Sejarah Suku Toraja

Sejarah Asal Mula

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana.

Legenda ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja turun dari nirwana menggunakan “tangga dari langit” yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Namun seorang anthropolog menuturkan bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut berawal dari berlabuhnya imigran Indo Cina dalam jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai di daerah Enrekang. Para imigran ini lalu membangun pemukiman di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis, dari kata To Riuja yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”. Ada juga versi lain yang mengatakan nama Toraja berasal dari kata Toraya. To artinya Tau atau “orang”, Raya dari kata Maraya yang berarti “besar”. Jadi Toraya berarti orang-orang besar atau bangsawan. Lama-kelamaan, penyebutan tersebut menjadi Toraja. Dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja

Lokasi Lingkungan Alam

Ini tempat yang paling tepat untuk menikmati alam dengan segenap hati. Tana Toraja menawarkan pesona alam yang bisa dinikmati dengan cara-cara orang modern, yakni dengan bersantai dan bermalam di tempat tersebut

Perjalanan panjang, hampir selapan jam dari Makassar. Namun di tiap kelokan, hati ini dihibur oleh keindahan yang tak pernah sama. Mulai dari laut lepas, jajaran pohon kapuk, bukit-bukit karst, sawah hijau, sungai jernih, rumah-rumah unik, hingga kecantikan gunung Nona. Tak lam kemudian, Tator tertangkap diujung mata.

Pebukitan hijau eksotis berpadu dengan punggung bukit bergerigi serta tebing bebatuan tegak kokoh menantang. Inilah awal pesona Tana Toraja yang sesungguhnya. Begitu banyak bukit cadas berdiri menjulang, berserak di hamparan bukit dan hutan, seolah mengabarkan bahwa memang Tuhan menganugrahkan kecantikan pada kawasan ini.

Beragam tongkonan, yaitu rumah adat Toraja, juga masih bisa disaksikan. Coba perhatikan detilnya. Di depan setiap tongkonan selalu terlihat susunan tanduktanduk kerbau yang diatur sedemikian mpa. Jumlah tanduk pada awalnya menunjukkan jumlah kerbau yang sudah dikorbankan. Makin besar dan panjang tanduknya, makin bergengsilah keluarga pemilik tongkonan tersebut. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, tak semua tanduk bisa dipasang di tiang pancang tegak itu.

Maklum, adat ini sudah puluhan bahkan ratusan tahun dilakukan, sementara tiangnya hanya bisa menampung 10 sampai 40 tanduk, sehingga tanduk lainnya terpaksa disimpan saja dalam gudang keluarga. Selain besar dan indahnya tongkonan, pertanda lain yang melambangkan kemakmuran sebuah keluarga adalah kepemilikan lumbung padi yang juga berada di depan rumah tersebut. Semakin banyak jumlah lumbung padinya, semakin terpandanglah keluarga tersebut.

Bahasa

Di Tanah Toraja  pada umumnya hanya menggunakan satu bahasa daerah saja. Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Toraja, bagi masyarakat yang berada jauh dari kota lebih banyak digunakan bahasa asli Toraja. Sebagian besar juga menggunakan bahasa Indonesia dan bagi wisatawan yang datang berkunjung ke tempat wisata di tersebut menggunakan guaet (pemandu wisata).


Sistem Pengetahuan

Di Tanah Toraja  terdapat beberapa kesenian yang dapat memberikan suatu pengetahuan secara tak langsung tentang adat dan istiadat serta pengetahuan tentang sejarah Tanah Toraja. Diantaranya kesenian upacara Rambu Tuka’.

Upacara syukuran atau Rambu Tuka’, antara lain adalah upacara perkawinan, maupun selamatan rumah (membangun rumah, merenovasi
atau memasuki rumah baru). Upacara selamatan rumah disebut juga upacara pentahbisan rumah. Upacara jenis ini harus dilaksanakan pagi hari dan diharapkan selesai di sore hari. Pemotongan hewan korban juga dilakukan, namun jumlahnya tidak sebanyak saat upacara kematian. Itu juga yang menyebabkan banyak anggapan bahwa upacara kematian di Tator memang lebih meriah dibandingkan upacara lainnya

Mata Pencaharian

Para perajin parang tersebar di berbagai wilayah Toraja. Namun kalau Anda ingin melihat proses pembuatannya, maka datanglah pada hari pasaran (6 hari sekali) yang digelar di Rantepao. Hari pasaran ini merupakan pasar terluas di Toraja, dengan keistimewaan perdagangan kerbau dan babi yang sangat besar.

Tanah lapang luas yang menampung kerbau dengan para penjualnya bersisian dengan kios-kios para perajin parang. Sistem pembuatan parang tradisional yang cukup cepat pengerjaannya bisa disaksikan di sini. Anda juga bisa menemukan perajin parade di Desa La’ Bo’, Kelurahan Sangga Lange (terusan arah Kete’ Kesu), yang selain bertani, mereka juga membuat parang dan dengan senang hati mereka akan memperlihatkan cara pembuatannya.

Tentu saja, sebagai rasa terima kasih, selayaknya Anda memberikan penghargaan berupa tips (min. Rp. 10.000,-) atas peragaan yang mereka sajikan, atau beli parangnya dengan harga sekitar Rp. 65.000,-. Namun harus diakui, parang dan pedang yang dijual di pasar permanen Rantepao lebih halus buatannya, tentu dengan harga yang lebih variatif, sesuai dengan model, ukuran dan motif yang ada

Kesenian

Sungguh suatu karunia bahwa tak hanya tradisi dan alam Toraja yang menakjubkan, karena dalam kehidupan sehari-hari jiwa seni penduduk Toraja tampak kuat terpancar. Sehingga tak aneh di perkampungan maupun tempat-tempat obyek wisata pemakaman, selalu terlihat beberapa pusat kerajinan yang menawarkan cita rasa seni tersendiri.

Adapun kesenian yang ada di Toraja  diantaranya adalah

  • Tenun Ikat.  Desa To’ Barana’ di Sa’dang, di mana masih terlihat beberapa ibu-ibu tua yang asyik memintal kapas dan menenun benang. Ketekunan para perempuan tua itu sayangnya bakal punah kalau tidak dilanjutkan oleh orang-orang muda. Memang harus diakui keterampilan menenun membutuhkan kesabaran lebih, karena prosesnya menggunakan alat tradisional dan membutuhkan waktu yang cukup lama, berbilang bulan untuk sebuah kain tenun yang panjang dan cantik. Kain tenun yang agak lebar dan bisa digunakan untuk selendang maupun hiasan dinding bernilai sekitar Rp. 75.000,
  • Ukir Kayu. Pemahat tau’-tau’ dalam ukuran besar maupun kecil, serta beragam ukiran bisa ditemui tak hanya di Desa Kete’ Kesu, namun juga di Londa. Meski seringkali para perajin ini tidak sepenuhnya menggantungkan hidupnya dari membuat karya seni, namun mereka akan senang hati menerima pesanan beragam barang. Kerajinan buatan mereka biasanya juga dipasarkan di tempat-tempat lainnya di Toraja.

Yang menarik untuk dijadikan souvenir, terlebih saat merayakan valentine, adalah tau’-tau’ berukuran mini, kurang lebih 10 cm. Tau’-tau’ dengan profil pria dan wanita biasanya ditawarkan sepasang. “Jangan dipisahkan, mereka kau sepasang,” demikian bujukan sang penjual. Harga untuk ukuran mini maupun yang lebih besar (25 cm) biasanya tak jauh berbeda, sekitar Rp. 10.000,- per pasang. Rumitnya mendesain dan mengukir tau’tau’ itulah yang dinilai, bukan sekedar besarnya bahan baku yang dipakai

Struktur Pemerintahan

Pada awalnya pemerintah yang ada di Tanah Toraja bersifat kerajaan yang dipimpin langsung oleh seorang raja seperti Raja Sangalla. Kemudian setelah Indonesia merdeka Tanah Toraja menjadi bagian dari Indonesia. Untuk sementara ini pemerintahan bersifat  otoda (Otonomi Daerah).

Desentralisasi dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui adalah sebuah proses yang bertolak belakang dari sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah menguasai masyarakat nusantara yang majemuk yang hidup di berbagai kepulauan nusantara yang bertaburan di atas samudra. Masyarakat nusantara mengalami perlakuan yang tidak adil. Jalan keluar dari ketidakadilan adalah desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah. Dengan kata lain, otoda adalah anak kandung dari usaha untuk memerangi ketidakadilan dan usaha untuk mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan otoriter yang membelenggu rakyat atau masyarakat nusantara.