Pengertian, Tujuan dan Ruang Lingkup Hukum Perang dan Humaniter

Sejarah manusia tidak pernah lepas dari pada peperangan. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan jenis kemudian membawa keinsyafan bahwa cara berperang yang tidak mengenai batas itu merugikan umat manusia sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan. Pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum yang berdiri sendiri mulai tulisan-tulisan mengenai hukum perang.

Perang berarti adanya pembunuhan besar-besaran dan sering terjadi kekejaman-kekejaman, ini adalah salah satu bentuk perwujudan dari pada naluri untuk mempertahankan diri, yang berlaku baik dalam pergaulan antar bangsa, karena itu sejarah perang sama tuanya dengan sejarah umat manusia.

Hukum internasional humaniter adalah merupakan istilah yang masih relatif baru di Indonesia, selama ini orang hanya mengenal hukum perang (law of war), dan oleh karena itu khalayak ramai belum mengenalnya.

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja tidak memberikan definisi beliau hanya membagikan hukum perang yakni:

  1. Jus ad bellum (hukum tentang perang). Mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan senjata
  2. Jus in bello (hukum yang berlaku dalam perang). Hukum ini dibagi dua yaitu yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war)
  3. Yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, lazimnya disebut (Geneva laws)

Masalah yang perlu ditegaskan dalam makalah ini adalah mengenai tujuan hukum perang. Di dalam U.S Army Field manual of the law of landwarfare, dijelaskan beberapa tujuan yaitu:

  1. Melindungi baik kompatan maupun non kombatan dari Renderitaan yang  tidak perlu;
  2. Menjamin hak asasi tertentu dari orang yang jatuh ke tangan musuh;
  3. Memungkinkan dikembalikannya perdamaian; dan
  4. Membatasi pihak berperang;

Sebagaimana halnya telah kita ketahui bahwa sejak konferensi perdamaian di kota Den Haaq pada tahun 1899 telah berhasil disepakati bersama konvensi-konvensi haque, yang pada pokoknya berisi hukum dan kebiasaan perang dan cara-cara perang pada umumnya (conduct of war), hukum Den Haaq dan hukum Jenewa adalah hukum humaniter, karena mengandung perlindungan yang mengatur internasional bagi kombatan, bagi mereka yang berhenti bertempur (hors de combat); pengaturan di wilayah pendudukan, perlindungan bagi rakyat sipil, obyek-obyek sipil, barang-barang budaya (termasuk mesjid dan gereja lingkungan hidup dan sebagainya).

Hukum Perang Tradisional dan Perkembangannya

Mengenai hukum perang tradisional ini kalau kita teliti secara seksama sangat luas aspeknya dapat bersifat nasional dan juga dapat bersifat internasional. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 3 konvensi IV Jenewa 1949 dan bersifat internasional sebagaimana diatur dalam pasal 2 konvensi IV Jenewa 1949. Perang saudara yang juga disebut dengan pemberontakan merupakan konflik bersenjata yang sifatnya nasional dan bilamana pihak pemberontak telah memperoleh status sebagai pihak yang berperang atau status Belligerent, maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur selanjutnya oleh hukum internasional mengenai perang dan netralistas; karena dengan demikian sifat intern suatu pemberontakan telah berubah menjadi konflik yang bersifat internasional. Demikian juga halnya pemberontakan tersebut melibatkan pihak asing, maka sifat konflik bersenjata tadi berubah dari nasional menjadi internasional hal itu dikarenakan pihak asing yang bersangkutan berhadapan langsung dengan pemerintah yang timbul karena intervensinya dan pemerintahan ini mengadakan penyelesaian sengketa tersebut secara internasional jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka negara yang mengadakan intervensi menentukan syarat-syarat atau cara yang dikehendakinya untuk menyelesaikan konflik bersenjata tersebut.

Menurut kebiasaan hukum Romawi kuno, suatu pernyataan perang sebelumnya adalah perlu untuk memberikan kepada perang yang bersifat “iustum bellum” mulai peperangan tanpa-tanpa pernyataan perang sebelumnya, jelas merupakan pelanggaran terhadap konvensi II Den Haaq tahun 1907. Kemudian perlu dikemukakan di sini mengenai perang ilegal, yaitu perang yang pertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang telah diterima oleh suatu negara, maka perang yang ilegal itu menyebabkan kepada negara yang bersalah tidak diberikan perlindungan dari hukum perang sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan  hukum internasional. Walaupun demikian, terlepas dari masalah sah atau tidaknya, ketentuan-ketentuan yang menyangkut dasar-dasar peri kemanusiaan harus diindahkan oleh para pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata tersebut. Selama perang semua pihak belligerent diwajibkan melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum perang sebagaimana yang telah diterima oleh umum dan berhak membuat dilaksanakannya peraturan-peraturan tersebut.

Salam …