Perubahan-perubahan dalam bidang ekonomi yang terjadi di Asia, utamanya Asia Timur, merupakan salah satu perkembangan yang paling signifikan yang terjadi di dunia selama paro ke dua abad XX. Selama tahun 1990-an, perkembangan ekonomi ini menjadi sebab terjadinya euphoria ekonomi dikalangan pengamat yang melihat Asia Timur dan seluruh lingkaran Pasifik yang menghubungkan jaringan perluasan perdagangan yang dapat memberikan jaminan bagi terciptanya perdamaian dan keharmonisan antarbangsa. Optimisme ini didasarkan pada asumsi, yang bagaimanapun juga masih diragukan bahwa hubungan timbal balik dalam bidang perdagangan tidak lebih sebagai sebuah hubungan yang dilakukan demi kekuatan. Namun, bagaimanapun juga, bukan itu yang menjadi persoalan. Pertumbuhan ekonomi dapat menjadi sebab terjadinya instabilitas politik baik di dalam negeri maupun dalam konteks hubungan antarnegara, memicu terjadinya balance of power diantara pelbagai negara dan wilayah regional. Adanya kepentingan ekonomi mendorong orang untuk saling berhubungan, tapi tidak mengantarkan mereka ke dalam suatu kesepakatan. Secara historis, hal itu seringkali menciptakan sebuah kesadaran yang lebih dalam akan adanya pelbagai perbedaan ditengah-tengah masyarakat dan menstimulir timbulnya ketakutan-ketakutan. Perdagangan antarnegara dapat memicu terjadinya konflik sebagaimana ia dapat menghasilkan keuntungan. Jika pengalaman masa lalu terulang kembali, kejayaan ekonomi Asia menggerakkan sebuah bayang-bayang politis Asia, sebuah instabilitas dan konflik di wilayah Asia.
Perkembangan ekonomi Asia dan tumbuhnya keyakinan diri masyarakat-masyarakat Asia mempengaruhi politik internasional, setidak-tidaknya melalui tiga cara. Pertama, perkembangan ekonomi memungkinkan negara-negara Asia untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan militer mereka, menawarkan ketidakpastian hubungan di masa di antara negara-negara tersebut, dan dalam menghadapi persoalan-persoalan serta persaingan-persaingan yang menjadi sebab antara satu negara dengan yang lain saling menekan, memicu terjadinya konflik dan instabilitas di wilayah tersebut. Ke dua, pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkatkan intensitas konflik yang terjadi diantara masyarakat-masyarakat Asia dengan Barat, terutama Amerika Serikat, memperkuat kemampuan masyarakat-masyarakat Asia dalam menghadapi konflik tersebut. Ke tiga, pertumbuhan ekonomi dari kekuatan (baca; negara) Asia terbesar semakin memperkuat pengaruh Asia di wilayah tersebut dan penegasan kembali hegemoni tradisional negara-negara Tionghoa di Asia Timur mendorong bangsa-bangsa lain untuk “menggabungkan diri’ dan mengakomodasi perkembangan ini atau berupaya ‘mengimbangi’ serta ‘merangkal’ pengaruh Cina.
Selama beberapa abad, Barat mengalami kemunduran dalam memainkan perannya di kancah internasional. Dalam beberapa tingkatannya, hal itu pertama-tama disebabkan oleh kehadiran Rusia pada abad XVIII dan kemudian Jepang pada abad XX. Eropa merupakan wilayah yang potensial bagi terjadinya konflik sekaligus kerja sama antara kekuatan-kekuatan besar, dan bahkan selama perang dingin, arena konfrontasi superpower terletak di ‘jantung’ Eropa. Selama hubungan-hubungan internasional pada paska perang dingin tertutup, maka ‘penutup’ tersebut adalah Asia, terutama Asia Timur. Asia adalah wadah peradaban. Asia Timur merupakan wilayah yang dihuni oleh enam peradaban-Jepang, Tionghoa, Ortodoks, Budhis, Islam, dan Barat dan Asia Selatan, disamping dihuni oleh enam peradaban tersebut, ditambah Hinduisme. Negara-negara inti dari empat peradaban, Jepang, Cina, Rusia dan Amerika Serikat, adalah aktor-aktor utama Asia Timur; Asia Selatan ditambah India; dan Indonesia sedang mengalami kebangkitan kekuatan Islam. Sebagai tambahan, Asia Timur memiliki tujuh kekuatan tingkat menengah dengan tingkat perekonomiannya yang cukup berpengaruh, seperti Koreo Selatan, Taiwan, dan Malaysia, plus Vietnam yang memiliki kekuatan potensial. Hasilnya adalah sebuah bentuk hubungan internasional yang begitu kompleks yang dalam pelbagai hal, dapat diperbandingkan dengan bentuk-bentuk hubungan yang terjadi di Eropa pada abad XVII dan XIX yang penuh dengan ketidakstabilan dan ketidakpastian yang mencirikan situasi multipolar.
Kekuatan multipower dan multivilisasional mencirikan kekuatan Asia Timur yang membedakannya dengan Eropa. Adanya perbedaan-perbedaan dalam tingkat kehidupan ekonomi dan politis semakin memperjelas perbedaan antara keduanya. Seluruh negara Eropa Barat merupakan negara-negara demokrasi yang stabil, memiliki ekonomi pasar dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada pertengahan 1990-an, Asia Timur memiliki pelbagai bentuk pemerintahan yang beragam, mulai dari bentuk pemerintahan demokrasi, beberapa diantaranya merupakan pemerintahan-pemerintahan yang belum lama menganut sistem demokrasi dan tidak stabil, empat dari lima negara komunitas-mengatur sistem kediktatoran yang masih dapat dijumpai di dunia ini, plus rezim-rezim militer, personal dictatorship, dan beberapa negara menganut negara-negara begitu beragam, mulai dari Jepang dan Singapura, Vietnam dan Korea. Terdapat sebuah kecenderungan umum ke arah marketisasi dan ekonomi terbuka, namun sistem-sistem ekonomi masih berjalan sesuai dengan alur pertumbuhan ekonomi. Korea Utara, melalui pelbagai kontrol dan privatisasi, bergerak ke arah laissez-faire ekonomi Hongkong.
Terlepas dari hegemoni Cina di wilayah tersebut, sebuah masyarakat internasional (dalam pengertian Inggris), sebagaimana yang dapat dijumpai di Eropa Barat, tidak dapat dijumpai di Asia Timur. Pada akhir abad XX, Eropa terikat oleh sebuah ikatan institusi-institusi internasional yang begitu kompleks; Uni Eropa, NATO, Uni Eropa Barat, Dewan Eropa. Organisasi untuk keamanan dan Kerja sama Eropa, dan lain-lain. Asia Timur tidak memiliki organisasi-organisasi yang sepadan dengan apa yang terdapat di Eropa kecuali ASEAN, yang tidak melibatkan kekuatan-kekuatan utama dan karenanya serta bergerak ke arah bentuk-bentuk integrasi ekonomi yang sangat primitif. Pada tahun 1990-an, terjadi banyak perluasan organisasi, APEC menggabungkan negara-negara Pasifik menjadi satu, tapi justru lemah dalam memainkan perannya dibandingkan ASEAN. Tidak ada institusi multilateral yang dapat menyatukan kekuatan-kekuatan Asia. Lagi-lagi, hal ini kontras dengan Eropa Barat yang banyak mengalami pelbagai konflik, Asia Timur sedikit sekali mengalami konflik. Dua konflik yang dianggap paling berbahaya adalah konflik antara dua Korea (Utara vs Selatan). Semua itu merupakan sisa-sisa perang dingin. Perbedaan-perbedaan ideologis mengalami penurunan yang signifikan antara kedua negara Cina, dan mulai berkembang antara kedua Korea. Kemungkinan terjadinya perang antara Korea melawan Korea kecil kemungkinannya; besar kemungkinan terjadinya perang antara kedua negara Cina, dan mulai berkembang antara kedua Korea. Kemungkinan terjadi peningkatan hubungan yang signifikan antara kedua negara Cina, namun sifatnya terbatas, jika Taiwan tidak bersedia mengakui identitas ke Cina-annya, dan secara resmi menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka, Republik Taiwan. Sebagaimana dinyatakan oleh sebuah dokumen militer Cina, mengutip pernyataan salah seorang jenderal, akan terjadi perang saudara, jika kekerasan antara kedua Korea atau kedua Cina tetap mungkin, namun karena adanya kesamaan kultural tampaknya kemungkinan itu akan hilang.
Konflik-konflik yang terjadi di Asia Timur merupakan warisan perang dingin yang ditambah dan digantikan dengan konflik-konflik lain yang merefleksikan permusuhan masa lalu dan dampak dari adanya hubungan-hubungan ekonomi baru. Pelbagai analisis mengenai keamanan Asia Timur pada awal 1990-an menunjuk pada “bahaya negara-negara tetangga’, yang memicu ‘meningkatnya permusuhan, ‘arena perang dinging’, sebab ‘kemunduran’ di mana instabilitas dan pertikaian akan terus berlangsung. Kebalikan dari Eropa Barat, pada tahun 1990-an, Asia Timur tidak mampu menemukan solusi bagi terjadinya pelbagai perdebatan teritorial, yang terpenting di antaranya termasuk perdebatan yang terjadi antara Rusia dan Jepang menyangkut pulau utara dan dengan Cina, Vietnam, Philipina dan pelbagai persengketaan yang terjadi di antara negara-negara Asia Tenggara menyangkut persoalan Laut Cina Selatan. Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai batas-batas wilayah antara Cina, di satu pihak, dengan Rusia dan India di pihak lain, mereda pada pertengahan 1990-an, tapi ada kemungkinan akan kembali mengemuka, sebagaimana ketika Cina mengklaim wilayah Mongolia. Gerakan-gerakan insurgensi atapun seksesionis, dalam sebagian besar kasus, memperoleh dukungan dari luar, sebagaimana gerakan-gerakan di Mindanao, Timor Timur, Tiber bagian tenggara Thailand dan timur Myanmar. Sebagai tambahan, ketika pertengahan 1990-an, negara-negara Asia Timur mencapai perdamaian, sekitar 50 tahun sebelumnya perang besar terjadi di korea dan Vietnam, dan kekuatan utama Asia, Cina, berperang melawan Amerika plus negara-negara tetangga dekat termasuk Korea, Vietnam, Cina Nasionalis, India, Tibet, dan Rusia. Pada tahun 1993, seorang analisis militer Cina menyebutkan delapan pertikaian regional yang memanas menjadi ancaman bagi keamanan Cina, dan Komisi Pusat Militer Cina menyimpulkan bahwa situasi keamanan Asia secara umum ‘sangat menyeramkan’. Setelah berabad-abad mengalami pergolakan, Eropa barat berada dalam kedamaian dan perang merupakan sesuatu hal yang tak terpikirkan. Di Asia Timur, menurut Friedberg, masa lalu Eropa bukanlah masa depan Asia.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an dinamisme ekonomi, perdebatan teritorial, bangkitnya permusuhan masa lalu, dan ketidakpastian-ketidakpastian politis memicu terjadinya peningkatan yang signifikan dalam anggaran serta pelbagai kemampuan militer. Dengan kekayaan baru mereka, dan dalam banyak kasus, tingginya tingkat pendidikan masyarakat, pemerintah-pemerintah Asia Timur bergerak ke arah perubahan yang begitu signifikan, membentuk pasukan ‘tani’ yang lebih profesional dan dilengkapi dengan pelbagai persenjataan canggih. Dengan adanya keraguan akan komitmen Amerika terhadap Asia Timur, negara-negara Asia Timur berusaha meningkatkan kemampuan militer masing-masing. Jika negara-negara Asia Timur terus mengimpor sejumlah besar persenjataan dari Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara bekas Uni Soviet, mereka memberikan preferensi terhadap impor teknologi yang memungkinkan mereka memproduksi pesawat tempur, rudal-rudal, dan pelbagai perlengkapan persenjataan lainnya di dalam negeri. Jepang dan negara-negara Tionghoa Cina, Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan telah memiliki pelbagai industri persenjataan yang canggih. Karena kondisi wilayah Asia Timur yang dikelilingi oleh pantai, negara-negara Asia Timur menekankan pada peningkatan kemampuan udara dan angkatan laut. Sebagai hasilnya, negara-negara yang sebelumnya tidak memiliki kemampuan militer yang memadai kini telah mereka miliki. Kemajuan-kemajuan dalam bidang militer ini melibatkan sedikit tansparensi dan karenanya memicu timbulnya kecurigaan serta ketidakpastian. Dalam sebuah situasi yang berubah-ubah, pelbagai kalangan pemerintah merasa ragu’ sepuluh tahun sejak sekarang, siapakah yang akan menjadi musuh, dan jika ada, siapa yang akan menjadi kawan?