Pengertian dan Dasar Hukum Penceraian dan Harta Bersama

Pengertian Perceraian

Talak identik dengan perceraian, yang terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’ talak yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan suami istri.

Al-Jaziry mendefenisikan talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria Al-Anhani, talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak yang semacamnya.[1]

Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan, sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinanya itu. Istri tidak halal lagi bagi suaminya. Sedangkan mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu mejadi hilang hak talak itu.[2]

Dasar Hukum Perceraian

Menurut Ahmad bin Hanbal, talak itu kufur (ingkar, merusak, menolak) terhadap nikmat Allah, sedangkan perkawinan adalah salah satu nikmat Allah. Dan kufur terhadap nikmat Allah adalah haram. Oleh karena itu, tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku istrinya atau telah hilangnya perasaan cinta di antara keduanya. Tanpa alasan-alasan tersebut, perceraian adalah kufur terhadap kemurahan Allah.

Mengenai hukum talak, seperti umumnya masalah lain, dapat bergeser pada hukum yang berbeda, yang pada pokoknya terdapat keberagaman motif serta kondisi yang ada dalam diri pelaku perkawinan. oleh karena itu, hukum talak dapat berbeda sesuai dengan perbedaan illatnya (penyebabnya). Seperti talak itu menjadi wajib bila dijatuhkan oleh pihak penengah atau hakamain. Jika menurut juru damai tersebut, perpecahan antara suami istri sudah demikian berat sehingga sangat kecil kemungkinan bahkan tidak sedikitpun terdapat cela-cela kebaikan atau kemaslahatan kalau perkawinan itu dipertahankan, satu-satunya cara untuk menghilangkan kemudharatan dan upaya mencari kemaslahatan bagi kedua pihak adalah dengan memisahkan mereka. Masuk ke dalam kategori talak wajib juga bagi isteri yang di illa’ (sumpah suami untuk tidak mengadakan hubungan seksual dengan isterinya), sesudah lewat waktu tunggu 4 bulan.

Talak menjadi haram bila dijatuhkan tanpa alasan yang prinsipil. Talak seperti ini haram karena mengakibatkan kemudharatan bagi isteri dan anak. Talak jenis ini tidak sedikit mengandung kemaslahatan setelah penjatuhannya.

Talak juga dapat jatuh sunnat apabila isteri mengabaikan kewajibannya sebagai muslimah, yaitu meninggalkan shalat, puasa dan lain-lain. Sedangkan suami tidak sanggup memaksanya untuk menjalankan kewajiban atau suami tidak dapat mendidiknya. Di samping itu, isteri telah kehilangan rasa malu, seperti bertingkah laku yang tidak pantas sebagai seorang wanita baik-baik.

Dalam hal ini menurut Imam Ahmad tidak patut bagi suami untuk mempertahankan isteri dalam perkawinan. Hal ini karena kondisi isteri tersebut akan berpengaruh terhadap keimanan suami.[3]

Untuk itu, maka syariat Islam menjadikan pertalian suami isteri dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh sebagaimana Al-Qur’an memberi istilah pertalian itu dengan mitsaq ghalizah (janji kukuh). Sebagaimana dalam QS. An-Nisa (4): 21.

Terjemahnya:

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.[4]

Olehnya itu, suami isteri wajib memelihara terhubungnya tali pengikat perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat itu, menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah termasuk perbuatan tercela, dan dibenci oleh Allah. Rasulullah saw, bersabda:

Artinya:

Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.

Hadits ini menjadi dalil bahwa di antara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah, jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dan yang paling dimurkai pelakunya tanpa alasan yang dibenarkan ialah perbuatan menjatuhkan talak. Maka menjatuhkan talak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarinya. Suami hanya dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk menghindarinya dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.[5]

Harta Bersama

Dalam pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama.

Mengenai harta bersama, suami maupun isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bersamaan, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk mempergunakan harta bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain.

Adanya hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik. Adalah sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Syarat-syarat “persetujuan” kedua belah pihak dalam mempergunakan harta bersama tersebut harus diartikan sedemikian rupa. Di mana tidak semua hal penggunaan harta bersama itu diperlukan persetujuan secara tegas dari kedua belah pihak. Dalam beberapa hal tersebut, persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada persetujuan diam-diam. Misalnya dalam hal mempergunakan harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari.[6]

Pasal 119 KUHPerdata menyatakan bahwa sejak saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri. Jadi hukum perkawinan dan KUHPerdata mengenai asas persatuan/ pencampuran harta kekayaan atau asas harta kekayaan bersama. Akan tetapi berdasarkan suatu perjanjian perkawinan yang harus dibuat dengan akta notaris sebelum dilangsungkan perkawinan maka suami isteri dapat menempuh penyimpangannya. Harta kekayaan bersama terdiri:

  1. Aktiva, yang meliputi modal, laba/keuntungan serta bunga dari barang yang bergerak maupun tidak bergerak, yang diperoleh suami isteri itu sebelum maupun selama perkawinannya juga termasuk yang mereka peroleh sebagai hadiah dari pihak ketiga, kecuali bila mana ada larangan hadiah/hibah itu dimasukkan dalam persatuan harta kekayaan.
  2. Pasiva, yang meliputi hutang-hutang suami isteri yang dibuat sebelum maupun sesudah perkawinannya. Harta kekayaan di dalam perkawinan itu tidak boleh diadakan perubahan apapun juga selama perkawinan. Hal demikian dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga atau para kreditur.[7]

Pengertian dan Dasar Hukum Penceraian dan Harta Bersama

Cara menghindari perceraian, dasar hukum perceraian, pembagian harta bersama, harta gono gini, islam tentang harta gono gini, masalah perceraian, tingkat perceraian di indonesia,


[1]Lihat Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh Ala Mazahib al-Arba’ah, Jilid VII (Mesir: Dar al-Irsyad, t.th), h. 192.

[2]Lihat Abu Yahya Zakariah al-Anshari, Fath al-Wahhab, Juz II (Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.th), h. 192.

[3]Rahmat Hakim, op.cit., h. 158-159.

[4]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara/ Penterjemah Penafsir Al-Qur’an, 1971), h. 120

[5]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Edisi I (Cet. I; Bogor: Kencana, 2003), h. 211-213

[6]Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Edisi I (Cet. I; Bandung: PT. Alumni,2004), h. 91-92

[7]Komariah, Hukum Perdata, Edisi Revisi (Cet. III; Malang: UMM Press, 2004), h. 54