Talak

Disyaratkan bagi orang yang menalak hal-hal berikut ini:

  1. Baligh. Talak yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah, sekalipun dia telah pandai. Demikian kesepakatan para ulama mazhab, kecuali hambali. Para ulama mazhab Hambali mengatakan bahwa, talak yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti dinyatakan sah, sekalipun usianya belum mencapai sepuluh tahun.
  2. Berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila, baik penyakitnya itu akut maupun jadi-jadian (insidental), pada saat dia gila, tidak sah. Begitu pula hanya dengan talak yang dijatuhkan oleh orang yang tidak sadar, dan orang yang hilang kesadarannya lantaran sakit panas yang amat tinggi sehingga ia meracau.
  3. Atas kehendak sendiri. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa (menceraikan istrinya), menurut kesepakatan para ulama mazhab, tidak dinyatakan sah. Ini berdasarkan hadis yang berbunyi:  Ketentuan hukum dicabul dari umatku yang melakukan perbuatannya karena keliru, lupa dan dipaksa.
  4. Betul-betul bermaksud menjatuhkan talak. Dengan demikian, kalau seorang laki-laki mengucapkan talak karena lupa, keliru, atau main-main, maka menurut Imamiyah talaknya dinyatakan tidak jatuh.

Abu Zahrah, dalam al-Ahwal al-Syakhshiyyah, halaman 283 mengatakan bahwa, dalam mazhab Hanafi talak semua orang dinyatakan sah kecuali anak kecil, orang gila, dan orang yang kurang akalnya. Dengan demikian, talak yang dijatuhkan oleh orang yang mengucapkannya dengan main-main, dalam keadaan mabuk akibat minuman yang diharamkan, dan orang yang dipaksa, dinyatakan sah. Lalu pada halaman 284 dikatakan bahwa, Maliki dan Syafi’i sependapat dengan Abu Hanifah dan pengikutnya mengenai talak yang dijatuhkan secara main-main, tapi Ahmad bin Hanbal menentangnya. Menurutnya, talak orang yang main-main tidak sah. Dalam Bidayah Al Mujatahid ibn Rusyd mengatakan (jilid II, hal. 74) bahwa, Imam Syafi’i  dan Abu Hanifah mengatakan bahwa, talak tidak memerlukan niat”.

Sementara itu Imaniyah menukil hadis dari ahl al-Bait yang mengatakan:

Tidak dianggap jatuh suatu talak kecuali bagi orang yang memang bermaksud menjatuhkan talak…dan tidak ada talak kecuali disertai niat.

Sementara itu pengarang kitab al-Jawahir mengatakan “Kalau seseorang telah menjatuhkan talak, dan sesudah mengucapkan talaknya itu dia mengatakannya, “saya tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka pernyataan ini diterima sepanjang si istri masih dalam masa iddah. Sebab, yang demikian itu merupakan informasi tentang niatnya yang tidak bisa diketahui siapa pun kecuali melalui pemberitahuannya sendiri”.

Talak yang dijatuhkan wali

Imamiyah, Hanafi dan Syafii mengatakan; seorang ayah tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan talak untuk anaknya yang masih kecil. Ini berdasarkan hadis yang berbunyi:

Talak hanya merupakan hak bagi orang yang memegang kemudi (perkawinan)

Maliki mengatakan: seorang ayah berhak memisahkan istri anak laki-lakinya yang masih kecil. Sedangkan dari Imam Ahmad bin Hanbal terdapat dua riwayat.

Imamiyah mengatakan: apabila si anak kecil mengalami gangguan akal ketika dia baligh, maka ayah atau hakikatnya (dari pihak ayah) berhak menjatuhkan talak atas nama si anak bila dipandang ada maslahat dalam talak tersebut. Kalau si anak tidak mempunyai ayah atau kakek dari pihak ayah, maka hakim boleh menjatuhkan talak atas nama si anak. Pada bagian yang lalu telah saya jelaskan bahwa Imamiyah membolehkan istri seorang laki-laki gila untuk mem-faskh nikah.

Hanafi mengatakan: apabila istri seorang laki-laki gila merasa terancam bila bergaul dengan suaminya, maka persoalannya diajukan kepada hakim, dan si istri meminta diceraikan. Di sini, hakim boleh menjatuhkan talak untuk menghindarkan bahaya yang dihadapi istri, sedangkan ayah si istri tidak punya wewenang apa pun.

Seluruh ulama mazhab sepakat bahwa seorang safih (idiot) di pandang sah talak dan khulu’nya.

Wanita Yang Ditalak

Wanita yang ditalak, menurut kesepakatan para ulama mazhab, disyaratkan harus seorang istri. Sementara itu, Imamiyah memberi syarat khusus bagi sahnya talak terhadap wanita yang telah dicampuri, serta bukan wanita yang telah mengalami menopause dan tidak pula sedang hamil, hendaknya dia dalam keadaan suci (tidak haidh) dan tidak pernah dicampuri pada masa sucinya itu-antara dua haidh). Kalau wanita tersebut ditalak dalam keadaan haidh, nifas atau pernah dicampuri pada masa sucinya maka talaknya tidak sah.

Dalam kitab tafsir-nya tentang surat Al Thalaq ayat 1 yang berbunyi: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddah mereka, mengatakan bahwa, yang dimaksud pada saat mereka menjelang masuk ‘iddah yaitu menurut kesepakatan para ulama – masa suci mereka. Sementara sebagian mufassir mengatakan bahwa, yang dimaksud dengan menceraikan ketika mereka dapat (menghadapi) iddah mereka itu adalah pada saat mereka dalam keadaan suci dan tidak dicampuri menjelang ditalak. Singkatnya, talak itu harus dijatuhkan pada saat istri dalam keadaan suci. Kalau tidak demikian, talak tersebut tidak bisa dianggap sebagai talak yang dilakukan terhadap wanita yang telah baligh dan sudah dicampuri, serta bukan wanita yang memasuki masa menopous dan sedang hamil. Sebab, tidak ada sunah rasul yang berkaitan dengan talak bagi wanita yang masih kecil, belum dicampuri, atau yang memasuki masa menopause  dan sedang dalam keadaan hamil.

Seterusnya Imamiyah memperbolehkan mencerai lima jenis istri berikut ini, baik dia dalam keadaan haidh maupun tidak, yaitu:

  1. Istri yang masih anak-anak yang belum mencapai usia sembilan tahun
  2. Istri yang belum dicampuri oleh suami, baik dia gadis maupun janda, telah melakukan khalwat dengan suaminya maupun belum.
  3. Istri yang telah memasuki masa menopousa yakni wanita yang telah mencapai usia lima puluh tahun manakala non Quraisy, dan enam puluh tahun manakalah berasal dari kalangan Quraisy.
  4. Istri yang sedang hamil
  5. Istri yang suaminya tidak ada kabar beritanya dalam waktu sebulan penuh, dengan syarat talaknya dijatuhkan ketika dia tidak ada dan si suami tidak mungkin mengetahui keadaan istrinya; apakah istrinya sedang haid ataukah suci. Orang yang berada dalam penjara, hukumnya sama dengan orang yang tidak diketahui kabar beratnya.

Redaksi Talak

Imamiyah mengatakan; talak dianggap tidak jatuh (sah) kecuali dengan menggunakan redaksi khusus, yaitu anti thaliq (        ) (engkau adalah orang yang diceraikan), fulanah thaliq (menyebut nama istrinya). Hiya (dia perempuan) thaliq, (semuanya dalam bahasa Arab, e.d) kalau dia menggunakan redaksi; al-thaliq (yang diceraikan), al-muthallaqah (yang tercerai) tahllaqtu, (kuceraikan), al-thalaq, (cerai) min al-muthallaqt (diantara yang dicerai) dan sebagainya, selain yang disebutkan di atas, sekalipun materi talaknya pun dia betul-betul berniat talak. Sebab, sekalipun materi talaknya ada, tapi kata taliq-nya tidak ada. Selain itu, redaksi talaknya disyaratkan harus dalam bahasa Arab yang fasih, tidak ada kesalahan gramatikal atau pengucapannya, serta tidak dikaitkan dengan sesuatu apa pun. Sekalipun hal itu pasti terjadi, misalnya mengaitkannya dengan terbitnya matahari dan sebagainya.

Kesaksian dalam Talak

Dalam al-Ahwal al-Syakhsihiyyah, halaman 365, Syaik Abu Zahrah mengatakan:

Para ulama mazhab Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariah dan Ismailiyyah mengatakan bahwa, talak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang saksi laki-lakii yang adil, berdasarkan firman Allah tentang masalah talak dalam surah al-Thalaq yang berbunyi “…..dan persaksikanlah dengan orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah, diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang Bertakwa kepada Allah, niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Perintah untuk membuat sesudah pembicaraan tentang talak dan kebolehan ruju’. Maka yang tepat adalah bahwa persaksian itu dimaksudkan bagi talak.

Salam …