai puncak kemajuan ilmu pengetahuan Islam,[1] dalam arti sebagai abad awal berkembangnya pemikiran rasional, tiba –tiba  berbalik 180 derajat bagaikan bandul jam yang berbalik dari arah kiri kearah kanan , dimana  pada abad  pertengahan  ( 1250-1800 M.) Dunia Islam mengalami kemunduran secara drastis kembali kepemikiran tradisional.[2] Dampak pemikiran ini menyebar hingga berpengaruh ke wilayah Nusantara ( baca: Indonesia ) yang ketika itu tengah terjadi perkembangan Islamisasi di tanah air,  yang ditandai dengan lahirnya beberapa kerajaan Islam di Nusantara seperti ; Kerajaan Islam Samudra Pasai pada sekitar abad XIII, [3] Kerajaan Islam Demak pada akhir abad ke-XV dan awal abad ke XVI, [4] Kerajaan Gowa dan Tallo sekitar akhir abad ke-XVI dan awal abad ke- XVII.[5] Pada kurun abad-abad tersebut Islamisasi dikembangkan melalui pemikiran tradisional. Hal itu disebabkan, bahwa masuknya Islam pertama di wilayah Nusantara selain dikembangkan atau disebarkan oleh para pedagang, juga oleh para ulama terutama dari kalangan ulama tasawuf  ( para wali ), analisis ini sebagaimana dikemukakan H.J. de Graaf, yang berpendapat :

that Islam was propagated in South-East Asia by three methods; that is by Muslim traders in the course of peaceful trade, by preachers and holy men who set out from India and Arabia Specifically to convert unblievers and increase the knowledge of the faithful, and lastly by force and waging of war against heathen states.[6]

…bahwa Islam didakwahkan di Asia Tenggara melalui tiga cara; yakni oleh para pedagang Muslim dalam proses perdagangan yang damai, oleh para da’i dan orang suci (wali) yang datang dari India dan Arab yang sengaja bertujuan mengislamkan orang-orang kafir dan meningkatkan pengetahuan mereka yang telah beriman, dan terakhir dengan kekerasan dan memaklumkan perang terhadap negara-negara penyembah berhala.

Menyadari adanya ketertinggalan pembaharuan pemikiran, akibat pengaruh perkembangan pemikiran tradisional yang masih  kuat hingga abad ini, menghendaki lahirnya beberapa tokoh pembaharu yang concern akan relevansi agamanya bagi dunia modern. Dan dalam iklim pembaharuan pemikiran yang masih lesu semacam ini, kehadiran tokoh seperti Harun Nasution yang dipandang sebagai tokoh pemikir Islam rasionalis di Indonesia, perlu ditelusuri ide-ide pembaharuannya, terutama tentang ajaran dasar dan non dasar, faham rasional yang dikembangkanm dan ide-ide pembaharuannya dalam bidang pendidikan.

PEMBAHASAN

Biografi Harun Nasution

Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatra Utara, 23 September 1919. Setelah menyelesaiakn pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School ( HIS ), kemudian melanjutkan ke sekolah Islam tingkat menengah yang bernuansa modernis, di Modern Islamietische Kweekschool (MIK). Karena desakan dari orang tua, akhrirnya ia meninggalkan MIK dan pergi belajar ke Saudi Arabia. Di negeri gurun pasir ini ia tidak tahan lama dan menuntut orang  tuanya agar bisa pindah studi ke Mesir. Di negeri Sungai Nil ini Harun mula-mula mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, namun ia merasa tidak puas dan kemudian pindah ke Universitas Amerika (Kairo). Di Universitas ini, Harun tidak mendalami Islam, tetapi Ilmu Pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Selama beberapa tahun ia sempat bekerja diperusahaan swasta dan kemudian di Konsulat Indonesia Kairo. Setamat dari Universitas Amerika tersebut dengan ijazah B.A. yang dikantonginya, putra Batak yang mempersunting seorang putri negeri Mesir ini, memulai karier diplomatiknya. Dari Mesir ia ditarik ke Jakarta, dan kemudian diposkan sebagai sekretaris pada Kedutaan Besar Indonesia di Brussel.

Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya mengundurkan diri dari karier diplomatik dan pulang kembali ke Mesir. Di Mesir ia kembali menggeluti dunia ilmu disebuah sekolah tinggi studi Islam di bawah bimbingan salah seorang ulama fiqih Mesir terkemuka, Abu Zahrah. Ketika belajar di sinilah  Harun mendapat tawaran untuk mengambil stuidi Islam di Universitas McGill, Montreal Kanada. Pada tahun 1965 ia memperoleh gelar Magister dari Universitas tersebut dengan judul tesis yang masih dekat dengan sejarah tanah airnya , yakni :” The Islamic State in Indonesia : The Rise of  The Ideology, The Movement for Its Creation and the Theory of the Masyuimi. Tiga tahun kemudian (1968), ia memperoleh gelar Doktor ( Ph.D) dalam bidang Studi Islam, dengan disertasi berjudul : “ The Place of Reason in ‘Abduh’s Theology : Its Impact on His Theological System and Views”.

Pada tahun 1969 Harun kembali ke tanah air, dan melibatkan diri dalam bidang akademisi sebagai dosen dibeberapa Perguruan Tinggi di Jakarta, seperti di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IKIP Jakarta, dan ujuga pada Universitas Nasional. Kegiatan akademisi ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama dua periode ( 1974-1982 ), kemudian mempelopori pendirian Fakultas Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN, dan sejak tahun 1982  itu pula  jabatan dekan di Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dipegangnya. [7]

Pada umumnya pemikiran Harun Nasution ditulis dalam beberapa karyanya, seperti : (1) Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, cet.ke-1, 1974 ); (2) Filsafat Agama ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973); (3) Filsafat dan Mistisisme dalam Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1973 ); (4) Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa dan Perbandingan ( Jakarta: UI Press, 1972); (5) Muhammad ‘Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987); (6) Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan ( Jakarta: Bulan Bintang, cet. Ke-1, 1975);  dan (7) Akal dan Wahyu Dalam Islam ( Jakarta : UI Press, 1982). Buku-bukunya banyak diterbitkan oleh Bulan Bintang dan UI Press. Di samping itu masih banyak lagi artikel ilmiah yang dimuat dalam berbagai jurnal, majalah, baik dalam  maupun luar negeri.[8]

Ide-Ide Pembaharuan Pemikiran Harun Nasution

# Tentang Ide Pokok Ajaran Dasar dan Ajaran Non Dasar

Harun Nasution membagi ajaran Islam itu terdiri dari  dua hal , yatitu : Ajaran dasar dan ajaran non dasar. Yang dimaksud dengan ajaran dasar adalah ajaran yang bersifat absolut, tetap, tidak berubah, mutlak dan bersifat dogmatis. Atau disebut juga sebagai ajaran yang pasti dan bersifat qath’iy.[9] Sedangkan yang dimaksud dengan ajaran non dasar ialah, ajaran Islam yang bersifat nisbi, relatif, dan tidak permanen, dapat  berubah dan dapat diubah, atau sering disebut ajaran yang bersifat zhanniy.[10] Dari ajaran non dasar inilah menurut Harun Nasution , di dalamnya terdapat ajaran Islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad.[11] Selanjutnya Harun menambahkan bahwa,   pemikiran di kalangan umat Islam telah berkurang sama sekali, karena menganggap pintu ijtihad telah tertutup, sehingga timbul sikap taklid yang berlebihan kepada pendapat-pendapat lama yang menjadikan umat Islam semakin statis, di mana setiap perubahan yang dibawa oleh zaman selalu ditentangnya.[12] Pada hal menurut Harun, ajaran Islam non dasar yang memerlukan daya ijtihad untuk menggalinya tersebut memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan  yang ada pada ajaran dasar , yakni hanya sekitar 500 ayat atau hanya kurang lebih 14 % saja dari keseluruhan ayat- ayat Al-qur’an.[13]

Bermula dari ide-ide pemikiran mengenahi ajaran non dasar inilah, Harun Nasution menganjurkan ; agar umat Islam segera kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, segala bid’ah yang tidak sesuai dengan Islam dan yang membawa kepada kemunduran dan kelemahan berfikir umat Islam harus dibuang. Sikap taklid kepada pendapat dan penafsiran lama juga harus ditinggalkan, karena pintu ijtihad tetap terbuka, sehingga yang dijadikan pegangan sebagai pedoman untuk mengetahui ajaran Islam bukan lagi karangan ulama terdahulu, tetapi harus dikembalikan kepada Al-qur’an dan Hadis sebagai ajaran dasar yang harus disesuaiakan perinciannya dan cara pelaksanaannya dengan perkembangan zaman.[14]

#  Faham Rasional

Harun Nasution adalah sosok seorang intelektual muslim yang terkenal sangat rasionalis. Hal itu tercermin dalam pandangan-pandangannya, seperti; bagaimana membawa umat Islam khususnya di Indonesia kearah rasionalitas, dan bagaimana agar di kalangan umat Islam Indonesia itu tumbuh kapasitas pengakuan terhadap manusia qadariyah.[15] Dua pertanyaan tersebut cukup menjadi alasan tentang pandangan –pandangan rasional Harun Nasution. Faham rasional ini terlihat dalam beberapa tulisan Harun yang menyatakan, bahwa dinamika di kalangan umat Islam itu harus dihidupkan  kembali dengan cara menjauhkan diri dari faham zuhud, yaitu faham yang meninggalkan hidup duniawi dan mementingkan hidup rohani yang banyak terdapat dalam aliran tarekat sufi yang mengalihkan perhatian umat Islam dari kehidupan duniawi kepada kehidupan alam gaib. Kecuali itu umat Islam harus pula menjauhkan diri dari faham tawakkal dan faham jabariyah, mengembalikannya  ke teologi yang mengandung paham dinamika dan kepercayaan kepada rasio dalam batas yang ditentukan oleh wahyu, serta harus dirangsang untuk berfikir dan banyak berusaha.[16] Harun menambahkan,bahwa teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisional, non filosofis dan non ilmiah, telah begitu besar mempengaruhi terhadap umat Islam Indonesia sejak semula. Banyak umat Islam Indonesia yang sangat percaya bahwa, nasib secara mutlak itu terletak ditangan Tuhan, manusia tidak berdaya dan hanya menyerah kepada qadha dan qadar Tuhan. Karena berkembangnya teologi kehendak mutlak Tuhan ini, banyak umat Islam yang ragu-ragu dan kurang percaya akan adanya sunatullah, maka usaha manusiapun tak banyak artinya, usahapun hanya sedikit dijalankan dan do’a yang diperbanyak. Yang pasti sikap serupa ini tidak banyak menolong bagi meningkatnya produktifitas, demikian kata Harun.[17]

Karena ide atau paham yang dikembangkan Harun Nasution  lebih memberi kekuatan kepada akal yang rasional dan bercorak Mu’tazilah, maka oleh sebagian  kelompok yang merasa berseberangan dengan ide-idenya tersebut, mengatakan bahwa Harun Nasution tokoh yang mengusung faham mu’tazilah di Indonesia.

#  Faham Pembaharuan Dalam Pendidikan

Dalam masalah pendidikan, Harun Nasution banyak mengkritik perkembangan sekolah-sekolah di Indonesia, walaupun sekolah-sekolah  di Indonesia yang dikembangkan banyak berkiblat pada pendidikan model Barat, namun tidak menimbulkan teologi sunatullah, kurang mantap dengan adanya hukum alam ( natural laws ) atau hukum kausalitas, artinya masih banyak model pendidikan yang  dipengaruhi oleh paham qadha dan qadar , dimana kaum terpelajar masih belum yakin bahwa kesuksesan dan ketidaksuksesan dalam usaha itu tergantung pada ikhtiarnya. Harun Nasution juga mengkritik keras rterhadap model pendidikan agama di Indonesia, dimana kaum terpelajar agama yang dikenal dengan nama ulama tidak kenal sama sekali dengan teologi sunatullah dengan pemikiran rasional, filosofis dan ilmiahnya. Yang mereka kenal sejak semula adalah teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisional, nonfilosofis dan nonilmiahnya. Sejarah perkembangan pemikran Islam tidak diajarkan, baik di madrasah maupun di pesantren-pesantren, maka kalau disebut tentang teologi sunnatullah mereka terkejut dan menganggap hal itu dipandang tidak islami. Pendidikan Islam di Indonesia masih menekankan orientasi hidup keakhiratan , hidup spiritual , masih identik dengan shalat, puasa, zakat dan haji, walaupun menurut hadis, urusan dunia seperti mengembangkan ilmu dan berusaha untuk kepentingan masyarakat, termasuk urusan ekonomi, industri, dan pertanian tak kalah pentingnya dari ibadah.[18]

Berwal dari kritik terhadap perkembangan pendidikan inilah, Harun Nasution dengan ide-idenya yang cemerlang  menganjurkan,  antara lain : (a) Orientasi pendidikan masa depan harus diseimbangkan  antara orientasi keakhiratan dan keduniaan. (b) Pendidikan tradisional harus diubah, dengan cara memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah. (c) Umat Islam harus mendirikan sekolah-sekolah modern di samping madrasah-madrasah yang telah ada, agar dengan demikian terciptalah ahli-ahli Islam yang menguasahi bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.[19] (d) Umat Islam harus mulai mengembangkan kurikulum yang berorientasi pada teologi sunatullah baik di sekolah-sekolah umum maupun di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi, sebab kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah agama hingga saat ini masih terpaku pada teologi kehendak  mutlak Tuhan dan berorientasi keakhiratan yang tidak menyokong bagi peningkatan produktivitas.[20] (e) Merombak kurikulum IAIN seluruh Indonesia, seperti Pengantar Ilmu Agama dimasukkan dengan harapan akan mengubah pandangan mahasiswa. Demikian pula filsafat, tasawuf, ilmu kalam, tauhid, sosiologi dan metodologi riset.[21]

Langkah pembaharuan pendidikan yang dilakukan Harun Nasution selanjutnya ialah, keberhasilannya mendirikan Fakultas Pascasarjana ditahun 1982, karena menurutnya di Indonesia belum ada organisasi sosial yang berprestasi melakukan pimpinan umat Islam masa depan. Baginya pimpinan harus rasional, mengerti Islam secara komprehensif, tahu tentang ilmu agama dan menguasai filsafat. Filsafat menurutnya sangat penting untuk mengetahui pengertian ilmu secara umum. Pimpinan seperti inilah yang diharapkan Harun Nasution akan lahir dari Fakultas Pascasarjana.

Dampak dari usaha yang dilakukan Harun berupa suasana kreativitas intelektual dan learning capacity yang diciptakan yang demikian inovatif dan progresif, sering mendapat reaksi keras dari para ulama tradisional.

PENUTUP

Dalam bab penutup ini,  akan penulis simpulkan beberapa  hal penting terkait dengan pokok bahasan yang sedang dikaji, hal itu meliputi :

  • Menurut Harun Nasution dalam Islam itu terdapat dua kelompok ajaran : (1) Ajaran yang bersifat absolut dan mutlak benar, universal, kekal, tidak berubah dan tidak boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini adalah ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis mutawatir yang biasa disebut sebagai ajaran dasar. (2) Ajaran yang bersifat absolut namun relatif, tidak universal, tidak kekal, berubah dan boleh diubah. Yang berada dalam kelompok ini ialah ajaran yang dihasilkan melalui ijtihad para ulama, walaupun kebenaran hasil ijtihad tersebut bersifat relatif yang biasa disebut dengan ajaran non dasar.
  • Harun Nasution adalah seorang intelektual muslim yang sangat rasionalis, sehingga dengan faham rasionalnya itu ia berusaha bagaimana bisa membawa umat Islam di Indonesia ke arah rasionalitas, bagaimana agar di kalangan umat Islam  Indonesia itu tumbuh pengakuan  atas kapasitas manusia kadariah, tidak terlalu didominasi oleh paham Asyi’arisme yang sangat Jabariah ( terlalu menyerah pada takdir ), dan kurang menghargai kapasitas akal (rasio) untuk melakukan ikhtiar dalam perubahan nasib.
  • Pendidikan tradisional harus diubah, dengan memasukkan mata pelajaran tentang ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum madrasah, agar tercipta ahli-ahli Islam yang menguasahi ilmu pengetahuan dan teknologi, karena langkah inilah  inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam dalam mencapai keseimbangan hidup duniawi dan ukhrawi.

DAFTAR PUSTAKA

De Graaf, H.J. South Asian Islam to The Eighteenth Century, dalam P.M. Holf, et al. (ed), Cambridge Histpry of Islam. Jilid 2, London : The Cambridge University Press, 1970.

Ensiklopedi Islam, Dewan Redaksi. ENSIKLOPEDI ISLAM. Cet. Ke-9; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.

M. Sewang, Ahmad. Islamisasi Kerajaan Gowa ( abad XVI-abad XVII ). Cet. Ke-2; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam-Sejarah Pemikran dan Gerakan. Cet. Ke-9; Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

———– —— Islam Rasional-Gagasan dan Pemikran. Cet. Ke-v; Bandung: Mizan, 1998.

—————— . Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid III. Cet. Ke-4; Jakarta: UI Press, 1984.

—————— . Ijtihad Sunber Ketiga Ajaran Islam, dalam Haidar Baqir, Ijtihad Dalam Sorotan. Cet.ke-3; Bandung: Mizan, 1994.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet.ke-vii; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998.


[1] Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan ( Cet. Ke-9; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 13.

[2] Lihat, Harun Nasution, Islam Rasional-Gagasan dan Pemikiran ( cet.ke-v; Bandung : Mizan, 1998), hlm.7.

[3] Lihat, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam ( cet. Ke-VII; Jakarta:PT. Raja Grafindo, 1998), hlm. 205.

[4] Ibid., hlm. 211.

[5] Lihat, Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa ( abad  XVI – abad XVII ) ( Cet. Ke-2; Jakarta : Yayasan obor Indonesia, 2005 ), hlm. 80.

[6] Lihat, H.J. De Graaf, “ South Asian Islam to The Eighteenth Century”, dalam P.M. Holf, et al. (ed), Cambridge History of Islam, jilid 2 ( London: the Cambridge University Press, 1970), hlm.123.

[7] Lihat, Harun Nasution, Islam Rasional, Op.Cit., hlm.6.

[8] Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, ENSIKLOPEDI  ISLAM ( Cet. Ke-9; Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), hlm. 21.

[9] Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid III ( cet. Ke-4; Jakarta:UI Press, 1984), hlm. 133.

[10] Ibid.,

[11] Lihat, Harun Nasution, Ijtihad Sumber Ketiga Ajaran Islam, dalam Haidar Baqir, Ijtihad dalam Sorotan ( cet. Ke-3; Bandung: Mizan, 1994 ), hlm.112.

[12] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit., hlm. 200.

[13] Harun Nasution, Islam Rasional, Op.Cit., hlm. 33.

[14] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit., hlm 200.

[15] Dewan Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm.20.

[16] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit., hlm. 201.

[17] Harun Nasution, Islam Rasional, Op.Cit., hlm.120.

[18] Ibid.,

[19] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Op.Cit., hlm. 201.

[20] Harun Nasution, Islam Rasional, Op.Cit., hlm. 121.

[21] Dewan  Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 20.