Metode Pengajaran Agama pada Balita, Anak-Anak dan Remaja

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengajaran agama di Indonesia memiliki riwayat yang sangat panjang untuk  dapat dimasukkan pengajaran dalam kurikulum disekolah-sekolah umum. khususnya agama Islam pada zaman penjajahan Belanda dilakukan secara tidak resmi dengan bertabliqh disekolah-sekolah umum di luar jam sekolah, kenyataannya perhatian murid-murid  sangat besar karena mereka sangat membutuhkan santapan rohani. Sesudah Indonesia merdeka pendidikan agama telah mulai diberikan disekolah-sekolah negeri.

Atas dasar tersebut berarti pengajaran agama tidak hanya dilakukan dilingkungan keluarga dan lembaga non formal lainnya tetapi juga, lambat laun mulai diakui disekolah formal seiring perubahan sistem pemerintahan Indonesia yang semakin mengukuhkan pendidikan agama Islam sebagai mata pelajaran wajib, bagi penganutnya.

Pengajaran agama harus menyentuh segala lapisan umur dan lapisan masyarakat karena merupakan petunjuk untuk  kehidupan dunia secara universal. Pengajaran agama Islam merupakan perintah dari Allah dan merupakan ibadah kepada-Nya.

QS. An Nahl : 125

Terjemahnya:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

QS. Ar-Ra’d : 28

Terjemahnya:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Bagi orang-orang muslim diperlukan adanya pendidikan agama Islam, agar mengarahkan fitrah mereka ke arah yang benar, sehingga mereka akan dapat mengabdi dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Tanpa adanya pendidikan agama dari satu generasi berikutnya, maka orang akan semakin jauh dari agama yang benar.

Rumusan Masalah

  1. Bagaimana metode pengajaran agama pada anak balita
  2. Bagaimana metode pengajaran agama pada anak-anak
  3. Bagaimana metode pengajaran agama pada anak remaja
  4. Bagaimana metode pengajaran agama dalam lingkungan keluarga
  5. Bagaimana metode pengajaran agama dalam lingkungan masyarakat

BAB II

PEMBAHASAN

Metode Mengajarkan Agama Pada Anak (Balita)

Pendidikan agama sebenarnya telah dimulai sejak anak lahir bahkan sejak anak dalam kandungan. Anak usia balita atau 0-5 tahun belum termasuk usia sekolah. Dengan demikian ia lebih banyak bersama dan berinteraksi di lingkungan keluarga terutama orang tuanya. Maka orang tua adalah segala-galanya bagi anak. Oleh karena itu, setiap orang tua hendaknya menyadari bahwa pendidikan agama bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih ketrampilan anak dalam melaksanakan ibadah. pendidikan agama menyangkut manusia seutuhnya.

Agar agama itu dalam tumbuh dalam jiwa anakk dan dapat dipahami nantinya, maka harus ditanamkan semenjak kelahiran bayi. Dengan demikian, ada metode-metode tertentu yang harus diterapkan dalam mengajarkan agam pada anak.[1]

Adapun metode yang dimaksud adalah semua cara yang dilakukan dalam upaya mendidik. Mengajar adalah termasuk upaya mendidik metode mengajarkan agama pada anak (balita) telah banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Diantaranya:

@ Memperdengarkan Azan dan Iqamat saat kelahiran anak

Sebagaimana Abu Da’ud Turmidzi, Ali Rafi Baihaqi dan Ibnu Suni meriwayatkan bahwa Nabi SAW mengajarkan agar azan ditelinga kanan dan qamat ditelinga kiri anak yang baru lahir.

Artinya:

Aku melihat Rasulullah saw mengumandangkan azan pada telinga al Hasan bin Ali, ketika Fatimah melahirkannya.[2]

Adapun hikmah dari azan dan iqamat menurut Ibnu Qayyum al Jauziyah yaitu agar  supaya suara yang pertama kali didengar oleh anak adalah kalimat-kalimat seruan yang maha tinggi yang mengandung kebesaran Tuhan. Hikmah lainnya adalah larinya syaitan hingga ia lemah ketika pertama kali ingin mengikat atau mempengaruhinya. Azan tersebut juga mengandung makna agar dakwah Islam mendahului dakwah syaitan.[3]

@ Metode hiwar atau percakapan

Metode hiwar adalah metode percakapan akan tetapi dalam hal ini perlu dipahami bahwa objeknya adalah anak balita. Anak pada umumnya mulai pandai berbicara pada umur dua tahun. Meskipun pada dasarnya bayi yang berumur satu tahun pun sudah dapat diajak berinteraksi dengan bahasa isyarat. Oleh karena itu, dianjurkan ketika anak mulai pandai bercakap, diajarkan kata-kata yang baik dan benar, sebagai mana dalam suatu riwayat al-Hakim bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya:

Bacakanlah kepada anak-anakmu kalimat pertama dengan “lailahaillallah”

Hikmanya agar kalimat tauhid dan syiar masuk ke pendengaran anak, dan kalimat pertamalah yang diucapkan lisannnya dan lafal pertama yang difahami anak.[4]

Demikian metode percakapan ini terus diterapkan sampai anak pandai berbicara yang baik dan lebih logis dan seterusnya.

@ Metode Ketauladanan

Metode ketauladanan adalah suatu cara mengajarkan agama  dengan mencontohkan langsung pada anak. Hal ini telah dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw sebagaimana dalam firman Allah swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 21.

Artinya

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[5]

Metode ini dapat diterapkan pada anak usia 3-5 tahun, misalnya mencontohkan perbuatan shalat, mengaji, shadaqah, berbuat baik dan lain-lain.

@ Metode Pembiasan

Metode pembiasan adalah sebuah cara yang dapat dilakukan untuk  membiasakan anak berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama Islam.[6]

Inti pembiasan sebenarnya pengalaman dan pengulangan seorang ibu membiasakan menyusui dengan ASI anaknya sebenarnya sudah menanamkan kebiasaan tentang cinta kasih. Demikian juga jika umur anak mencapai 1-2 tahun, anak paling sering memainkan mulut atau alat kelaminnya. Oleh karena itu seorang ibu harus membiasakan anak untuk  memberikan sesuatu yang tidak mencedrainya, misalnya memberikan makanan dengan memegangkan pada tangan kanan, mengalihkan tangannya bila memainkan alat kelaminnya. Apabila anak berusia 3-5 tahun dibiasakan makan bersama, berdoa, mencuci tangan, bangun pagi dan lain-lain.[7]

@ Metode drill/Latihan

Menurut Zuhaini metode dirill atau latihan adalah suatu metode dalam pengajaran dalam melatih anak terhadap bahan pelajaran yang telah diberikan. Untuk  usia anak yang masih balita yang berumur 2-5 tahun metode ini dapat diterapkan. Misalnya melatih berbahasa, melatih ketrampilan gerak dengan cara menggambar dan lain-lain.

@ Metode pemberian hadiah atau pujian

Metode ini dapat diterapkan bagi anak berusia 3-5 tahun karena hal ini menarik. Apa lagi jika diberikan atas prestasi yang baik, anak akan semakin termotifasi. Misalnya anak bisa menyebutkan lima huruf hijriyah, atau menghafal suatu doa, maka dapat diberikan pujian atau hadiah berupa materi. Dengan demikian anak akan merasa dihargai atas keberhasilannya.

Metode Pengajaran Agama Pada Anak-anak

Menurut Zakiyah Darajat dalam bukunya ilmu jiwa agama kategori umur anak-anak adalah usia sekolah dasar yang pada umumnya usia 6-12 tahun. Ketika anak usia seperti ini jiwanya telah membawa rasa bekal agama dan kepribadiannya, tetapi masih dalam lingkungan dasar.[8]

Dengan demikian, pengajaran agama sangat penting untuk  ditanamkan dalam diri anak. Adapun beberapa metode yang dapat diterapkan dalam mendidik anak sesuai dengan perkembangan yang dapat diterapkan dalam mendidik anak sesuai dengan perkembangan anak tersebut, yaitu:

@ Metode keteladanan

Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang cukup efektif dalam mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual dan sosial. Sebab seorang pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru. Karenanya keteladanan merupakan salah satu faktor penentu baik buruknya anak didik. Dalam ayat Al-Qur’an banyak yang menjekaskan berapa pentingnya penggunaan keteladanan. Antara lain dalam firman Allah SWT. Surah Al-Ahzab: 21

Terjemahnya:

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[9]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Rasulullah adalah contoh yang paling baik yang harus kita ikuti. Secara tersirat ayat ini juga memberikan isyarat bahwa keteladanan dalam kehidupan sehari-hari dalam memberikan pengajaran sangat efektif seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

@ Metode Pembiasaan

Yang dimaksud pembiasan adalah membiasakan cara-cara bertindak, dibaitkan dengan metode pembelajaran pada anak-anak, maka pembiasaan anak kepada hal-hal yang baik dalam belajar sopan santun dalam keluarga maupun dalam kehidupan sehari-hari.

@ Metode Nasehat

Al-Qur’an mensyariatkan dengan nasehat, sebagaimana firman Allah yang artinya:

“Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu”.

Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik kedalam jiwa dengan cara memberikan nasehat yang dapat mengetuk hati atau relung jiwa sang anak. Bahkan dengan metode ini pendidik dapat mengarahkan peserta didik kepada kebaikan dan kemaslahatan, serta kemajuan masyarakat dan umat.

@ Metode Kisah

Metode kisah mengandung arti suatu cara dalam menyampaikan materi pengajaran dengan menuturkan secara kronologis tentang bagaimana terjadinya sesuatu hal yang baik, yang sebenarnya terjadi ataupun tekanan saja. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surah Yusuf ayat 111:

Terjemahnya:

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.[10]

Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa ada hikma yang terkandung dari kisah-kisah yang disampaikan oleh Allah SWT melalui firman-Nya. Bagi orang-orang yang mau berfikir dan menggunakan akal.

@ Metode Hukuman

Muhammad Quthb mengatakan bahwa “bila teladan dan nasehat di metode lain tidak mampu menguba sikap anak, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang disebut hukum (sifatnya mendidik)[11]

Metode Pengajaran Agama Pada Remaja

Remaja adalah anak yang berada pada usia bukan anak-anak, tetapi juga belum dewasa. Periode remaja itu belum ada kata sepakat mengenai kapan dimulai dan berakhirnya. Ada yang berpendapat bahwa usia remaja itu antara 13-21, ada juga yang mengatakan antara 13-19 tahun. Remaja yang telah tamat atau telah putus sekolah hakikatnya membutuhkan dan berhak atas lapangan kerja yang wajar, sesuai dengan UUD 1945 pasal 27 ayat 2.

Telah diketahui bersama bahwa anak adalah asset terbesar bagi orang tua, anak adalah amanah Allah yang perlu didik. Oleh karena itu, agama harus ditanamkan pada diri mereka.

Dalam mengajarkan agama pada remaja diperlukan berbagai metode. Adapun metode yang digunakan untuk  mengajarkan agama pada remaja telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW antara lain:

@ Metode keteladanan.

Ketelaudanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dalam aspek moral spiritual anak adalam remaja mengingat pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak. Metode ini dapat diterapkan pada usia remaja misalnya contohkan shalat, mengaji dan ibdah-ibada atau perbuatan baik lainnya.

@ Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi adalah cara mengajar dengan menggunakan peragaan atau memperlihatkan bagaimana berjalannya suatu proses tertentu kepada yang diajar.[12]

Metode ini dapat digunakan untuk  mengajarkan agama pada remaja, misalnya mendemonstrasikan langsung seperti; praktek shalat, wudhu, atau praktek penyelenggaraan shalat jenazah.

@ Metode pemberian tugas

Termasuk metode pengajaran agama pada remaja yang cukup berhasil dalam membentuk  aqidah anak (remaja) dan mempersiapkannya baik secara moral, maupun emosional adalah pendidikan anak dengan petuah dan memberikan kepadanya nasehat-nasehat. Karena nasehat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuka mata anak (remaja) akan hakikat sesuatu, mendorong untuk  menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.[13]

Adapun metode nasehat, dicontohkan oleh Luqmanul Hakim yang diabadikan dalam Al-Qur’an QS. Al Luqman ayat 13 dan 17.

Terjemahnya:

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.(13) Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (17)[14]

Menurut Abudinata bahwa nasehat ini cocok untuk  remaja karena dengan kalimat-kalimat yang baik dapat menentukan hati untuk  mengarahkannya kepada ide yang dikehendaki.[15]

Selanjutnya beliau mengatakan bahwa metode nasehat itu sasarannya adalah untuk  menimbulkan kesadaran pada orang yang dinasehati agar mau insaf melaksanakan ajaran yang digariskan atau diperintahkan kepadanya.[16]

Pendekatan Pengajaran Agama dalam Lingkungan Keluarga

Keluarga dalam pandangan antropologi adalah satu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merakyat, dan sebagainya, sedangkan inti keluarga adalah azab, ibu dan anak.[17]

Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi rumah tangga masing-masing:

@ Pendidikan anak prenatal

Dimulai sejak saat memilih pasangan hidup ini adalah masalah ilmiah. Sifat orang tua besar kemungkinan diturunkan kepada anaknya. Jadi jika orang tua tidak ingin sulit mendidik anak, maka pilihlah jodoh yang tidak nakal.[18]

Suasana lahir batin seorang ibu yang sedang hamil dapat berpengaruh pada anak yang dikandungnya. Jadi, bila seorang ibu hamil hindarilah problem. Suasana yang buruk saat kehamilan akan dapat menyebabkan yang lahir sulit dididik.

@ Memperdengarkan azan dan iqamat saat kelahiran anak

@ Mendidik anak  dengan cara memberi nama yang baik

Memberi nama yang baik terhadap anak juga mengundang suatu taqlin (pengajaran) tentang syariat Islam karena dengan pemberian nama yang baik itu diharapkan melekat sifat yang baik pula pada anak tersebut. Sebagaimana hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud

Artinya:

“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kalian kaan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama papa kalian. Oleh karena itu buatlah nama yang baik untuk  kalian.[19]

@ Menyusui bayi (ASI)

Menyusui anak, tidak hanya bernilai dilihat dari segi kesehatan fisik, melainkan juga segi perkembangan kejiwaan, dan bernilai pendidikan.[20]

@ Memilih teman bermain si anak untuk  membantu orang tua dalam memilih teman bermain anaknya ada tiga patokan:

  1. Pilih teman yang baik moralnya
  2. Pilih teman yang cerdas (IQ-nya tinggi)
  3. Pilih teman yang kuat aqidahnya.[21]

@ Mengisi waktu luang anak-anak dengan kegiatan yang bermanfaat bagi perkembangannya.

@ Pembinaan dan mencontohkan

Penanaman iman kepada anak-anak dapat dilakukan  dengan pembiasaan. Pembiasaan tidak memerlukan keterangan atau argument logis. Maksudnya biasakanlah anak-anak itu dan tidak perlu dijelaksan berulang-ulang mengapa harus begitu. Dengan demikian, pembiasaan itu datang dari kebiasaan itu sendiri.

Dan berilah contoh langsung tanpa banyak keterangan. Perhatikan bagaimana kehidupan beragama sehari-hari seperti; membaca basmalah dari setiap pekerjaan.[22]

@ Hindari konflik ibu-bapak di depan anak

Pertengkaran orang tua tidak baik dilihat dari segi pendidikan anak dalam keluarga. Pendidikan agama bukanlah sekedar pendidikan dan pengajaran, ternyata lebih luas mencakup suasana umum di rumah tangga.[23]

@ Melaksanakan peribadatan dengan teratur

@ Orang tua menyeru anaknya ikut aktif dalam berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan.

Dari beberapa  metode tersebut semuanya bertujuan untuk  penanaman nilai keimanan dalam hati generasi pelanjut yaitu anak-anak sebagai salah satu bagian dari suatu keluarga.

Disnilah orang tua sebagai individu dewasa bertanggung jawab akan pendidikan keagamaan pada anaknya karena keluarga merupakan bagian kecil dari lembaga sosial yaitu masyarakat yang hidup berperadaban dan memiliki tata nilai baik itu hukum keagamaan maupun hukum kemasyarakatan.

Pendekatan Pengajaran Agama Dalam Lingkungan Masyarakat

@ Pendekatan sosiologis

Sosiologis adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologis mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama. Cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan hidup itu. Serta kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. [24]

Sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan keadaan tentang masyarakat lengkap dengan struktur  lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini  suatu fenomena sosial dapat dianalisis dan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.

Selanjutnya sosiologis dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologis.

@ Pendekatan historis

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.[25] Menurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilakukan dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dan alam idelais kealam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.

@ Pendekatan kebudayaan

Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Didalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kesemuanya itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang dalam menjawab berbagai masalah yang  dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan tempat sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dari generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.

Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula digunakan untuk  memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganut dari sumber agama.

Pertama Islam harus dipelajari dari sumber daya yang asli, yaitu Al-Qur’an dan al Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya mengarah dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan al Sunnah atau melalui pengenalan dari sumber kitab. Kata fiqh dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, mempelajari Islam dengan cara demikian cara menjadikan orang tersebut. Sebagai pemeluk Islam yang sinkretisme, hidup penuh kad’ah dan khurafat yakni telah bercampur dengan hal-hal yang tidak islami jauh dari ajaran Islam yang murni.

Kedua; Islam harus dipelajari secara integral, tidak dengan parsial, artinya ia dipelajari secara menyeluruh sebagai satu kesatuan yang bulat tidak sebagian saja, memahami Islam secara parsial akan membahayakan, menimbulkan skeptis, bimbang dan penuh keraguan.

Ketiga, Islam perlu dipelajari dari kepustakaan yang ditulis oleh para ulama besar karena zu’amma dan sarjana-sarjana Islam, karena pada umumnya mereka memiliki pemahaman  Islam yang baik, yaitu pemahaman yang lahir dengan pengalaman yang indah dan praktek ibadah yang dilakukan setiap hari.

Keempat, Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologi yang ada dalam Al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkat kesesuaian atau kesenjangan antara Islam yang berada dalam pada daratan normatif teologis yang ada dalam Al-Qur’an dengan Islam yang ada pada daratan historis, sosiologis, dan empiris dan sosiologis yang ada di masyarakat.

Hanya melalui penalaran kita misalnya membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksanaan dari nash Al-Qur’an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi ditengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu berkaitan, dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu berkembang, dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.

@ Pendekatan psikologi

Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamati, menurut Zakiah Darajat perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya.[26]

Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik orang yang sadis sebagainya. Semuanya itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.

Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk  memasukkan agama ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkat usianya dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk  menanamkannya.

Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk  menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

  1. Metode pengajaran agama pada anak balita; mendengarkan azan dan iqamah saat kelahiran anak, metode hiwar, metode ketauladanan, metode pembiasaan, metode drill atau latihan, metode pemberian hadiah.
  2. Metode pengajaran agama pada anak-anak yaitu  ketaladanan, pembiasaan, nasehat, kisah, dan hukuman yang mendidik.
  3. Metode pengajaran agama pada anak remaja yaitu keteladanan, demonstrasi, pemberian tugas.
  4. Pendekatan pengajaran agama dalam lingkungan keluarga yaitu pendidikan anak pranatal, menyusui bayi, mendengarkan azan dan iqamah, memberi nama yang baik, mengisi waktu luang anak dengan yang bermanfaat, pembinaan dan mencotohkan, hindari konflik orang tua di depan anak.  melaksanakan ibadah dengan teratur, menyerukan anak ikut berpartisipasi dalam keagamaan.
  5. Pendekatan pengajaran agama dalam lingkungan masyarakat yaitu, sosiologis, historis, kebudayaan dan psikologis.

Saran

Semoga bahan diatas dapat dijadikan sebagai referensi bagi para pendidik, orang tua dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Sejarah dan Masyarakat Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

Arif, Armai.  Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

Arif, Asm. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002.

Darajat, Zakiah Ilmu Jiwa Belajar Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Mekar Surabaya, 2002

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Shadily, Hasan Sosiologi untuk  Masyarakat Indonesia Jakarta: Bina Aksara, 1983.

Tafsir,   Ahmad Pendidikan Agama dalam Keluarga, Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000.

Tafsir, Ahmad.  Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Cet. 7; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.

Tafsir, Ahmad.  Metodologi Pengajaran Agama Islam, Cet. 10; Bandung: Rosdakarya, 2007.

Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 2007.


[1]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Cet. 7; Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), h. 131.

[2]Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 64.

[3]Ibid., h. 65-66.

[4]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 136.

[5]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Mekar Surabaya, 2002), h.

[6]Armai Arif, Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 110.

[7]Ahmad Tafsir,  Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Cet. 10; Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 140.

[8]Departemen Agama RI, op.cit., h.

[9] Departemen Agama RI, op.cit., h.

[10]Departemen Agama RI, op.cit., h.

[11]Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 98.

[12]Asm Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 190

[13]Abdullah Nashi Ulwan,  op.cit., h. 209.

[14]Departemen Agama RI, op.cit., h.

[15]Abudin Nata,   op.cit., 98.

[16]Ibid., h. 99.

[17]Ahmad Tafsir,  Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Cet. III; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 10.

[18]Abdullah Nashih Ulwan, op.cit., h. 73.

[19]Ibid., h. 138

[20]Ibid., h. 140

[21]Ibid., h. 139.

[22]Hasan Shadily, Sosiologi untuk  Masyarakat Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1983), h. 1

[23]Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 105 .

[24]Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Belajar (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 76.

[25]Ibid., h. 25.

[26]Ibid., h. 75.

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia.

Salam …