Akibat Hukum Perceraian dan Ruang Lingkup Harta Bersama

Akibat Hukum Perceraian

Akibat hukum dari penjatuhan talak, terutama yang berkaitan dengan suami isteri adalah terputusnya hubungan suami isteri dan hukum ikatan lainnya, baik bagi suami maupun isteri. Akan tetapi mereka masih dapat menyambungnya kembali pada kasus talak raj’i dalam tenggang waktu iddah atau melangsungkan perkawinan kembali ketika masa tenggang waktu itu habis. Hal yang sama juga dilakukan bagi wanita-wanita yang bertalak bain sughra. Di samping itu, baik suami maupun isteri tidak serta merta lepas dari kewajiban dan hak.[1] Menurut ulama fiqh, istri dalam iddah talak raj’i masih memperoleh nafkah dan tempat tinggal terutama bila ia sedang hamil. Pendapat ini didasari oleh firman Allah swt. QS. Ath-Thalaq (65): 6

Terjemahnya:

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga melahirkan.[2]

Kewajiban suami isteri memberi nafkah dan tempat tinggal bagi mantan isterinya, menimbulkan hak lebih bagi suami untuk mempertahankan isterinya kembali daripada orang lain. Pada saat yang sama isteri pun berkewajiban untuk menjaga dirinya dengan tidak menerima lamaran apalagi menikah dengan orang lain selama tenggang waktu iddah belum habis.

Menurut pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian adalah

  1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya. Kecuali bila ibunya meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: Wanita-wanita dalam garis lurus dari Ibu, Ayah, Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, Wanita-wanita kerabt sedarah menurut garis samping dari Ibu, atau Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah  secara berturut-turut.
  2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah dan ibunya
  3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
  4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).[3]

Menurut Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Cristine ST Kansil, SH, MH. Akibat dari suatu perceraian adalah:

  1. Pernikahan dan pencampuran harta pernikahan berakhir
  2. Kewajiban suami untuk memberi nafkah pada isteri atau sebaliknya, kewajiban mana dengan perceraian diubah menjadi tunjangan suami atau isteri kepada isteri atau suami yang menang dalam tuntutan perceraian
  3. Jika bekas suami/isteri setelah menungguh 1 tahun, satu sama lain menikah untuk kedua kalinya, maka segala akibat pernikahan pertama hidup kembali, seolah-olah tidak ada perceraian (232a BW)
  4. Hal keempat yang dihentikan oleh suatu perceraian adalah kekuasaan orang tua terhadap anaknya di bawah umur.[4]

Menurut Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh perceraian. Adapun bunyi pasalnya adalah sebagai berikut:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasaran kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya.
  2. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bila mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.[5]

Ruang Lingkup Harta Bersama

Di bawah ini akan dicoba memberi gambaran ruang lingkup harta bersama dalam suatu perkawinan. Yang dimaksud ruang lingkup harta bersama, mencoba memberi penjelasan bagaimana cara menentukan apakah suatu harta bersama termasuk atau tidak sebagai obyek harta bersama antara suami isteri dalam suatu perkawinan. Memang benar,  baik Pasal 35 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 maupun yurisprudensi telah menentukan segala harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menurut hukum menjadi harta bersam. Akan tetapi, tentu tidak sesederhana itu penerapannya dalam konkreto, masih diperlukan analisa dan keterampilan dalam penerapannya. Analisa dan keterampilan penerapan itu yang akan dicoba diuraikan melalui pendekatan yurisprudensi atau putusan-putusan pengadilan.[6]

Harta yang dibeli selama perkawinan

Patokan pertama untuk menentukan apakah suatu barang termasuk harta bersama atau tidak. Ditentukan pada saat pembelian setiap barang yang dibeli selama perkawinan, maka harta tersebut menjadi obyek harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan:

  • Apakah suami atau isteri yang memberi;
  • Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami;
  • Apakah harta itu terletak dimana.

Begitu patokan umum menentukan barang yang dibeli selama perkawinan. Apa saja yang dibeli selama perkawinan berlangsung otomatis menjadi harta bersama. Tidak menjadi soal siapa diantara suami isteri yang membelinya. Juga tidak menjadi masalah atas nama isteri atau suami harta itu terdaftar. Juga tidak peduli apakah harta itu terletak dimanapun. Yang penting, apakah harta itu dibeli selama perkawinan, dengan sendirinya menurut hukum harta tersebut menjadi obyek harta bersama. Penegasan ketentuan yang demikian telah dianut secara permanen oleh yurisprudensi. Salah satu di antaranya, dapat dikemukakan putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/SIP/1970.[7] Dalam putusan ini dijelaskan harta yang dibeli oleh suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama suami isteri jika pembelian dilakukan selama perkawinan.

Lain halnya jika uang pembelian barang berasal dari harta pribadi suami atau isteri. Jika uang pembeli barang secara murni berasal dari harta pribadi, barang yang dibeli tidak termasuk obyek harta bersama. Harta yang seperti ini tetap menjadi milik pribadi suami atau isteri. Hal itu dapat dilihat dalam kaidah yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1975 No. 151K/Sip/1974.[8] dalam putusan ini ternyata harta yang dibeli berasal dari harta pribadi isteri, maka Mahkamah Agung menegaskan “Barang-barang yang dituntut bukanlah barang gono gini antara Abdullah (Suami) dan Fatimah (isteri), karena barang-barang tersebut dibeli dari harta bawaan (harta asal) milik Fatimah”. Sewaktu perkawinan masih berlangsung isteri (Fatimah) menjual harta pribadinya. Dari hasil penjualan harta pribadi (harta bawaan), isteri telah membeli berbagai jenis barang, maka menurut hukum, oleh karena barang-barang yang dibeli berasal dari harta pribadi isteri, harta-harta itu tetap menjadi milik pribadi, sekalipun pembeliannya terjadi selama perkawinan. Dalam kasus yang demikian tetap berlaku asas: Harta isteri tetap menjadi hak milik isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Asas ini dalam kompilasi hukum Islam dirumuskan dalam pasal 86 ayat (2).

Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama

Patokan berikut untuk menentukan suatu barang termasuk obyek harta bersama, ditentukan oleh asal-usul uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadi perceraian. Misalnya suami isteri selama perkawinan berlangsung mempunyai harta dan uang simpanan dikuasi oleh suami, dan belum dilakukan pembagian. Dari uang simpanan tersebut suami membeli atau membangun rumah.

Dalam kasus seperti ini, rumah yang dibeli atau dibangun suami sesudah terjadi perceraian, namun jika uang pembeli atau biaya pembangunan yang demikian tetap termasuk ke dalam obyek harta bersama. Praktek dan penerapan yang demikian sejalan dengan jiwa putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803K/Sip/ 1970. Yakni apa saja yang dibeli, jika uang pembeliannya berasal dari harta bersama. Penerapan yang seperti ini harus dipegang secara teguh untuk menghindari manipulasi dan i’tikad buruk suami atau isteri. Karena penerapan yang seperti ini, hukum tetap dapat menjangkau harta bersama sekalipun harta itu telah berubah menjadi barang lain. Sekalipun harta bersama yang semula berupa tanah atau kebun telah diubah dan ditukar suami atau isteri menjadi gedung atau uang, maka barang tersebut tetap melekat secara mutlak wujud harta bersama.

Sekiranya hukum tidak mampu menjangkau hal yang seperti itu, akan banyak terjadi manipulasi harta bersama, sesaat sesudah terjadinya perceraian, dengan pengharapan agar dia dapat menguasai seluruh harta bersama. Tindakan dan i’tikad yang seperti ini bertentangan dengan hukum dan kepatutan. Maka untuk mengatasinya, asas kemutlakan harta bersama harus tetap melekat pada setiap barang dalam jenis dan bentuk apapun asal barang itu berasal dari harta bersama walaupun wujud barang yang baru itu diperoleh atau dibeli sesudah perceraian terjadi.

Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan

Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun kita sadar, dalam suatu sengketa perkara harta bersama, tentu tidak semulus dan sesederhana itu. Pada umumnya, pada setiap perkara harta bersama, pihak yang digugat selalu akan mengajukan bantahan bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, adalah milik pribadi tergugat. Hak pemilikan tergugat bisa dialihkannya berdasar atas hak pembelian, warisan atau hibah. Apabila tergugat mengajukan dalih yang seperti itu, patokan untuk menentukan apakah sesuatu barang termasuk obyek harta bersama atau tidak, ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan penggugat membuktikan, bahwa harta-harta yang digugat benar-benar diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari uang pribadi. Patokan yang semacam itu tertuang secara jelas dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 20 November 1975.[9] Pelawan tidak membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinannya dengan suaminya dan juga malah terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinan dengan suaminya, dengan demikian dapat disimpulkan rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami dan isteri sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri”.

Putusan ini dalam tingkah Kasasi dikuatkan oleh Mahkamah Agung (30 Juli 1974 No. 808.K/Sip/1974). Dalam putusan ini telah ditentukan oleh masalah atas nama siapa harta terdaftar bukan faktor yang menggugurkan keabsahan suatu harta menjadi obyek harta bersama. Asal harta yang bersangkutan dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan serta pembiayaannya berasal dari harta bersama, maka harta tersebut termasuk obyek harta bersama. Malahan bukan hanya apabila suatu harta terdaftar atas nama isteri atau suami, tetapi suatu harta yang didaftar atas nama adik suami atau isteri, tetap dianggap sebagai harta bersama asal dapat dibuktikan bahwa harta itu diperoleh selama perkawinan. Hal ini dapat diambil dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 30 Desember 1971 No.389/1971, putusan mana dikuatkan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi tanggal 23 Mei 1973 No. 1031.K/Sip/1972. Dalam putusan ini Pengadilan Tinggi Medan mempertimbangkan “sekalipun toko dan barang-barang yang ada di dalamnya telah diusahai dan dialihnamakan atas nama adik suami, tetapi akan terbukti bahwa toko tersebut dibeli sewaktu perkawinan dengan isteri, maka harta tersebut sekalipun sudah dipindahkan kepada orang lain harus dinyatakan harta bersama yang diperhitungkan pembagiannya di antara suami isteri dengan adanya perceraian di antara mereka”.

Penghasilan Harta Bersama dan Harta Bawaan

Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama, sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Akan tetapi bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi obyek harta bersama di antara suami isteri, juga termasuk penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi suami isteri, akan jatuh menjadi obyek harta bersama. Dengan demikian fungsi harta pribadi dalam perkawinan, ikut menopang dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sekalipun hak dan pemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya. Namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tetapi hasil yang tumbuh daripadanya, jatuh menjadi obyek harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi, maka seluruh hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami isteri jatuh menjadi obyek harta bersama. Misalnya rumah yang dibeli dari hasil harta pribadi bukan jatuh menjadi harta pribadi tapi jatuh menjadi harta bersama. Oleh karena itu, harus dibedakan harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yang diperoleh dari hasil yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta dibeli dari hasil penjualan harta pribadi tetapi secara mutlak menjadi harta pribadi. Untuk itu, lihat kembali penegasan Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1975 No. 151K/Sip/1974 (Barang yang dituntut bukanlah gono-gini antara Abdullah dan Fatimah karena barang-barang tersebut dibeli dari harta-harta bawaan milik Fatimah). Begitupun milik pribadi yang ditukar dengan barang lain tetap mutlak jatuh menjadi milik pribari, namun hasil yang timbul dari harta pribadi jatuh menjadi harta bersama.[10]

Segala Penghasilan Pribadi Suami Isteri

Menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970.[11] Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai penguasai jatuh menjadi harta bersama suami isteri”. Jadi, sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan. Malahan dengan sendirinya terjadi penggabungan ke dalam harta bersama. Penggabungan hasil pribadi dengan sendirinya terjadi menurut hukum sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.


[1]Rahmat Hakim, op.cit., h. 159

[2]Departemen Agama RI, ‘Al-Qur’an dan  …’  op.cit., h. 946

[3]Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) (Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara. 2002), h. 163

[4]C.X.T. Kansil, Cristine St Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Jilid I (Cet. IV; Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004), h. h. 108-109

[5]Amiur Nuruddin, Azhari Kamal Taringan, op.cit., h. 219

[6]M. Yahya Harahap, op.cit., h. 302

[7]Lihat Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972, h. 31

[8]Lihat Rangkuman Yurisprudensi MARI, II. h. 80.

[9]Lihat Mahkamah Agung, 30 Juli 1974, No. 808K/Sip/1974, jo Pengadilan Negeri Medan, 15 September 1973 No. 329/1073

[10]Lihat Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972, h. 32

[11]M. Yahya Harahap, op.cit., h. 306