SQ ; The “Ultimate” Intelligence

Dr.Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng

“ Tes IQ standar mengukur intelegensia rasional- ketrampilan – ketrampilan yang kita gunakan untuk memecahkan masalah-masalah logis dan strategis. Untuk jangka waktu yang lama hasil-hasil IQ dianggap pengukuran terbaik kecerdasan manusia dan potensi sukses. Tapi di awal 1990 an Daniel Goleman menunjukkan bahwa sukses juga tergantung pada intelegensia emosional (EQ) – keberfikiran yang memberikan kepada kita empati, kasih , dan kemampuan untuk merespon secara tepat pada kepedihan ataupun kenikmatan. Sekarang, pada akhir abad 20, pengarang Danah Zohar dan Dr. Ian Mirshall mengklaim bahwa terdapat suatu Q penting lain yang harus dipertimbangakan – yakni SQ, yang juga dikenal sebagai intelegensia spiritual.  Kenyataannya, penulis menjelaskan bahwa “SQ adalah fondasi yang diperlukan baik untuk IQ maupun EQ. SQ adalah intelegensia tertinggi kita.” Mereka memiliki sebuah titik yang cemerlang. Kemudian, komputer memiliki IQ yang tinggi, binatang-binatang sering memiliki EQ yang tinggi, namun hanya manusia yang mempunyai SQ- kemampuan untuk kreatif, mengubah aturan-aturan, mengubah situasi-situasi, dan pertanyaan kenapa kita sekarang di sini. “ [2]

Zohar & Marshall menuliskan; “ Komputer (dengan IQ-nya) maupun binatang (dengan EQ-nya) tidak bertanya mengapa kita memiliki aturan-aturan ini atau situasi ini, atau apakah mereka dapat menjadi berbeda ataupun lebih baik. Mereka bekerja di dalam batas-batas, memainkan suatu ‘permainan terbatas’. SQ memungkinkan manusia untuk kreatif, mengubah aturan-aturan dan mengubah situasi-situasi. Ia membuat kita bisa bermain dengan batas-batas, untuk memainkan sebuah ‘permainan tak terbatas’. SQ memberi kita kemampuan  untuk membedakan. Ia memberikan kepada kita rasa moralitas, suatu kemampuan untuk memperlembut aturan-aturan kokoh dengan pemahaman dan kasih dan suatu kemampuan yang sama untuk melihat  ketika kasih sayang dan pemahaman mencapai batas-batas mereka.  …[3]

Ketika IQ telah berkembang menjadi standar ukuran harapan kesuksesan seseorang, dan mulai populer pada tahun 1950-an, dan selanjutnya Daniel Goleman berhasil meluncurkan wacana EQ (kecerdasan emosional), sebagai suatu ukuran yang lebih menentukan harapan kesuksesan seseorang pada tahun 1980-an, milenium baru menghendaki suatu pandangan baru yang lebih segar dan lebih revolusioner. Zohar & Marshall , tepat pada tahun 2000 ini, meluncurkan suatu konsep baru SQ (spirituall intelligence – kecerdasan spiritual). Sebagai sesuatu yang mengendalikan IQ maupun EQ, otomatis SQ memiliki peran sentral dalam menentukan harapan kesuksesan seseorang

Goleman telah berhasil menunjukkan bahwa banyak aspek kesuksesan yang tidak bisa diterangkan dengan konsep IQ. “ Ketika skor IQ dikorelasikan dengan tingka kinerja orang dalam karier mereka, taksiran tertinggi untuk besarnya peran selisih IQ terhadap kinerja adalah sekitar 25 %. Namun, dengan analisa yang saksama, angka yang lebih tepat mungkin tidak lebih dari sepuluh persen, bahkan bisa hanya 4 persen. Ini mengandung arti bahwa IQ saja paling sedikit tidak mampu menjelaskan 75 persen dari keberhasilan – keberhasilan dalam pekerjaan, atau bahkan sampai 96 % – dengan kata lain, IQ tidak menentukan apakah seseorang akan berhasil atau gagal. Sebagai contoh, sebuah pengkajian terhadap para lulusan Harvard dalam bidang – bidang hukum, kedokteran, keguruan , dan bisnis menemukan bahwa skor – skor pada ujian masuk – sebagai pengganti uji IQ – mempunyai korelasi nol atau negatif dengan sukses karier mereka pada akhirnya. “[4]

Sehubungan dengan kemampuannya untuk mengintegrasikan baik kemampuan komunikasi intrapersonal maupun interpersonal (keduanya termasuk dalam konsep EQ Daniel Goleman),  dan sehubungan dengan kemampuannya untuk mengisi gap antara diri dan yang lain, SQ membuat ketrampilan – ketrampilan emosional memiliki makna pada diri kita, memiliki akar yang kuat dalam kepribadian kita.

Pada saat kesadaran manusia di dunia telah meningkat dengan konsep – konsep intelegensia yang lebih manusiawi, yakni EQ maupun lebih canggih lagi SQ, jelas berfokus pada ketrampilan kognitif rasional untuk mencapai sukses bukanlah merupakan suatu tindakan yang bijaksana. Setelah sekian lama manusia tenggelam dalam proyek – proyek modernisme yang bertumpu pada penggunaan sains rasional – empiris murni dalam mengeksploitasi alam, kini manusia mulai kembali pada harta karunnya yang hakiki. EQ dan SQ adalah harta karun yang tersembunyi di dalam diri manusia. Sukses yang hakiki tidak pernah terwujud tanpa EQ maupun SQ. Goleman telah membuktikan dengan gamblang bahwa EQ – lah penentu sukses dalam kehidupan bermasyarakat secara lahir. Dan dengan SQ , kesuksesan ini dapat lebih manis dan lebih indah, SQ yang tinggi memberikan suatu integrasi kehidupan dalam diri seseorang dan memberikan makna setiap kesuksesan secara lebih mendalam.

Saya teringat dialog terakhir dalam film Titanic, ketika tokoh utama pria akan mati tenggelam, ia berpesan pada kekasihnya satu hal saja “ the spirit of life “, semangat hidup. Bagaimana tokoh utama pria tersebut berusaha memberikan suatu loncatan SQ (intelegensia spiritual) pada kekasihnya, dengan mentransformasikan kesedihan kehilangan seseorang yang dicintai menjadi semangat hidup yang berapi-api. Memang , dunia dengan segala tantangan dan ketidakpastiannya, membutuhkan SQ yang tinggi, yakni :

  • Kemampuan untuk fleksibel
  • Kesadaran diri yang tinggi
  • Kapasitas untuk menghadapi dan menggunakan penderitaan
  • Kapasitas untuk menghadapi dan memaknakan kepedihan
  • Terinspirasi oleh visi dan nilai – nilai
  • Kecenderungan untuk melihat ketunggalan di antara keragaman (menjadi “holistik”)
  • Mencari jawaban-jawaban yang fundamental untuk berbagai realitas yang dihadapi

Maka, sebuah pesan penting konsep SQ untuk pendidikan; “Pendidikan merupakan suatu ajang perjuangan yang serba tidak pasti dan chaotic (penuh kekacauan).  Era paradox (meminjam istilah Charles Handy) memberikan berbagai ketidakpastian kondisi dunia. Ini membuat sulit diprediksi apa yang akan terjadi, dan pengetahuan apa yang benar-benar diperlukan untuk menghadapi tantangan jaman. Namun seluruh tantangan hebat ini, bagi orang yang memiliki SQ (intelegensia spiritual) yang tinggi, malah merupakan peluang luar biasa untuk mengaktualisasi diri. Dengan SQ yang tinggi daya juang menjadi tinggi, dan seseorang jauh dari sikap sombong dan berpuas diri. SQ yang tinggi membuat seseorang mampu belajar terus menerus dan mengubah diri dan pandangannya terus menerus demi menghadapi tantangan yang berubah-ubah. Dengan kesadaran spiritual yang tinggi, batin seseorang selalu terhubung dengan visi – visi yang benar, – yakni petunjuk Tuhan – , sehingga ia bisa menentukan langkah – langkahnya selama belajar di universitas agar dapat secepat mungkin mandiri selepas dari perguruan tinggi. Apakah dengan menekuni kewirausahaan atau bahasa asing atau teknologi informasi atau apa pun. Di hadapan seseorang dengan kesadaran spiritual yang tinggi, sungguh seluruh tantangan berubah menjadi nikmat. “

Mungkin , untuk meningkatkan SQ,  sya’ir berikut yang merupakan saduran bebas secara maknawi dari sya’ir Rumi ini dapat di renungi,

Karena Cinta tembaga berubah menjadi emas

Karena Cinta ampas berubah menjadi sari murni

Karena Cinta raja berubah menjadi pengemis

Karena Cinta pedih berubah menjadi obat

Sedangkan untuk mencapai kemampuan “mengubah derita menjadi energi hidup yang suka cita” Rumi memberikan resepnya, Cinta kepada Tuhan menghilangkan semua derita seperti sinar matahari melenyapkan seluruh bayangan.

SQ, – setidaknya dalam pandangan penulis-, terkait langsung dengan kesadaran diri seorang individu mengenai Totalitas Identitas Spiritualnya, suatu hal yang memang terasa asing di abad 20. Perjalanan modernisme selama beberapa abad dengan misi materialisme humanistis yang dialaminya membuat manusia modern mengalami beberapa hal; “meningkatnya individualitas, meningkatnya konsumerisme, meningkatnya alineasi diri, keterperangkapan pada realitas semu”. Kesemuanya jelas memperkecil SQ.

Mengenai Totalitas Identitas Spiritual, mungkin hal inilah yang diungkapkan oleh pemikir besar DR. M. Iqbal,

Karena kehidupan di alam semesta

Terangkat dari kekuatan diri,

Hidup menjadi sebanding kekuatan ini !

Sekiranya setitik air terserapi sadar-diri

Kadarnya yang tiada harga

Akan meningkat setingkatan mutiara !

‘Pabila rerumputan menemukan daya tumbuh dalam dirinya

Tangkainya ‘kan mengembang seluas taman.

Hanya karena Bumi mewujud kukuh dan tangguh

Tertawan Bulan dalam kitarannya nan abadi

Adapun Surya ditakdirkan lebih jaya dalam daya

Dan Bumi terpukau terpikat sorotan matanya !

Sekiranya saja Hidup mampu menimba daya

Dari lubuk dirinya sendiri

Alunan Hayat ‘kan meluas melaut samudera ![5]

“Menurup pendapat Iqbal, Khudi, – (menurut penulis istilah ini terkait erat bila tidak secara hakiki sama dengan SQ) -, merupakan suatu kesatuan yang riil, yang nyata , dan secara mantap dan tandas. Khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Banyak di antara ahli fikir, baik di bidang agama maupun di bidang filsafat, cenderung untuk menganggap realitas diri (“self”) itu hanya sebagai ‘bayangan atau ilusi dalam jiwa dan tidak memiliki kepastian sendiri yang mantap.” Bagaimana cara memperkuat khudi maupun SQ melewati pendidikan? Untuk ini , kita bisa menggunakan pula resep Iqbal;

Ada dua corak penghayatan keagamaan :

Yang pertama, meninggikan nama Ilahi

Di keluasan langit dan bumi

Inilah yang dimanifestasikan

Insan yang sadar diri

Dan dijiwai bahana Ilahi

Yang kedua : hanya dalam bentuk memuja-muji

Sambil tak henti menghitung tasbeh

Lelap mengendap didekap bumi –

Inilah agamanya para pendeta

Agamanya tetumbuhan dan batuan[6]

“ Yang diharapkan Iqbal untuk diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan adalah penghayatan beragama corak yang pertama, yaitu yang kehidupan menyatukan diri dalam kehidupan mulia, disertai jiwa penjelajah, sambil terus mengumandangkan Asma Ilahi, dan sekali-kali bukan corak kehidupan beragama yang menyanjung-puja konsepsi kependetaan yang usang-tradisional…… Akan tetapi dalam pada itu Iqbal dengan hati-hati telah menghindarkan diri dari sikap mendewa-dewakan ajaran tentang efisiensi (tambahan penulis : yakni logika mesinisme Newton ataupun logika utilitas Drucker) yang secara membabi-buta. Ajaran ini hanya menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan kerdil tak berarti yang akhirnya menuju kepada pengingkaran nilai-nilai yang meracuni perasaan dan ketenangan batin dan penghayatan yang tepat. Dalam Lectures-nya Iqbal membedakan dengan tegas antara “diri yang efisien” dengan “diri yang afektif”. Pembedaan ini sangat penting bagi pendidikan.”[7]

“Tujuan pendidikan yang dikejar Ego – kata Iqbal-bukanlah sekedar emansipasi dari berbagai keterbatasan individualitas; yang hendak dicapainya adalah penentuan individualitas yang lebih mantap. Tujuan-akhirnya bukan sekedar kegiatan intelektual melainkan tindakan yang memperdalam keseluruhan keberadaan Ego dan mempertegas dan mempertajam kemauannya, disertai dengan keyakinan yang kreatif, bahwa dunia ini bukanlah sesuatu yang sekedar cukup dilihat dan dikenal mengenai berbagai konsep pandangan tertentu, melainkan sesuatu yang harus diciptakan dan dibuat kembali melalui kegiatan dan aktifvitas yang berkesinambungan.” Integritas khudi , yang berdampak pada kemampuannya untuk mengorganisasi aspek-aspek intelektual dan jiwa manusia inilah; yakni tingginya SQ- merupakan satu paradigma baru yang ditawarkan Zohar dan Marshall, lebih kurang serupa dengan apa yang telah diungkapkan oleh Iqbal mengenai falsafah pendidikan lebih kurang seratus tahun yang lalu.

Dan Dia-lah yang lebih tahu


[1] Ucapan terima kasih khusus penulis tujukan kepada Drs. Yusuf Bakhtiar, Kepala Sekolah SMU Plus Muthahhari Bandung, atas diskusinya mengenai SQ dan referensi yang diberikan.

[2] Editorial Review (Amazon.com) of Sq : Connecting With Our Spiritual Intelligence , by Danah Zohar & Ian Marshall

[3] Danah Zohar & Ian Marshall, Spiritual Intelligence ; The Ultimate Intelligence, Bloomsbury Publishing Plc., London, 2000, pp. 5..

[4] Daniel Goleman , Working with Emotional Intelligence, (terjemahan Gramedia),  PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 1999, hal. 30.

[5] K.G. Sayidain, B.A., M.ed., (Leeds), Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, (Terjemahan oleh M. I. Soelaeman), Penerbit CV. DIPONEGOROm Bandung, 1981, hal. 27.

[6] K.G. Sayidain, B.A., M.ed., (Leeds), Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, (Terjemahan oleh M. I. Soelaeman), Penerbit CV. DIPONEGOROm Bandung, 1981, hal. 173.

[7] K.G. Sayidain, B.A., M.ed., (Leeds), Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, (Terjemahan oleh M. I. Soelaeman), Penerbit CV. DIPONEGOROm Bandung, 1981, hal. 173-175.