Hukum Jual Beli Secara Kredit

Para ulama berbeda pendapat menyangkut hukum jual beli secara kredit. Para ulama Ahl al-Bait,  yang terdiri atas Zain al-Abidin ‘Ali ibn al-Husain, al-Nashir, al-Manshur bi-Allah, Imam Yahya, dan para ulama Hadawiyah (salah satu cabang Ahl a-Bait, pengikut al-Hadi), berpendapat jual beli secara kredit, yang bayarnya tidak secara kontan dan lebih besar daripada harga pasaran pada hari penjualan, hukumnya haram karena di dalamnya terdapat unsur riba, yakni riba, nasi’ah (memperlambat bayaran dengan harga tinggi sebagai imbalan waktu). Alasan pengharamannya adalah beberapa hadits, antara lain:

Dari Sammak, dari ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abd Allah ibn Mas’ud, dari bapaknya, ia berkata, “Nabi saw melarang dua akad dalam satu akad”. Sammak berkata, “Maksudnya adalah seseorang yang menjual barang dengan mengatakan, kalau tempo harganya sekian dan kalau kontan harganya sekian dan sekian” (HR Ahmad)

Akan tetapi ulama Syafi’iyah, Hanafiah, Zaid ibn ‘Ali, al-Mu’ayad bi-Allah, dan jumhur ulama membolehkannya. Alasan mereka ialah makna lahir dari hadist yang menunjukkan kebolehan seseprang memilih yang paling ringan antara membayar secara kontan dengan harga pasar atau membayar secara kredit dengan bayaran lebih.

Dalam hal ini, al-Syaukani cenderung kepada pendapat pertama, yakni tidak boleh melakukan jual beli secara kredit. ‘Illah ketidak bolehan itu menurutnya ada dua kemungkinan: (1) adanya dua penjualan dalam satu penjualan mengakibatkan tidak adanya kepastian harga satu jenis barang. (2) mengantungkan syarat tempo dan si pembeli harus pula menjual barang yang dibelinya itu kepada penjual dengan harga murah, yang secara jelas menjurus kepada praktek tiba.

Dari dua ‘illah yang dijadikan al-syaukani sebagai alasan tidak bolehan jual beli secara kredit terlihat bahwa ‘illat pertama di latar belakangi oleh adanya kekhawatiran kekacauan harga satu jenis barang, yang berdampak pada rusaknya harga pasar, yang lebih jauh akan memberikan implikasi kepada hilangnya ketertiban umum. Maka untuk memelihara kestabilan harga barang, al-syaukani memandang tidak boleh melakukan jual beli secara kredit yang membedakan adanya harga tunai dan harga kredit. Pandangan ini kelihatannya didasarkan atas kepentingan kemaslahatan umum (al-mashlah al-‘ammah) yang harus lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi.

Adapun ‘illat kedua adalah didasarkan atas kekhawatiran terjebaknya pelaku jual beli kredit pada praktek jual beli yang mengandung unsur riba. Maka untuk mengantisipasi hal demikian, al-Syaukani memandang tidak boleh melakukan jual beli secara kredit. Pandangan ini menurut hemat penulis, adalah didasarkan atas sadd al-dzari’ah.

Dari alasan-alasan di atas terlihat bahwa al-Syaukani, di samping berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan hadist Nabi Saw, tidak pula mengabaikan kemaslahatan dan sadd aldzri’ah ketika menarik sebuah nas yang secara lahirnya terlihat bertentangan atau mengandung pengertian yang masih samar, khususnya dalam bidang muamalah.

Kendati demikian, apabila alasan al-Syaukani dihadapkan kepada alasan jumhur ulama, menurut hemat penulis, alasan jumhur ulama agaknya lebih dekat kepada kaidah kemudahan dalam beragama. Kekhawatiran al-Syaukani akan rusaknya harga pasar seharusnya tidak perlu muncul, karena sebelumnya telah ada pemilihan harga, antara harga secara tunai dan harga secara kredit.

Salam …