Hukum Islam dalam Hukum Positif Indonesia

Sudah seyogianya, Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia melakukan rekonstruksi pembangunan hukum nasional yang menghargai komunitas mayoritas dengan tidak mengesampingkan komunitas lainnya dari golongan non-Muslim. Dalam merekonstruksi hukum Islam dalam konteks keindonesiaan merupakan tantangan bagi para ahli hukum Islam, seluruh umat Islam, dan politisi muslim untuk menjadikan hukum positif dalam peraturan perundang-undangan.

Hukum Pidana

Kebutuhan dan desakan kearah tersebut telah menjadi kontroversi, diantaranya perumusan delik-delik dalam rancangan KUHP. Kriminalisasi sejumlah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan pelanggaran telah dikonstruksi dari hukum Islam, seperti tindak pidana kesusialaan, santet, kumpul kebo, dan permukahan (zina). Apabila nilai-nilai Islam telah menyatu dengan hukum positif Indonesia, persoalan yang lebih kompleks adalah upaya implementasi (law enforcement) serta hukum beracara, penyidikan, dan pembuktiannya. Hal ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi umat Islam khususnya cendekiawan hukum Islam.

Apakah terjadi islamisasi

Perdebatan mengenai “islamisasi” KUHP menjadi semakin meruncing yang berawal dari statemen Menkeh Yusril Ihza Mahendra,  yang menegaskan bahwa dalam merevisi KUHP, selain mengacu ke Belanda, juga akan mengadopsi hukum adat, konvensi internasional dan hukum Islam. Ironisnya, yang kemudian lebih mencuat adalah adopsi hukum Islam. RUU KUHP dipandang sebagai bentuk islamisasi KUHP. “Menyusun KUHP baru dengan mengedepankan agama tertentu sangat beresiko dalam masyarakat yang pluralis seperti Indonesia”. Tandas Robertus Robet, Wakil Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Tudingan islamisasi itu memang menguat apalagi melihat latar belakang sang menteri dan pembantunya. Yusril tidak lain adalah ketua Umum Partai Bulan Bintang, sebuah partai yang mengusung agenda pemberlakuan piagam Jakarta. Sementara dibawahnya ada Prof. Abdul Gani Abdullah, Dirjen yang mengurusi pembuatan perundang-undangan Prof. Gani tidak lain adalah guru besar yang berasal dari komunitas institut agama Islam negeri / IAIN (sekarang UIN). Namun, argumen ini dengan mudah dipatahkan. Sebab, draft RUU KUHP sudah selesai disusun pada 1992, jauh sebelum Yusril dan Abdul Gani menjabat.

Dalil Kesusilaan

Terdapat sejumlah pasal yang selama ini dianggap merujuk kepada konsep hukum Islam. Pengaruh Islam paling jelas terlihat pada pasal-pasal kesusilaan, khususnya perzinaan. Draft RUU memperkenalkan istilah baru bernuansa islami, yaitu pasal permukahan (overspel, adultery). Konsep tersebut ternyata menimbulkan reaksi berbagai kalangan khususnya kelompok yang tidak menginginkan terjadinya “Dewsternisasi” hukum pidana menuju kearah kriminalisasi yang bernuansa islami.

Berikutnya pernyataan menteri kehakiman dan HAM memberikan penjelasan:

“Kami mengganti definisi perzinaan dari hukum Belanda ke Hukum Islam” aku Yusril terus terang. Hasilnya? Semula pasal kesusilaan hanya sembilan belas (281-298), kini RUU terdapat tiga puluh pasal (411-441). Pasal-pasal kesusilaan dirancang oleh dua anggota tim, Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief”.

Dengan demikian, telah terjadi penambahan sebanyak sebelas pasal dalam delik kesusilaan. Sedangkan Andi Hamzah berpendapat lain bahwa  Jepang dan hampir seluruh Eropa telah mencabut delik permukahan dari KUHP mereka karena dipandang sebagai victimless crime, maka di Indonesia justru diperluas. Selain memperjelas makna permukahan dan zina, ancaman pidananya pun dinaikkan dari maksimum 9 bulan menjadi lima tahun penjara. Dengan konsep KUHP lama ( yang sekarang berlaku), delik zina hanya bisa dikenakan kepada mereka yang salah satunya sudah menikah. KUHP  tidak  bisa menjerat perzinaan yang dilakukan pasangan muda mudi atas dasar suka sama suka. Namun kini, dengan masuknya pasal baru, pasangan muda-mudi tadi bisa ditandai, dengan masuknya pasal baru pasangan muda-mudi tadi bisa dipidana. Ini merupakan adopsi pandangan Islam mengenai zina. Tim penyusun memasukkan aturan ini, sebagaimana diakui Prof. Muladi, melihat dampak banyaknya muda-mudi yang hamil di luar nikah.

Perumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut :

Pasal 240 RUU tegas menyebut “laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak kategori II”. Tetapi pelaku tidak  akan dituntut kecuali ada pengaduan dari anggota keluarga hingga derajat ketiga, kepala adat atau kepala desa setempat.

Pengaruh Islam tampaknya bukan hanya berkutat pada pasal asusila, melainkan juga pembunuhan. Menurut Konsep KUHP sekarang, seorang pelaku pembunuhan berat praktis dihukum karena dianggap merugikan seluruh masyarakat. Namun, di Indonesia, kerugian lebih banyak dirasakan keluarga. Menurut konsep Islam, anggota keluarga korban pembunuhan punya andil menentukan hukuman kepada pelaku, atau justru memberikan maaf.

Konsep maaf (afwan) ini memang sejalan dengan konsep Al-Qur’an. “hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang yang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah ia mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah ia memberi diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula..”

RUU KUHHP menganut dua sistem pidana, yaitu pokok dan pidana tambahan. Diatur pada pasal 60, pidana pokok terdiri dari pidana penjara, pidana tutupan, pengawasan, denda, dan kerja sosial. Sedangkan pidana tambahan meliputi pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu atau tagihan, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti kerugian, dan pemenuhan kewajiban adat. Namun, patut dicatat, bahwa RUU masih mengenal pidana mati (pasal 61).

Tentu saja, konsep KUHP mengenai pemidanaan berbeda dengan hukum Islam. Dalam pidana Islam, demikian Topo Santoso dalam buku menggagas hukum pidana Islam, hukum tidak hanya berfungsi sebagai pembahasan, tetapi juga memiliki fungsi pencegahan dan perbaikan. Sebagai perbandingan barangkali menarik untuk melihat jenis-jenis tindak pidana dan hukumannya menurut konsep Islam.

Kesimpulan dan Penutup

Semangat dalam merealisasikan nilai-nilai dan konsep hukum Islam dalam pembangunan hukum di Indonesia semakin memanifestasi dalam berbagai bentuk regulasi baik di bidang pidana, sosial dan ekonomi. Pada konteks Indonesia, yang penduduknya mayoritas beragama Islam sudah seyogianya dan saatnya menjadi inspirator pembangunan hukum nasional dari produk sekuler menuju hukum yang islami dengan tidak menafikan kemajemukan sebagai bangsa yang pluralistic.

Apabila hukum Islam dan umat Islam tidak mampu mengartikulasikan fenomena dan fakta-fakta sosial pada era modernitas global, kepada suatu formulasi hukum yang responsive, maka mesin hukum serta nilai-nilai lain yang cenderung semakin sekuler sebagai satu-satunya pilihan. Konsekuensi selanjutnya apabila hal itu terjadi, umat Islam secara perlahan dan pasti akan ter “marjinalisasi” dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan dalam skala komunitas global.