Gambaran Umum Sistem Tazkiyah dalam Ekonomi Islam

Deskriptif Ekonomi Islam Dunia Bisnis

Dalam dunia yang semakin maju, mengglobal dan terbuka, persoalan pembangunan ekonomi umat masih tetap merupakan hal yang paling relevan, bahkan signifikasinya semakin lebih terasa, guna mewujudkan lingkungan sosial masyarakat (umat) yang islami. Dengan pembangunan ekonomi umat inilah sebenarnya yang diinginkan oleh pencipta manusia, yaitu Allah swt.

Masalah pembangunan merupakan topik pembicaraan yang ramai. Sebagian besar orang berbincang soal tersebut menitikberatkan penggambaran tentang pembangunan ini dengan perkembangan dan pengembangan ekonomi dan segala macam upaya pencapaian kesejahteraan hidup. Hal seperti itu tidak mengherankan jika kita kaitkan dengan latar belakang pemikiran materialisme (Kapitalisme dan sosialisme) yang hampir mendominasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan itu di mana-mana. Namun gagal mewujudkan hal tersebut, karena kurang jelasnya arah dan tujuan konsep pembangunan ekonominya.[8]

Masyarakat Islam di mana-mana juga tidak mudah mencari posisi yang tidak ada ketergantungan dengan dominasi tersebut. Namun kini mulai tumbuh suatu kesadaran baru mencari penyempurnaan-penyempurnaan atas upaya pembangunan yang selama ini dikembangkan, karena masyarakat dunia  cukup merasakan banyak dampak negatif disamping dampak positifnya yang sempat dinikmati dari pembangunan ekonomi sekarang ini.[9] Dalam  proses kesadaran seperti itu, konsepsi Al-Qur’an mendapat peluang untuk menyumbangkan sesuatu yang dirindukan masyarakat dalam kehidupannya, yaitu kebahagian di dunia dan keselamatan di akhirat.

Era pembangunan adalah era perubahan semua sektor kehidupan yang berdampak positif bagi aspek tertentu yang sekaligus negatif untuk aspek lainnya. Umat perlu menyesuaikan perubahan-perubahan tersebut dalam rangka nilai-nilai dan norma hidup serta kehidupan sebagai manusia di tengah-tengah alamsemesta. Nilai dan norma adalah penduan yang dianut masyarakat, yang dapat memberi makna dan warna (sibghat) terhadap perubahan. Artinya perubahan itu merupakan refleksi nilai atau dengan perkataan lain, perubahan yang positif kuantitatif-kuanlitatif hendaknya merujuk kepada ukuran-ukuran normatif yang bersumber kepada nilai-nilai mulia.[10]

Masyarakat (umat) yang tersusun dari menusia justru secara fitrah akan bangkit secara positif dalam kehidupannya itu bertolak dari atau dijiwai oleh nilai-nilai, yakni: konsep manusia sebagai kesatuan dari rasio, rasa dan iman, dimana nilai meyakini yang memimpin nilai lainnya. Iman kepada Allah swt, artinya meyakini kekuasaan Allah yang mencakup semua bidang kehidupan manusia dan masyarakat dan meyakini bahwa pemisah bidang garapan atau urusan Allah dan manusia itu tidak di benarkan; dan konsep taqwa kepada Allah, artinya ketaatan kepada Allah dan semua perintah-Nya yang berkaitan dengan seluruh kehidupan bersyarikat, berbangsa dan bernegara, bahkan seluruh dunia.[11]

Sedangkan aspek normatif yang kemudian memberi arah pembangunan umat manusia seutuhnya ada lima nilai, yakni: hak/batil, halal/haram, adil/zalim, manfaat/mudarat dan baik/buruk. Dari nilai-nilai ini kita mengembangkannya dalam etika pembangunan yakni sistem atau seperangkat nilai dan norma yang hidup dan dianut serta menjadi pedoman dalam membangun masyarakat di semua  sektor kehidupan dalam rangka taqwa kepada Allah. Etika masyarakat tampil bermacam-macam kecuali bersumber pada tauhid. Etika yang tidak diturunkan tidak bersumber dari tauhid jelas sekali karena akan menurunkan matabat manusia.[12]

Permis pertama, yang hendak kita upayakan adalah, bahwa pembangunan ekonomi dalam kerangka Islam dan ilmu ekonomi pembangnan Islam berakar pada kerangka nilai dan norma yang ada dalam “Al-Qur’an dan Sunnah”. Inilah titik tujuan kita mendasar. Permis kedua, pendekatan ini menolak imitatif, model kapitalis maupun sosialis bukan merupakan ideal-type, kendatipun kita juga berupaya mengumpulkan pengalaman dari semua sumber yang bermanfaat untuk diadaptasikan atau diintegrasi dalam kerangka Islam tanpa harus mengurangi nilai-nilai normatif yang ada.

Menurut Sayyid Qutub:

Umat bukanlah “sebidang tanah” dimana Islam tumbuh. Bukan pula “bangsa” yang nenek moyang mereka pada suatu masa yang dahulu kala pernah hidup dengan sistem Islam. Yang dikatakan “umat Islam” adalah sekumpulan manusia kehidupannya, kosepsinya, kondisinya, sistemnya, nilai-nilainya dan seluruh pertimbangan bersumber dari manhaj Islam.[13]

Sedang Jhon Naisbitt dalam Mega Trendsnya menrancang kecenderungan model pembangunan dengan model participatory.

Participatory development, participatory democracy, participatory education. participatory  dari Naisbitt mengandung normatif, yakni persamaan, keseimbangan dan keadilan yang diberklakukan sebagai kecenderungan perkembangan masyarakat masa depan. Tinggal lagi kita mempertanyakan, aspek normatif harus dari mana.[14]

Zaenuddin Sardar berhasil mengantarkan kecenderungan global, yakni:

Cita-cita jangka panjang sebagai sistem muslim yang diartikulasikan sebagi cita-cita umum yang tujuh, yaitu: epistomologi, hostoriografi, ilmu dan teknologi, pemerintahan, ekonomi, pendidikan dan perencanaan. Ketujuh cita-cita umum ini merupakan wilayah strategik dalam menentukan sistem peradaban muslim, dimana di dalamnya telah terintegrasikan aspek normatif.[15]

Dengan adanya kerangka nilai dan norma yang ada dalam Al-Qur’an dan sunnah serta pendekatan secara normatif, mampu dilakukan pembangunan ekonomi umat serta secara menyeluruh terhadap manusia. Karena pembangunan ekonomi umat pada esensinya adalah segala usaha untuk meningkatkan kesejateraan umat Islam yang dilakukan secara sadar dan terencana menuju kepada kondisi yang lebih baik dengan cara tidak bertentangan dengan ketentuan Allah swt dan sunnah rasulallah saw.

Dewasa ini dunia muslim telah melewati salah satu msa sejarahnya yang paling kritis tetapi kreatif. Di tengah krisis sistem kontemporer yang bebas nilai, hampa nilai, yakni paham kapitalis dan sosialis, kita menemukan Islam sebagi suatu sistem nilai yang penuh dan lengkap memuat nilai-nilai kehidupan. Selain itu, keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai tingkah laku ekonomi kehidupan. Segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi tercakup nilai-nilai dasarnya dalam Islam yakni yang bersumber pada tauhid. Bahkan lebih dari sekedar nilai-nilai dasar (seperti kesatuan, keseimbangan, keadilan, kebebasan dan pertanggung jawaban) Islam telah cukup memuat nilai-nilai instrumental dan norma-norma operasional yang mampu untuk di terapkan di dalam lembaga-lembaga ekonomi masyarakat.[16]

Bagaimana sebenarnya konsep ekonomi Islam itu? Konsep ekonomi Islam sebenarnya adalah konsep ekonomi yang diwarnai oleh ajaran-ajaran Islam. apabila ekonomi membahas tentang produksi, maka barang dan jasa yang diproduksi adalah barang dan jasa yang halal menurut pandangan Islam, kemudian apabila ekonomi membahas tentang alokasi sumber dan distribusi, maka instrumen yang dipergunakannya adalah bagi hasil yang adil, pajak, dan zakat.[17] Sedangkan dalam kelembagaan ekonomi Islam menawarkan sistem alternatif yakni, sistem bagi hasil yang ternyata cukup mampu menangkis dampak krisis global yang tengah terjadi.

Dengan adanya perilaku ekonomi umat Islam  yang khas islami dan didukung oleh kelembagaan-kelembagaan yang juga khas islami (islamic economy) keberadaannya tidak bisa dibantah lagi. Di negara manapun yang mayoritas penduduknya beragama Islam akan tampak ciri dari adanya konsep ekonomi Islam yang sangat aplikatif seluruh aspek ekonomi.[18]

Dari alasan di atas, terlihat bahwa umat Islam mempunyai harapan dalam mewujudkan kebenaran prinsip ekonomi Islam, dan merupakan suatu keharusan untuk memecahkan problema ekonomi, bukan saja di negara Islam tapi juga di negara non Islam agar pola ekonomi Islam dapat dimengerti semua pihak karena Islam berisi aturan dan hukum sebagai petunjuk agar umat manusia mampu mencapai kemakmuran hidup di segala bidang, baik aspek material maupun aspek spiritual.

Namun tak dapat dipungkiri, bahwa harapan-harapan yang ada itu masih diperhadapkan berbagai macam tantangan yang harus disikapi secara arif dan bijaksana. Oleh karena itu para pengeloalah perbankan syari’ah dituntut untuk menerapakan prinsip-prinsip syari’ah secara konsisten dan kegiatan sosialisasinya juga harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya dilakukan dikalangan pengguna jasa perbankan tetapi juga dalam dunia akademis dan para pejabat pemerintahan, agar penerapan sistem syari’ah juga dapat dilakukan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan.

Sekalipun sistem perbankan Islam telah menunjukkan ‘kekuatan” dalam menghadapi krisis dan cukup efektif dalam membantu mengembangkan perekonomian nasional, tetapi masih banyak kendala yang harus dihadapinya, antara lain:

  1. Secara jujur harus diakui, konsep sistem ekonomi Islam secara lengkap dan utuh belum ada, kita umat Islam baru memiliki semangat norma dn pelaku untuk merumuskan sistem ekonomi Islam akan tetapi kita masih belum memiliki teoritis dan jabaran praktis untuk menerapkan sistem ekonomi Islam tersebut.
  2. Sistem (keinginan, cita-cita, tekad) untuk melaksanakan sistem ekonomi Islam memang kita miliki, bahkan menggebu-gebu. Begitupula norma-normanya berupa aturan tentang hal-hal yang halal dan haram, sebagaimana diturunkan secara garis besar oleh Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Pelaku (setidak-tidaknya calon pelaku) untuk melaksankan sistem ekonomi Islam juga  sudah kita miliki; yakni umat Islam itu sendiri jumlahnya tidak sedikit, walaupun barangkali baru sebagian yang berminat akan bersungguh-sungguh secara konsisten menerapakannya.
  3. Akan tetapi kerangka teoritis untuk sistem ekonomi Islam itu sendiri, yakni berupa ilmu/teori dan model-model yang islami untuk sebahagian besar masih belum kita miliki. Begitupula hanya dengan jabaran praktisnya, berupa kebijakan dan praktek (pelaksanaan di dunia nyata sehari-sehari) masih langkah di temui.[19]

Begitu pula Tariqullah Khan secara sistematis menunjukkan beberapa aspek kendala yang dihadapi oleh ekonomi Islam yakni:

  1. Masih terbatasnya penerapan prinsip-prinsip syari’ah dalam kehidupan perekonomian kita sehari-hari terjadi karen terbatasnya ahli syari’ah yang memahami dan mendalami ilmu ekonomi, dan terbatasnya ekonom muslimy mendalami syari’ah.
  2. Ekonom-ekonom muslim dewasa ini lebih akrab dengan teori ekonomi konvensional, walaupun sebenarnya prinsip-prinsip ajaran ekonomi Islam sudah lebih  dulu muncul dibanding ekonomi modern saat ini. Diabaikannya konstribusi ekonomi Islam agaknya berkaitan erat dengan kurangnya upaya pemasyarakatan ekonomi Islam itu sendiri.
  3. Maish kurangnya respon sebahagian masyarakat Islam dan non Islam tentang pemberlakuan sistem ekonomi Islam yang berdasarkan syariat.[20]

Dan tantangan utama perbankan syari’ah di Indonesia, bahwa bank-bank syari’ah beroperasi di lingkungan perbankan yang menganut sistem ganda dimana tingkat suku bunga perbankan lebih tinggi dari pada tingkat sektor ekonomi riil pada umumnya. Sehingga bank syari’ah harus beusaha meningkatkan efesiensi agar dapat mencapai suatu tingkat keuntungan yang memuaskan para pemilik dana.

Dengan adanya kendala dan tantangan ekonomi Islam seperti ini, menjadi tolak ukur dalam perkembangannya, sebab sistem ekonomi modern pun banyak sekali kekurangannya bila dibandingkan dengan ekonomi Islam, satu hal yang perlu kita ketahui konsep Islam merupakan kehendak Allah swt. tetapi konsep ekonomi modern hasil pemikiran manusia, menerapkan suatu sistem yang hanya menjangkau  batas hidup manusia, tanpa disadari dapat merugikan sistem ekonominya itu sendiri, dan masyarakat secara keseluruhan.


[8]Alie Yafie, Mengagas Fiqhi Sosial (Dari soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah) (Cet II: Bandung: Mizan, 1994), h. 200.

[9]Ibid,.

[10]AM. Saefuddin, Ada Hari Esok (Refleksi Sosial, Ekonomi dan Politik untuk Indonesia Emas) (Cet I; Jakarta: Amanah Putra Nusantara, 1995), h. 88.

[11]Ibid., h. 89.

[12]M. Umer Chapra, Etika Ekonomi Politik (Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam) (Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti, 1997), h. 7.

[13]Adi Sasono, op.cit., h. 33

[14]A.M. Saefuddin, op. cit., h. 93.

[15]Ibid.

[16]Ibid., h. 101.

[17]Karnaen Perwataatmadja, op. cit., h. 141.

[18] Ibid., h. 137.

[19] Muhammad Abu Saud, Garis-garis Besar Ekonomi Islam (Cet. III; Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 6.

[20]Ibid.